Oleh Maruli Simanjuntak, Apriadi Gunawan

“Kado Masyarakat Adat bagimu Negeri yang merayakan 79 Tahun Merdeka. Memakai baju adat, merampas tanah-tanah adat, memenjarakan yang menolak tunduk, pecah belah gaya kolonial”

Petikan kalimat bergaya satire ini ditulis oleh Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi di laman media sosialnya sebagai bentuk kritik terhadap pemerintah yang terus mengkriminalisasi tokoh-tokoh adat di penjuru nusantara.

Rukka memposting gambar salah satu tokoh adat yang telah menjadi korban kriminalisasi di Sumatera Utara : Sorbatua Siallagan. 

“Ketua Adat di Sumatera Utara ini Tidak Merdeka,” tulis Rukka.

Sorbatua harus mendekam di penjara karena didakwa membakar hutan adat sendiri. Ia ditahan dua tahun dan denda 1 miliar.

Pada peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia ke-79, Masyarakat Adat Lamtoras Sihaporas di Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, tak kuasa menahan rasa haru sekaligus berduka atas ditahannya tokoh adat mereka: Sorbatua Siallagan.

Sekitar 30 orang berpakaian adat mengikuti upacara pengibaran bendera Merah Putih pada HUT RI ke 79 di Buntu Pangaturan, Sihaporas pada 17 Agustus 2024.  Mereka menyanyikan lagu "Indonesia Raya".

Namun disela peringatan HUT RI tersebut, tersimpan kegetiran bahwa kemerdekaan sejatinya masih sulit dirasakan oleh Masyarakat Adat di tanah leluhur mereka sendiri. Masyarakat Adat Sihaporas masih harus menghadapi berbagai bentuk ketidakadilan di atas tanah adatnya.

Putri Ambarita, salah seorang peserta upacara bendera yang tak kuasa menahan tangis saat menyanyikan “Indonesia Raya”. Ia teringat kepada lima orang saudara-saudaranya yang diculik saat sedang tidur pulas pada 22 Juli 2024. Hingga kini,  kelima saudaranya itu masih mendekam di penjara, menjadi korban dari tindakan represif aparat yang diduga bekerja sama dengan korporasi.

"Kami di sini mengibarkan bendera, tapi hati kami masih terjajah. Kami ingin merdeka di tanah kami sendiri, tanpa harus takut kehilangan apa yang menjadi hak kami," ungkap Putri dengan nada emosional.

Pemimpin upacara Mangittua Ambarita dalam pidatonya menekankan bahwa upacara ini tidak hanya untuk mengenang jasa para pahlawan, tetapi juga sebagai pengingat bahwa perjuangan Masyarakat Adat belum selesai.

"Oppung-oppung (kakek nenek) kita dulu ikut mengusir penjajah. Namun hingga kini, kita masih terusir dari tanah adat kita sendiri," ungkapnya dengan nada kecewa yang mendalam.

Kekecewaan mereka ini semakin diperparah dengan adanya putusan pengadilan yang menghukum Sorbatua Siallagan dua tahun penjara dan denda 1 miliar subsider enam bulan penjara.

Mangittua menyatakan apa yang dialami oleh Sorbatua Siallagan merupakan salah satu upaya untuk membungkam Masyarakat Adat.

“Kasus ini sebagai salah satu bentuk nyata dari penjajahan modern yang dialami Masyarakat Adat, yang berjuang mempertahankan hak mereka di tengah tekanan korporasi besar PT Toba Pulp Lestari,” kata Mangittua.

Tokoh adat yang juga pernah mengalami kriminalisasi pada tahun 2004-2005 ini menambahkan bahwa vonis terhadap Sorbatua Siallagan menunjukkan bahwa keadilan masih jauh dari jangkauan Masyarakat Adat di Tano Batak.

"Kita telah merdeka selama 79 tahun, tetapi di sini (Tano Batak), kami merasa masih dijajah oleh bangsa sendiri," katanya sedih.

Mangittua menegaskan upacara bendera yang mereka laksanakan ini tidak hanya menjadi simbol penghormatan kepada para pendahulu, tetapi juga sebagai pernyataan bahwa perjuangan Masyarakat Adat Sihaporas untuk meraih keadilan dan kebebasan di atas tanah leluhur Tano Batak masih jauh dari harapan.

“Vonis Sorbatua Siallagan menjadi bukti, di tanah leluhur yang seharusnya merdeka, Masyarakat Adat justru harus berjuang melawan bentuk-bentuk baru dari penjajahan dan perampasan hak,” ungkapnya.

***

Penulis Maruli Simanjuntak adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Tano Batak, Sumatera Utara

Writer : Maruli Simanjuntak | Tano Batak
Tag : Tutup TPL HUT RI Bebaskan Sorbatua Siallagan