Mencari Keberkahan dari Ritual Abbattasa Jera di Gowa
27 September 2024 Berita Sahrul GunawanOleh Sahrul Gunawan
Ratusan Masyarakat Adat Teko berduyun-duyun mendatangi areal pekuburan leluhur untuk mengikuti ritual Abbattasa Jera di Desa Manimbahoi, Kecamatan Parigi, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Abbattasa Jera’ merupakan sebuah tradisi yang telah dilakukan secara turun temurun dan masih dipertahankan sampai sekarang oleh Masyarakat Adat Teko. Tradisi ini merupakan tradisi yang rutin dilakukan tiga tahun sekali oleh Masyarakat Adat Teko untuk mencari keberkahan dan keselamatan dari Sang Pencipta.
Tradisi ini bermakna membersihkan kuburan leluhur, sesuai namanya Abbattasa yang berarti membersihkan dan Jera berarti kuburan atau makam.
Pelaksanaan ritual ini ditentukan pada musyawarah adat yang bernama Balle Sumanga’ Musyawarah dihadiri oleh para pemangku adat di Teko.
Daeng Tutu, salah seorang pemangku adat di Teko menerangkan kegiatan ritual Abbattasa Jera’ ini dilaksanakan satu kali dalam tiga tahun yang bertujuan untuk mengenang para pendahulu Masyarakat Adat Teko. Tutu menambahkan para pendahulu dimaksud adalah orang-orang yang mengawali peradaban hingga meninggalkan berbagai macam warisan berupa tanah, sawah dan hal-hal lain.
Dikatakannya, tradisi ini merupakan wujud bakti mereka terhadap leluhur bahwasanya kita tidak serta-merta hadir di tempat ini melainkan berkat dari perjuangan para leluhur.
“Makanya, kita laksanakan ritual Abbattasa Jera ini untuk mengenang para pendahulu Masyarakat Adat Teko,” kata Daeng Tutu disela pelaksanaan ritual Abbattasa Jera di wilayah adat Teko pada Sabtu, 21 September 2024.
Tutu menambahkan selain mengenang leluhur, kegiatan ritual ini juga dilaksanakan untuk mencari keberkahan dan minta keselamatan kepada Sang Pencipta. Kemudian, sebagai ajang silaturahmi antar Masyarakat Adat Teko yang sedang merantau atau berada di luar daerah.
Tutu menjelaskan pelaksanaan Abbattasa Jera’ biasanya diawali dengan prosesi ritual Appatannang Paasara yang merupakan prosesi pembersihan area pekuburan Masyarakat Adat Teko. Pembersihan kuburan ini dilakukan oleh para pemangku adat dengan membawa daun sirih yang di bungkus bersama dengan buah Pinang (Leko’). Setelah makam dibersihkan, buah Pinang tadi ditaruh di atas kuburan leluhur Masyarakat Adat Teko. Kemudian, para pemangku adat meninggalkan kuburan.
Setelah pemangku adat meninggalkan kuburan, Masyarakat Adat mempersiapkan bunga atau Apparuru Bunga untuk ditabur di atas kuburan. Tapi sebelum ditaburkan, bunga terlebih dahulu didoakan imam. Prosesi ini disebut Abbaca Salama atau membacakan doa agar prosesi berjalan lancar.
Selanjutnya, penaburan bunga dilakukan oleh pemangku adat. Setumpuk bunga mereka taburkan ke kuburan leluhur Masyarakat Adat yang pertama bermukim di wilayah adat Teko. Selanjutnya, dibacakan doa oleh para pemangku adat. Prosesi itu diikuti oleh Masyarakat Adat. Mereka ikut menaburkan bunga ke semua kuburan leluhur yang ada di wilayah adat Teko.
Pada proses ini, Masyarakat Adat eko berkumpul di rumah adat masing-masing yang terdapat di wilayah adat Teko. Kemudian, mereka berjalan beriringan. Tidak boleh saling mendahului untuk menuju pemakaman adat Teko, sembari membawa beberapa jenis bunga yang dibungkus pada kain putih yang telah dipersiapkan hingga sampai di lokasi pekuburan.
