Perlindungan Hukum dan HAM Masyarakat Adat Masih Jadi Problema di Indonesia
08 Januari 2024 Berita Annisa Tiara PutriOleh Annisa Tiara Putri
“Walau hukum adat sudah diadopsi oleh peraturan perundangan, kita masih membutuhkan aturan-aturan yang lebih komprehensif terkait perlindungan Masyarakat Adat”
Pernyataan ini disampaikan oleh Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Prof Emilda Firdaus dalam acara webinar di Universitas Riau belum lama ini.
Dalam opening speechnya di acara webinar tersebut, Emilda Firdaus menyatakan bahwa permasalahan Masyarakat Adat masih membutuhkan perjuangan panjang. Ia mencontohkan di Provinsi Riau, aturan-aturan yang ada masih terkotak-kotak, tiap kabupaten memiliki aturan masing-masing tanpa payung regulasi.
“Payung regulasi itu yang sekarang sedang kita kejar, mulai dari pembentukan hingga penegakan hukumnya,” kata Emilda Firdaus di acara webinar bertajuk “Problematika Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Masyarakat Adat di Indonesia”
Sekitar 50 orang peserta dari mahasiswa, sivitas akademika, akademisi, dan masyarakat umum ikut dalam webinar yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Riau.
Emilda berharap webinar ini bisa memantik pencerahan dan pengetahuan baru tentang perlindungan hukum dan HAM Masyarakat Adat sehingga mendorong para pihak terkait untuk mewujudkan Masyarakat Adat mandiri secara ekonomi, bermartabat secara politik, dan berdaulat secara budaya.
Webinar menghadirkan dua pembicara yaitu Ketua Pengurus Harian Daerah AMAN Kampar Himyul Wahyudi dan dosen Fakultas Hukum Universitas Riau Gusliana HB. Webinar yang dimoderatori oleh Sukamarriko Andrikasmi ini berhasil memantik pertanyaan dan percakapan tentang perlindungan hukum dan HAM Masyarakat Adat, terutama di Provinsi Riau.
Himyul Wahyudi sebagai pembicara pertama dalam pemaparannya lebih banyak mengungkap problematika hukum dan HAM yang seringkali dihadapi oleh Masyarakat Adat di lapangan, seperti keterbatasan akses sumber daya alam serta minimnya keterlibatan Masyarakat Adat dalam pembangunan. Menurutnya, kondisi ini menyebabkan Masyarakat Adat menjadi miskin. Sedihnya, kondisi ini diperparah dengan intimidasi yang diterima oleh Masyarakat Adat akibat belum memiliki status identitas yang memenuhi standar pemerintah saat ini.
“Padahal, Masyarakat Adat memiliki pengetahuan leluhur dan sejarah yang panjang, tetapi belum terdokumentasi dengan baik,” ujarnya.
Wahyudi menyebut standar status identitas yang diberlakukan ini sangat membahayakan Masyarakat Adat. Sebab, bila seperti ini situasinya berarti Masyarakat Adat yang belum memiliki status tidak bisa disebut sebagai Masyarakat Adat.
Padahal, kata Wahyudi, mereka sudah memenuhi empat warisan pembeda Masyarakat Adat dengan masyarakat lainnya. Empat warisan pembeda tersebut adalah merupakan kelompok orang dengan identitas budaya yang sama, memiliki sistem nilai dan kearifan tradisional, memiliki wilayah hidup, dan memiliki aturan serta lembaga adat.
Gusliana HB mengatakan sejatinya peraturan perundangan yang ada saat ini telah mengatur berbagai aspek yang memastikan identitas Masyarakat Adat. Gusliana menyebut aspek tersebut meliputi adanya satu kesatuan manusia yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai penguasa, dan mempunyai kekayaan berwujud dan tidak berwujud.
Selain itu, lanjutnya, ada beberapa peraturan perundangan yang membicarakan Masyarakat Adat, beberapa diantaranya terkait pengelolaan sumber daya alam, seperti UU Pemerintah Daerah, UU Kehutanan, UU PPLH, dan UU HAM.
Kemudian, sudah ada juga sejumlah peraturan pelaksana mengenai pengakuan Masyarakat Adat di tingkat nasional.
“Ini patut diapresiasi,” katanya.
Namun demikian, Gusliana mengkritik pemerintah soal belum adanya definisi atau konsep pasti tentang Masyarakat Adat yang dapat menjadi payung regulasi. Peraturan perundangan sudah ada, tetapi implementasinya yang problematik. Gusliana mempertanyakan apakah peraturan dan penegak hukum di bawah mengikuti dan dapat menginterpretasikan perundangan yang sudah ada tersebut menjadi sebuah norma.
”Jawabnya belum, karena itu kita perlu mendorong pemerintah segera mensahkan RUU Masyarakat Adat,” tandasnya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Kampar, Riau