Oleh Della Azzahra

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengusulkan perspektif dan pengetahuan tentang Masyarakat Adat masuk dalam kurikulum calon hakim di Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Mahkamah Agung.

Usulan ini disampaikan oleh Pengurus Besar AMAN menyusul ketidakadilan yang kerap diterima Masyarakat Adat saat menjalani persidangan di Pengadilan.

Deputi I Sekjen AMAN, Eustobio Rero Renggi mengatakan dalam satu tahun terakhir terdapat lebih dari 2,5 juta hektar wilayah adat mengalami perampasan serta 247 orang Masyarakat Adat mengalami tindak kekerasan dan kriminalisasi.  Dikatakannya, perampasan wilayah adat seringkali dibarengi dengan kriminalisasi. Masyarakat Adat selalu ditangkap ketika berupaya mempertahankan wilayah adatnya.

“Sedihnya, Masyarakat Adat hampir selalu dipastikan kalah ketika berhadapan dengan pengadilan. Ini sangat ironi sekali,” kata Eustobio saat melakukan audiensi ke Pusdiklat Mahkamah Agung di Bogor pada Kamis, 20 Juni 2024.

Pria yang akrab disapa Eus ini menambahkan berdasarkan fenomena yang ada ini, AMAN menilai pentingnya pengetahuan dan perspektif Masyarakat Adat bagi aparat penegak hukum. Tujuannya agar para penegak hukum di Indonesia paham tentang kondisi dan kebutuhan Masyarakat Adat sehingga dalam memberikan putusan bisa lebih adil.

Karena itu, Eustobio berharap melalui audiensi yang mereka lakukan ke Pusdiklat Mahkamah Agung ini dapat membawa perubahan signifikan dalam cara pengadilan menangani kasus-kasus yang melibatkan Masyarakat Adat ke depan.

“Melalui audiensi dengan Pusdiklat Mahkamah Agung ini, AMAN berupaya untuk menegaskan pentingnya pengetahuan dan perspektif Masyarakat Adat bagi aparat penegak hukum. Karena itu, AMAN membawa usulan untuk menyertakan perspektif dan pengetahuan tentang Masyarakat Adat dalam kurikulum calon hakim di Pusdiklat Mahkamah Agung,” ungkap Eustobio.

Kriminalisasi Masyarakat Adat

Aparat penegak hukum di negeri ini seringkali mengabaikan sekitar 21 juta jiwa yg tergabung di 2.586 komunitas Masyarakat Adat anggota AMAN yang memiliki sistem hukum adat yg telah diwariskan secara turun temurun. 

Perspektif dan pemahaman mengenai Masyarakat Adat ini seringkali terabaikan dalam konteks hukum nasional. Hal ini mendorong AMAN bersama Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) melakukan berbagai upaya untuk mencari solusi atas penderitaan dan ketidakadilan yang kerap dialami Masyarakat Adat, diantaranya menemui Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Mahkamah Agung Darmoko Yuti Witanto di kantornya pada Kamis, 20 Juni 2024.

Dalam pertemuan itu, Eustobio yang didampingi Kepala Devisi Penanganan Kasus AMAN Sinung Karto dan staff advokasi Tommy Indriyan menyampaikan refleksi mengenai situasi penderitaan yang dialami Masyarakat Adat, diantaranya dua kasus kriminalisasi yang dialami Sorbatua Siallagan dari Tano Batak dan Mikael Ane dari Nusa Tenggara Timur.

Kasus Kriminalisasi Sorbatua Siallagan

Sorbatua Siallagan, tokoh Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan dari Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara diculik oleh aparat kepolisian pada Jumat, 22 Maret 2024. Sorbatua diculik lantaran aktif memimpin Masyarakat Adat dalam mempertahankan wilayah adat yang secara sepihak telah diklaim pemerintah dengan konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL). Hal ini memperlihatkan bahwa Sorbatua telah dikriminalisasi oleh Toba Pulp Lestari dan negara karena berupaya menggarap wilayah adatnya sendiri. Saat ini Sorbatua menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Simalungun.


Sorbatua Siallagan dalam aksi Tutup TPL di KLHK. Dokumentasi AMAN

Kasus Kriminalisasi Mikael Ane

Mikael Ane merupakan tokoh Masyarakat Adat Gendang Ngkiong di Nusa Tenggara Timur. Mikael Ane dituduh melakukan penyerobotan lahan wilayah adatnya yang telah diklaim oleh Taman Wisata Alam Ruteng (RTA). Pada September 2023 lalu, Mikael Ane kemudian divonis bersalah dan dihukum selama 1 tahun 6 bulan. Mikael Ane baru dinyatakan bebas lewat putusan Kasasi Mahkamah Agung pada 6 Mei 2024.


Mikael Ane. Dokumentasi AMAN

Terkait Kebijakan Hukum di Indonesia

Perampasan wilayah adat yang disertai kriminalisasi kerap dialami oleh Masyarakat Adat. Menurut Eustobio, hal ini berkaitan erat dengan situasi kebijakan hukum di Indonesia, salah satunya akibat ketimpangan antara pengetahuan dan perspektif penegak hukum dengan kondisi yang sebenarnya terkait Masyarakat Adat.

“Pengadilan yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam mencari keadilan bagi Masyarakat Adat kerap kali justru menyudutkan dan mengintimidasi Masyarakat Adat,” terangnya.

Di sisi lain, Eustobio menyebutkan bahwa banyak peraturan perundang-undangan nasional yang tidak bersinergi. Menurutnya, hal ini menimbulkan banyak kerugian bagi Masyarakat Adat.

“Peraturan tentang perhutanan tidak sejalan dengan peraturan tentang pesisir dan pulau-pulau kecil. Padahal, peraturan itu mengatur satu hal yang sama: Masyarakat Adat, tetapi dipecah-pecah,” imbuhnya.

Berkaitan dengan permasalahan tersebut, AMAN bersama Masyarakat Adat terus melakukan berbagai upaya dalam memperjuangkan hak-hak Masyarakat Adat, diantaranya mendesak  pemerintah untuk segera mengesahkan Undang-Undang Masyarakat Adat.

“Undang-Undang Masyarakat Adat harus segera disahkan,” pungkasnya.

***

Penulis adalah volunteer di Infokom PB AMAN

Writer : Della Azzahra | Jakarta
Tag : Masyarakat Adat Mahkamah Agung