“Bunga yang telah disiapkan itu diletakkan di Jera’ Lompoa atau kuburan orang yang pertama kali bermukim di wilayah adat Teko,” ungkap Tutu.
Tutu menyebut ada dua jenis bunga yang mereka tabur di semua kuburan leluhur yakni Bunga Khususu’ yaitu bunga yang dikhususkan untuk orang yang dikenal atau memiliki hubungan keluarga dan Bunga Labbang yaitu bunga yang ditaburkan untuk kuburan yang tidak diketahui identitasnya.
Tutu melanjutkan setelah selesai menabur bunga di atas kuburan leluhur, ritual terakhir sebagai penutup dari seluruh rangkaian ritual Abbattasa Jera’ adalah Abbaca ri Balla Ada’ atau memanjatkan doa di rumah adat untuk mendiang yang diziarahi.
Pada ritual ini, sebut Tutu, seorang pemangku adat yang memiliki ilmu spritual lazim disebut Sanro membacakan doa agar seluruh prosesi Abbattasa Jera’ ini diberikan keberkahan dan keselamatan oleh para leluhur dan Pencipta Alam Semesta.
Ritual Abbattasa Jera di Gowa. Dokumentasi AMAN
Dipercaya Mendapat Keberkahan
Daeng Mantang, penasehat di Komunitas Masyarakat Adat Teko menerangkan bahwa ritual Abbattasa Jera’ ini dilaksanakan tiga tahun sekali oleh Masyarakat Adat Teko.
Mantang menjelaskan menurut kepercayaan Masyarakat Adat Teko, dengan melaksanakan ritual ini dipercayai akan mendapatkan keberkahan dan keselamatan. Sebaliknya, ketika tidak dijalankan maka masyarakat tidak akan menemukan keberkahan di dalam kehidupan sehari-hari.
“Jadi, ritual ini punya hubungan dengan kehidupan masyarakat. Ketika ritual ini tidak dilaksanakan maka masyarakat ke depannya, dipercaya tidak akan menemukan keberkahan di dalam hidupnya,” terangnya.
Mantang menambahkan tradisi Abbattasa Jera’ ini mengindikasikan atau menekankan sebuah ikatan antara yang hidup dengan yang mati tidak dapat dipisahkan dan senantiasa saling mempengaruhi.
Daeng Samado, salah seorang Masyarakat Adat Teko menerangkan bagi Masyarakat Adat Teko, kuburan bukan hanya menjadi simbol makam manusia tetapi situs peninggalan leluhur. Masyarakat Adat Teko yang berada diluar wilayah adat Teko akan kembali untuk bersama-sama menjalanjkan prosesi ritual Abbattasa Jera’.
“Masyarakat Adat Teko mempercayai bahwa arwah leluhur akan datang ke makam mereka saat ritual Abbattasa Jera’ ini dilaksanakan. Arwah tersebut melihat keluarga yang mengunjunginya,” ujarnya.
Oleh karena itu, ritual Abbattasa Jera’ ini bukan sekadar bersih-bersih makam, melainkan juga sebagai ruang untuk saling bertemu dan juga meminta keberkahan dari Sang Pencipta.
Melestarikan Tradisi Leluhur
Ketua Pengurus Daerah AMAN Gowa, Mustaqim menuturkan pelaksanaan ritual Abbattasa Jera ini menjadi bukti bahwasanya Masyarakat Adat Teko sampai saat ini masih terus melestarikan tradisi leluhurnya.
”Abbattasa Jera' jadi bukti Masyarakat Adat Teko masih melestarikan tradisi leluhurnya,” tegas Mustaqim
Dikatakannya, sebagai pewaris tentu menjadi penting menjaga nilai Sipakatau, Sipakainga', Sipakalibbiri' dengan satu tujuan yang sama, yakni eksistensi Masyarakat Adat harus diakui secara utuh.
“Untuk itu, kita mendesak pemerintah segera mengesahkan Undang-Undang Masyarakat Adat sebagai pemenuhan hak dan perlindungan bagi Masyarakat Adat yang kaya akan budaya dan tradisi,” pungkasnya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Gowa, Sulawesi Selatan