Oleh Risnan Ambarita

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengunjungi Masyarakat Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas pasca penculikan lima anggota komunitas Masyarakat Adat di Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara pada Senin, 19 Agustus 2024.

Kunjungan yang dipimpin Komisioner Mediasi Komnas HAM Prabianto Mukti Wibowo ini bertujuan untuk mengumpulkan data terkait kasus penculikan yang dialami anggota komunitas Masyarakat Adat, sekaligus menyelesaikan permasalahan tanah adat yang berkonflik dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL).

Prabianto menyatakan kehadirannya bersama dua orang staf Komnas HAM  ke wilayah adat Sihaporas untuk melihat langsung kondisi Masyarakat Adat pasca penculikan dan penangkapan lima anggota komunitas adat.  Prabianto menambahkan kasus yang dialami oleh Masyarakat Adat Sihaporas ini jadi perhatian Komnas HAM. Karenanya, kehadiran mereka di Sihaporas untuk mencari informasi dan masukan terkait penyelesaian konflik yang terjadi selama ini antara Masyarakat Adat dengan TPL.

“Komnas HAM ingin agar konflik Masyarakat Adat Sihaporas dengan TPL bisa segera diakhiri,” katanya.

Praboanto mengatakan penyelesaian konflik ini sangat penting supaya Masyarakat Adat Sihaporas bisa kembali beraktifitas dengan normal di wilayah adatnya.

Tetua Adat Sihaporas Ompu Morris Ambarita menyambut baik kedatangan tim Komnas HAM ke Sihaporas. Pada kesempatan ini, Morris bermohon kepada Komnas HAM untuk membantu Masyarakat Adat Sihaporas dalam menyelesaikan persoalan konflik tanah adat yang dirampas TPL.

Ompu Morris menjelaskan perjuangan Masyarakat Adat Sihaporas dalam mempertahankan hak-haknya mengelola tanah adat warisan leluhur sudah dimulai sejak 1998. Sampai kini, sebutnya, perjuangan itu masih terus mereka lakukan hingga beberapa orang harus meringkuk dalam penjara.

“Sudah ada 9 orang Masyarakat Adat Sihaporas, termasuk saya yang dipenjara akibat dampak dari perjuangan kami mempertahankan tanah adat yang dirampas TPL,” ungkapnya.

Ompu Morris menyatakan Masyarakat Adat Sihaporas telah melakukan audensi dengan pemerintah daerah, provinsi dan pusat terkait konflik tanah adat mereka yang dirampas TPL.  Bahkan, mereka  sudah bertemu dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya Bakar pada 2018. Namun, sejauh ini tidak ada solusi.

“Kami hanya diarahkan supaya wilayah adat Sihaporas didaftarkan ke Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Itu sudah kita lakukan, wilayah adat Sihaporas resmi telah terdaftar di BRWA,” jelasnya.

Tapi, akunya, hingga kini TPL masih saja menguasai tanah warisan leluhur. Bahkan belakangan ini, sebut Ompu Morris, TPL diduga menggunakan tangan-tangan polisi untuk menangkapi tokoh-tokoh adat yang selama ini vokal menentang perampasan tanah adat Sihaporas.   

Belum lama ini, polisi menangkap tokoh adat Sorbatua Siallagan.  Tak berselang lama kemudian, lima orang Masyarakat Adat Sihaporas diculik oleh polisi berpakaian preman saat sedang tertidur lelap di rumahnya masing-masing.

Doni Munte dari Biro Advokasi AMAN Tano Batak menyatakan kasus-kasus penangkapan tokoh adat dan perampasan lahan adat ini bisa selesai jika ada keberpihakan pemerintah daerah dan pusat untuk menyelesaikan konflik  Masyarakat Adat. Doni menyebut salah satu bentuk keperpihakan pemerintah dalam penyelesaian kasus ini adalah penerbitan SK Pencadangan Hutan Adat kepada Masyarakat Adat Sihaporas.

“Tanpa itu (SK), konflik akan terus berlangsung,” katanya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Tano Batak, Sumatera Utara

Writer : Risnan Ambarita | Jakarta
Tag : Tutup TPL Komnas HAM