Oleh Apriadi Gunawan dan Simon Welan

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendesak aparat kepolisian segera membebaskan Masyarakat Adat dan jurnalis yang ditangkap saat melakukan aksi demonstrasi menolak proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi atau Geothermal di Pocoleok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.

AMAN mengutuk keras tindakan aparat yang melakukan penangkapan terhadap Masyarakat Adat dan jurnalis tersebut karena mereka sedang memperjuangkan hak atas wilayah adat dan menjalankan tugas jurnalistik.

Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi menyatakan tindakan penangkapan sewenang-wenang  yang dilakukan aparat keamanan terhadap Masyarakat Adat dan jurnalis mencederai prinsip keadilan, kebebasan berekspresi, dan hak Masyarakat Adat untuk mempertahankan wilayah adatnya.  Menurutnya,  cara-cara kekerasan yang dipraktekkan oleh aparat  keamanan  tersebut  tidak dapat ditolerir.  Karena itu, Rukka mendesak aparat keamanan untuk segera membebaskan Masyarakat Adat dan jurnalis yang ditangkap.  

“Mereka harus segera dibebaskan,” kata Rukka Sombolinggi pada Rabu, 3 Oktober 2024.

Empat orang ditangkap polisi, satu diantaranya Jurnalis dari media Floresa dalam aksi demonstrasi menolak proyek Geothermal di Pocoleok, Kabupaten Manggarai pada Rabu, 2 Oktober 2024. Sejumlah Masyarakat Adat yang ikut dalam aksi demontrasi juga menjadi korban kekerasan aparat gabungan TNI, Polri dan Satpol PP.  Puluhan orang luka-luka dan beberapa tidak sadarkan diri karena mendapatkan kekerasan dari aparat keamanan.

Baca juga: Masyarakat Adat Poco Leok Tolak Pembangunan Geothermal di Manggarai

Sinarjo, salah seorang warga Pocoleok yang ikut dalam aksi demontrasi mengatakan sejak awal, Masyarakat Adat tidak menginginkan adanya proyek pembangunan Geothermal di wilayah adat Pocoleok. Namun, pemerintah memaksa masuk hingga terjadi penghadangan terhadap petugas PLN dan Pemerintah Kabupaten Manggarai seperti yang terjadi pada Rabu, 2 Oktober 2024. Sayangnya, aparat langsung bertindak represif  dengan cara mendorong dan mendobrak penghadangan Masyarakat Adat disertai pemukulan terhadap sejumlah warga. Bahkan, beberapa orang ditangkap termasuk jurnalis. 

“Beringas sekali mereka (aparat keamanan) saat memukuli warga. Saya termasuk ikut dipukul,” kata Sinarjo dengan nada geram.

Sinarjo mengatakan Masyarakat Adat melakukan perlawanan karena mereka ingin mempertahankan tanah yang diwariskan leluhur  tidak dibangun proyek Geothermal. Sinarjo pun mempertanyakan apakah salah cara mereka tersebut .

“Salahnya dimana kalau kami tetap mempertahankan tanah leluhur kami,” tuturnya.

Sinarjo menambahkan tanah yang dimiliki Masyarakat Adat Pocoleok adalah tanah warisan leluhur sehingga tidak diperbolehkan untuk menjualnya kepada siapa pun. Oleh karena itu, sebut Sinarjo, dirinya bersama Masyarakat Adat Pocoleok lainnya tetap berkomitmen untuk melawan siapa pun yang datang dengan caranya untuk mengambil tanah warisan leluhur mereka.

“Siapa pun yang mencoba mengambil tanah warisan leluhur akan kami lawan, jangan coba-coba,” tandasnya.


Empat orang yang ditangkap aparat kepolisian. Dokumentasi istimewa

Tindakan Kriminalisasi

Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Syamsul Alam Agus mengatakan tindak kekerasan yang disertai penangkapan terhadap Masyarakat Adat dan jurnalis oleh aparat  keamanan dalam menghadapi aksi demonstrasi penolakan proyek Goethermal di Pocoleok merupakan tindakan kriminalisasi.  Syamsul menegaskan PPMAN mendukung sikap Masyarakat Adat yang menolak proyek Geothermal di Pocoleok. Menurutnya, proyek Geothermal yang dilakukan tanpa persetujuan Masyarakat Adat setempat jelas melanggar prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) yang diakui oleh Hukum Internasional dan Nasional.

Dalam hal ini, PPMAN juga mengecam tindakan kriminalisasi terhadap Jurnalis yang sedang menjalankan tugasnya di lapangan. Syamsul menjelaskan kebebasan pers adalah salah satu pilar demokrasi yang harus dijaga oleh semua anak bangsa, termasuk aparat  keamanan.  Menurutnya, tindakan represif yang dipertontonkan aparat keamanan terhadap jurnalis menunjukkan upaya untuk membungkam kebenaran.

Mendorong Penyelesaian Damai

PPMAN menyerukan agar semua pihak, termasuk pemerintah, perusahaan Geothermal dan Masyarakat Adat segera duduk bersama dalam forum dialog untuk mencari solusi damai, transparan, dan berkeadilan atas permasalahan yang terjadi di Pocoleok.

Syamsul Alam mengatakan konflik tidak akan terselesaikan melalui kekerasan, tetapi melalui musyawarah dan penghormatan terhadap hak-hak semua pihak. Apalagi, jika aparat keamanan cenderung mengedepankan tindakan represif menghadapi masyarakat .

“Tindakan represif akan semakin memperkeruh situasi dan menciptakan ketidakadilan yang berkepanjangan.  Sebaiknya, kedepankan jalan dialog. Itu lebih baik ketimbang bertindak represif,” ungkapnya.

Mendesak Proyek Geothermal Dievaluasi

PPMAN mendesak pemerintah dan KFW Bank Jerman yang membiayai proyek Geothermal di Pocoleok, Kabupaten Manggarai untuk mengevaluasi kembali proyek tersebut. Pertimbangannya, sebut Syamsul, proyek Geothermal memberi dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial yang dapat merugikan Masyarakat Adat serta ekosistem setempat. Menurutnya, pembangunan yang berkelanjutan harus sejalan dengan perlindungan Hak Asasi Manusia dan hak Masyarakat Adat.

Atas dasar pemikiran ini, Syamsul menyebut  sudah seharusnya proyek Geothermal di Pocoleok dievaluasi ulang oleh pemerintah.

“Masyarakat Adat menolak, ini harusnya jadi pertimbangan bagi pemerintah untuk mengevaluasi proyek Geothermal di Pocoleok,” tegasnya. 

***

Penulis Simon adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Nusa Tenggara Timur

Writer : Simon Welan | Nusa Bunga
Tag : Masyarakat Adat Poco Leok Geothermal