Oleh Kurnianto Rindang

Masyarakat Adat Dayak Bakati Riuk Sebalos di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat masih trauma usai peristiwa penangkapan seorang anggota Masyarakat Adat yang ikut aksi damai menolak kehadiran perusahaan sawit di wilayah adat mereka.

Anggota Masyarakat Adat dari dusun Sebalos tersebut ditangkap aparat kepolisian tanpa sepengetahuan keluarga.   Ia ditangkap belum lama ini di depan teras warung kopi di Pasar Sanggau Ledo sekitar pukul 23. 00 Wib.

Peristiwa penangkapan pria ini berawal dari aksi protes Masyarakat Adat Dayak Bakati Riuk Sebalos terhadap perusahaan sawit PT Ceria Prima yang beroperasi diatas wilayah adat mereka. Sekitar 200 orang yang protes, tiga diantaranya ditangkap tapi hanya satu yang ditahan. Mereka tidak pernah tahu alasan penangkapannya. Mereka bukan perangkat desa maupun pengurus adat. Mereka yang ditangkap hanya warga biasa.

Atas penangkapan tersebut, para perempuan adat mendesak pengurus adat dan perangkat desa untuk mengadakan ritual adat. Tujuannya memberikan sanksi adat kepada PT Ceria Prima yang telah berbuat sewenang-wenang terhadap wilayah adat dan Masyarakat Adat Dayak Bakati Riuk Sebalos.

Perempuan adat yang mendesak dilakukannya ritual adat tersebut adalah Trisnawati Undik,  Emiliana Demiati, Erni, Lena, dan tiga perempuan lainnya. Mereka semuanya pejuang perempuan adat.

Desakan para pejuang perempuan adat ini sempat mendapat kecaman dari Kepala Desa Sanggo John Hanta, yang tidak memberikan izin untuk mengadakan ritual adat dengan alasan ritual itu “akan menghukum diri sendiri”.

Menurut kepercayaan Dayak secara umum, ritual hukum adat tidak dapat dilakukan secara sembarang. Mereka yang melakukan ritual mesti meyakini bahwa pihak yang mereka hukum benar-benar salah. Jika tidak, hukuman akan berbalik kepada mereka sendiri.

“Kami perempuan tidak terima. Kenapa bisa berbalik menghukum kami ?  Kami mau menghukum perusahaan,” sanggah Undik.

Tak berhenti disini. Para Perempuan Adat bergotong royong mengumpulkan uang untuk biaya ritual. Namun, kembali ditentang Kepala Desa John Hanta. Ia juga menolak untuk iuran membayar biaya ritual. Ia pun ikut menghasut warga lain untuk tidak membayar. Ia juga menganggap remeh Masyarakat Adat yang melawan dan menolak perusahaan sawit di wilayah adat mereka.

“Kami ini ibarat ayam kehilangan induk. Tidak ada pemandu, hanya kami Perempuan Adat saja yan berjuang,” cerita Undik.

Undik dan Perempuan Adat lainnya dengan gigih meyakinkan satu per satu warga bahwa mereka berada di sisi yang benar dalam menentang penangkapan warga yang melawan perusahaan sawit.

Atas kegigihan Undik dan Perempuan Adat lainnya, akhirnya setiap kepala keluarga bersedia untuk turut serta mengumpulkan biaya ritual sebesar Rp 25.000, kecuali keluarga Kepala Desa.

Sanksi Hukum Adat

Hampir satu bulan persiapan, ritual hukum adat akhirnya berlangsung di Ramin (rumah) Adat Punggo, Sebalos. Dipimpin seorang Pamagon (tetua adat), ritual adat itu mengorbankan satu ekor babi, satu ekor anjing, dan tiga ekor ayam.

Dalam ritual adat tersebut, masyarakat adat Sebalos mewajibkan perusahaan PT Ceria Prima membayar sanksi hukum adat berupa “tiga buah tempayan alang”. Hukum adat juga mewajibkan PT CP mengembalikan tanah seluas 117 hektar.

