Masyarakat Adat Rebu Payung Tergusur dari Wilayah Adat Sendiri di Sumbawa
26 Januari 2024 Berita Sendi AkramullahOleh Sendi Akramullah
Mata Latief berkaca-kaca. Pria berusia 50 tahun itu berusaha menahan air mata sebagai ungkapan kesedihannya. Ia dan kelompok tani Mentingal dilarang bercocok tanam di lahan sendiri. Ironinya, pemerintah terkesan tutup mata dengan penderitaan yang dialami Masyarakat Adat di desa Sepayung, Kecamatan Plampang, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.
“Mengapa pemerintah tidak segera mengambil sikap atas apa yang terjadi pada Masyarakat Adat di desa Sepayung,” kata Latief dengan nada heran.
Ia menceritakan saat ini semua anggota kelompok tani Mentingal di desa Sepayung tidak bisa menanam jagung. Latief pun menimpali kalau tidak bisa menanam, artinya tidak ada yang bisa mereka panen.
“Gimana kami dapat uang kalau tidak panen. Kami bisa mati kelaparan, anak-anak kami akan putus sekolah,” keluhnya pekan lalu.
Ketua Kelompok Tani Mentingal, Muhammad menyatakan sedih dengan kondisi yang dihadapi oleh Masyarakat Adat saat ini di desa Sepayung. Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Sumbawa Bangkit Sejahtera (SBS) yang ada di desa mereka seperti tidak ada batasnya. Bahkan, katanya, bisa memasuki wilayah adat.
“Dokumen kepemilikan wilayah adat kami tidak dianggap sama sekali. Sebaliknya, saya dan beberapa anggota kelompok tani Mentingal dituduh melakukan penyerobotan lahan oleh PT.SBS,” cetus Muhammad.
Pria berusia 45 tahun ini menambahkan pihak PT. SBS melaporkan mereka atas tuduhan melakukan penyerobotan lahan ke Polres Sumbawa. Padahal, sebutnya, mereka tidak merasa menyerobot lahan perusahaan tersebut.
“Kami sudah mengelola lahan itu sejak tahun 2012, persisnya di lokasi yang diklaim oleh perusahaan sebagai milik mereka melalui izin Hak Guna Usaha,” ungkapnya.
Muhammad menerangkan sejatinya lahan tersebut akan ditanami dengan tanaman Agave Sisalana Ferrine: tanaman berdaun hijau, runcing dan berduri, mirip seperti pohon nanas. Tanaman itu ditanam di lokasi kering dengan jarak renggang. Muhammad menyebut tanaman tersebut jadi bahan baku pembungkus kabel dan pembuatan tali.
“Tanaman ini memiliki beragam manfaat, tapi sayangnya justru menjadi sumber petaka bagi Masyarakat Adat di Sepayung,” ujarnya.
Muhammad menjelaskan tadinya ada sekitar 100 hektar lahan mereka yang berlokasi di Mentingal diambil alih oleh perusahaan. Namun, 50 hektar sudah dikembalikan ke masyarakat melalui putusan Mahkamah Agung pada tahun 2021.
Akan tetapi, kata Muhammad, tanah tersebut tidak dikembalikan kepada mereka selaku pemilik awal melainkan kepada warga lain dengan skema petani plasma.
“Ini menambah konflik baru,” cetusnya.
Muhammad menyebut dirinya satu dari sekian banyak Masyarakat Adat dari komunitas adat Rebu Payung yang mendapat perlakuan tidak adil di desa Sepayung, Kecamatan Plampang, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Ia bersama Masyarakat Adat Rebu Payung sedang berjuang untuk mempertahankan hak atas kepemilikan lahan mereka dari penguasaan PT. SBS yang berdalih atasnama HGU.
Muhammad menyatakan penderitaan yang dirasakan oleh Masyarakat Adat Rebu Payung saat ini diperparah dengan sikap aparat keamanan yang tidak netral dalam masalah ini. Aparat melarang warga melakukan aktivitas apapun dilahan konflik, sementara pihak perusahaan tetap dibiarkan beraktivitas.
“Ini tidak adil,” tandasnya.
Konflik Masih Berlanjut
Ketua Pengurus Harian Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumbawa, Febriyan Anindita mengatakan berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), tercatat ada 108 letusan kasus yang terjadi di sektor perkebunan dan agribisnis Sumbawa pada tahun 2023. Febriyan menyatakan letusan konflik agraria yang kerap kali dibarengi oleh aksi refresif aparat keamanan menjadi bukti kongkrit bagaimana pola-pola penanganan pemerintah di wilayah konflik agraria.
Ia menerangkan konflik agraria di blok Mentingal, bukan saja masalah lahan plasma masyarakat yang tak kunjung dipenuhi oleh perusahaan perkebunanan PT. SBS. Lebih jauh dari itu, sebutnya, ini mencerminkan perampasan lahan yang sebagian merupakan wilayah adat.
Febriyan menjelaskan wilayah adat Rebu Payung telah dilindungi oleh PERDES No. 1 Desa Sepayung tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Rebu Payung Tahun 2020. Namun, PERDES tersebut dikangkangi oleh perusahaan PT SBS yang telah mengklaim kepemilikan lahan adat Mentingal secara sepihak. Mereka berdalih telah mengantongi Hak Guna Usaha atas lahan tersebut.