Oleh Titi Pangestu

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendorong pentingnya keadilan bagi Masyarakat Adat dalam pertemuan Global Land Gap Report 2024 di Bogota, Kolombia.

Dalam pertemuan yang berlangsung selama tiga hari mulai 17-19 Oktober 2024, AMAN yang diwakili Deputi Sekjen Eustobio Rero Renggi menekankan pentingnya peran Masyarakat Adat dalam menjaga ekosistem dan mendukung transisi adil menuju masa depan yang berkelanjutan.

Eustobio juga menegaskan Masyarakat Adat harus menjadi bagian utama dalam diskusi kebijakan di pertemuan ini.

“Semoga pertemuan ini dapat menghasilkan peta jalan kolektif dan strategi advokasi bersama untuk menciptakan masa depan yang lebih adil bagi Masyarakat Adat di seluruh dunia,” kata Eustobio dalam presentasinya di hadapan peserta pertemuan global Land Gap Report pada 18 Oktober 2024 waktu Bogota, Kolombia.  

Pertemuan bertajuk The Land Gap Report : Global Convenin on Just Transitions for Land, Forest and People dihadiri sejumlah tokoh penting dari berbagai komunitas global yang fokus pada perlindungan hutan, tanah, dan hak Masyarakat Adat. Di pertemuan ini, para tokoh berdiskusi seputar adanya kesenjangan lahan global atau Land Gap, di mana strategi mitigasi iklim negara-negara bergantung pada penggunaan lahan yang tidak realistis, hampir setara dengan lahan pertanian global saat ini.

Pertemuan Land Gap Report digelar menjelang COP30 UNFCCC di Brasil pada tahun 2025. Sejumlah negara yang hadir nantinya diharapkan untuk menyerahkan “Putaran Kedua” Kontribusi yang ditentukan secara Nasional (NDC).

Eustobio menyatakan tujuan dari pertemuan global Land Gap Report di Bogota untuk menganalisis sejauh mana rencana dan komitmen negara-negara untuk mitigasi perubahan iklim mengandalkan penggunaan lahan. Kemudian, mengevaluasi apakah jumlah lahan yang dijanjikan untuk tujuan mitigasi cukup untuk mencapai target keberlanjutan yang diinginkan.

Terkait tujuan tersebut, sebut Eustobio, AMAN menyampaikan beberapa poin kunci yang mencakup:

  • Menegaskan posisi Masyarakat Adat sebagai pemegang hak atas hutan, tanah, dan sumber daya alam di wilayah adat, sehingga wajib memposisikan Masyarakat Adat sebagai kunci utama dalam menjaga ekosistem keanekaragaman hayati
  • Menghentikan pendanaan bagi industri ekstraktif di wilayah adat dan mengalihkannya untuk mendukung ekonomi berbasis kearifan lokal untuk keberlanjutan bumi, sehingga paradigma ekonomi yang sepenuhnya menyerahkan persaingan ekonomi pada skema pasar bisa dihentikan
  • Mendorong akses langsung dan jangka panjang untuk pendanaan yang mendukung upaya Masyarakat Adat dalam menjaga iklim, tanah dan hutan.
  • Mendesak pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat di negara berkembang (termasuk melakukan reformasi hukum, kebijakan dan tata cara untuk mengakhiri kriminalisasi terhadap Masayarakat Adat)a
  • Mendukung agenda -agenda riset untuk memperkuat perjuangan Masyarakat Adat dalam menghadapi tantangan global.
  • Perlunya mengakhiri ketergantungan pada bahan bakar fosil untuk mengatasi krisis iklim, dengan tidak merusak wilayah adat dan harus memenuhi kriteria keadilan, keberlanjutan lingkungan serta mengakomodir perspektif hak dan kesejahteraan Masyarakat Adat dalam menjaga bumi berdasarkan norma , hukum dan mendukung penguatan kelembagaan Masyarakat Adat
  • Mendorong kampanye global untuk seluruh produk dan ijin invenstasi yang masuk ke wilayah adat harus sesuai dengan prinsip dan mekanisme FPIC
  • Menolak berbagai skema karbon berbasis pasar di wilayah adat
  • Pemerintah dan Lembaga-lembaga donor harus segera merealisasikan komitmen pendaan global $ 1,7 miliar untuk Masyarakat Adat dan komunitas lokal secara langsung yang selama ini masih tertahan ditingkat internasional dan intermediari

***

Penulis adalah Direktur Infokom PB AMAN

Writer : Titi Pangestu | Jakarta
Tag : Bogota Global Land Gap Report COP30 UNFCCC