“Kami menunggu kewajiban PT Ceria Prima untuk mengembalikan tanah adat kami. Jika tidak  maka PT Ceria Prima kami nyatakan tidak memiliki itikad baik dan telah melakukan penghinaan terhadap hukum adat Dayak Bakati Riuk Dusun Sebalos,” tulis surat yang ditandatangani oleh Ketua Adat Dusun Sebalos, Sarai.

Ritual adat turut mengundang unsur pemerintah daerah, aparat keamanan, dan perwakilan komunitas di Kabupaten Bengkayang. Tetapi, pihak yang dihukum adat yakni pimpinan PT Ceria Prima tidak hadir dan tidak mengirim utusan.

Selain pemberian sanksi, Masyarakat Adat Dayak Bakati di Sebalos juga meletakkan tempayan di sejumlah titik lokasi sengketa dan baliho bertuliskan : “Dilarang Kerja”. Tempayan jadi penanda kehadiran roh-roh penjaga batas. “Siapa berani melangkah, akan kena hukum adat,” kata Undik.

Delapan bulan setelah ritual adat, Surya Darmadi  selaku pemilik PT Ceria Prima, yang merupakan anak perusahaan PT Duta Palma Group ditangkap di Jakarta. Kemudian, Kepala Desa Sanggau John Hanta juga ditangkap atas dugaan pengedaran narkoba. John Hanta menjual 10 kg sabu seharga Rp 3,2 miliar dari Malaysia.

Masyarakat Adat Sebalos meyakini kesialan yang dialami Surya Darmadi dan John Hanta akibat ritual hukum adat yang telah mereka langgar.

AMAN Tuntut Kembalikan Wilayah Adat yang Dicaplok

Ketua Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkayang Nico Andasputra menjelaskan kasus penangkapan yang dialami oleh salah seorang anggota Masyarakat Adat di Sebalos merupakan buntut dari aksi protes Masyarakat Adat terhadap PT Ceria Prima yang telah menyerobot tanah adat.

 

Dalam aksinya, Masyarakat Adat menuntut PT Ceria Prima bertanggungjawab atas pencaplokan tanah adat wilayah Sebalos seluas 117 hektar yang telah dijadikan kebun sawit tanpa persetujuan Masyarakat Adat Sebalos pada tahun 1998.

“Kami menuntut tanah adat yang dicaplok PT Ceria Prima sejak tahun 1998 dikembalikan ke Masyarakat Adat,” tegas Nico.

Menurutnya, Masyarakat Adat Sebalos telah beberapa kali melakukan aksi damai untuk menyampaikan tuntutan pengembalian tanah adat, namun tuntutan tersebut tidak dihiraukan oleh PT. Ceria Prima. Hal tersebut kemudian berujung pada kemarahan  Masyarakat Adat, yang kemudian membuat pihak perusahaan melaporkannya  ke Polres Bengkayang.

Nico mengatakan Masyarakat Adat telah melakukan berbagai upaya, termasuk penentuan tapal batas dusun Sebalos dan audiensi bersama pemerintah daerah sejak 2016.

Hasil audiensi disepakati PT Ceria Prima harus menghentikan semua kegiatan di lahan sengketa hingga konflik selesai. Namun, perusahaan tersebut tetap beroperasi, termasuk memanen buah sawit di lahan sengketa.

Tindakan perusahaan ini memantik protes dari Masyarakat Adat. Akibatnya, beberapa Masyarakat Adat di Dusun Sebalos harus berhadapan dengan persoalan hukum.

“Ini tidak adil,” katanya sembari meminta pemerintah untuk turun tangan menyelesaikan konflik agraria dan pelanggaran HAM terhadap Masyarakat Adat Dayak Bakati Riuk di Sebalos.

Perda “Mandul”

Pemerintah Kabupaten Bengkayang di Kalimantan Barat telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat sejak tahun 2019. Namun, Perda Bupati Bengkayang No.4 Tahun 2019 ini belum ditindaklanjuti sampai sekarang.

Pj Ketua PW AMAN Kalimantan Barat, Tono menyatakan Pemerintah Daerah terkesan lalai dan seperti enggan mengakui keberadaan Masyarakat Adat di Kabupaten Bengkayang, Buktinya, belum ada langkah kongkrit Pemerintah Kabupaten Bengkayang untuk menindaklanjuti Perda yang sudah ada sejak 2019.

“Bupati Bengkayang perlu menindaklanjuti Perda tersebut agar Masyarakat Adat tidak lagi menjadi korban kriminalisasi karena mempertahankan haknya,” tegasnya.

Tono menjelaskan Perda No 4 Tahun 2019 merupakan salah satu instrumen untuk membantu pemerintah daerah menyelesaikan persoalan yang ada di Bengkayang, termasuk konflik Masyarakat Adat Sebalos dengan perusahaan sawit PT Ceria Prima.

PT Ceria Prima telah beraktivitas sejak 1990-an. Hingga kini, Masyarakat Adat Dayak Bakati Riuk di Dusun Sebalos masih berhadapan dengan anak perusahaan PT Duta Palma Group tersebut.

Tono menyatakan PT Ceria Prima telah menyerobot Wilayah Adat Rage milik Masyarakat Adat  Sebalos. Sampai sekarang, kata Tono, Masyarakat Adat Dayak Bakati Riuk Sebalos bersama dengan AMAN masih berjuang agar Masyarakat Adat yang berkonflik dengan perusahaan di Kabupaten Bengkayang dapat diakui hak-haknya dan dilindungi.

“AMAN bersama dengan Masyarakat Adat Bengkayang hingga kini terus berjuang untuk mendapatkan kembali hak-haknya yang telah dirampas perusahaan,” katanya.

Hanya saja, akunya, perjuangan mereka masih terkendala Perda yang belum berjalan efektif. Tono menegaskan Pemerintah Daerah mesti membuat aturan turunan yang mengatur secara teknis mekanisme penetapan Masyarakat Adat.   

“Aturan turunan ini belum diterbitkan oleh Bupati Bengkayang yang menjabat saat ini,” ujarnya.

Tim Advokasi AMAN Bengkayang, Mayang Andasputri menyatakan di tahun 2020, telah  terbit Peraturan Bupati Bengkayang No. 18 tentang Pedoman Identifikasi, Verifikasi, dan Penetapan Masyarakat Adat di Kabupaten Bengkayang. Peraturan Bupati ini mengatur salah satunya soal tata cara identifikasi, verifikasi, dan penetapan Masyarakat Adat.

Hanya saja hingga 2023, kata Mayang, proses identifikasi, verifikasi, dan penetapan itu belum berjalan. Masyarakat Adat bersama dengan AMAN telah mengajukan permohonan audiensi kepada Bupati sebanyak empat kali. Tetapi permohonan tersebut tidak pernah direspons.

“Sampai sekarang surat kami saja tidak dibalas,” keluhnya.

Tanggapan Pemda dan DPRD Bengkayang

Menanggapi hal ini, Suwandi sebagai Kabag Hukum Setda Bengkayang mengatakan sejauh yang mereka tahu, selama ini bagian hukum belum menerima permohonan audiensi dari Masyarakat Adat.

“Nanti ke depan, kalau ada audiensi akan kami sampaikan kepada Bupati atau Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD),” kata Suwandi.

Wakil Ketua DPRD Bengkayang Esidorus, yang juga Ketua Pansus dan Penggagas Perda, mengatakan semestinya Perda yang telah diterbitkan ditindaklanjuti dengan Peraturan Bupati (Perbup) sebagai aturan teknis pelaksanaan. Menurut Esidours, semua persoalan yang ada saat ini terkendala implementasi  di Peraturan Bupati.

“Ini yang selalu kami ingatkan. Saya tidak tahu kesulitan mereka (Pemerintah Daerah) di mana,” tuturnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Kalimantan Barat

Writer : Kurnianto Rindang | Kalimantan Barat
Tag : AMAN Kalimantan Barat Masyarakat Adat Dayak Bakati Riuk Sebalos