Kemah Adat BPAN Kotawaringin Barat: Pemuda Adat Diajak Menjaga Keseimbangan Alam
20 November 2024 Berita Thata Debora AgnessiaOleh Thata Debora Agnessia
Pemuda Adat diajak untuk memperkuat pemahaman akan pentingnya menjaga keseimbangan alam di wilayah adat lewat kegiatan Kemah Adat yang dilaksanakan oleh Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Kotawaringin Barat.
Kemah Adat yang digelar di tepi pantai Sabuai, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah ini diikuti puluhan pemuda dari berbagai komunitas adat di Kotawaringin Barat.
Kegiatan yang mengusung tema “Membentuk Pemuda yang Berperspektif dan Berjiwa Masyarakat Adat dalam Dinamika Sosial Modern” ini dilaksanakan selama dua hari mulai 2 November 2024.
Beragam acara disajikan untuk menyemarakkan Kemah Adat, mulai dari menonton film, diskusi hingga dimeriahkan dengan sejumlah permainan menarik.
Ketua BPAN Kotawaringin Barat, Sandi Kurniawan menyatakan kegiatan Kemah Adat ini bertujuan untuk memperkuat pemahaman pemuda akan pentingnya menjaga keseimbangan alam di wilayah adat mengingat Masyarakat Adat memiliki keterikatan yang mendalam dengan alam sekitar. Menurutnya, tujuan ini sangat relevan dengan tantangan yang dihadapi oleh Masyarakat Adat di era modern, dimana modernisasi dan marjinalisasi semakin mengancam keberlanjutan mereka.
“Ini adalah momen penting untuk memperkuat semangat dan peran generasi muda dalam pelestarian budaya dan lingkungan adat mereka, terutama di tengah modernisasi yang terus berkembang dan marjinalisasi yang dialami oleh Masyarakat Adat,” kata Sandi disela-sela pelaksanaan Kemah Adat di Kotawaringin Barat.
Kemah Adat dibuka dengan prosesi tradisi tapung tawar. Tapung tawar yang berarti "tapung" (tepung) dan "tawar" dalam bahasa Banjar sebagai pengobatan ini melibatkan percikan air yang dicampur kunyit dan disertai doa-doa dari para tetua adat. Media untuk memercikkan airnya berupa potongan dan anyaman daun pisang, daun kelapa, atau daun sirih.
Di kalangan Masyarakat Adat Dayak dan Melayu, tapung tawar dikenal sebagai tradisi sakral yang dilakukan di berbagai acara penting, mulai dari pernikahan hingga upacara adat besar. Tapung tawar diyakini sebagai upaya tolak bala untuk menolak pengaruh negatif dan membawa keselamatan bagi para peserta. Ritual tapung tawar telah menjadi identitas Masyarakat Adat dalam menjaga keseimbangan spiritual dan hubungan mereka dengan alam.
"Ritual ini adalah pengingat bahwa meskipun dunia berubah, akar budaya dan nilai-nilai leluhur sebagai identitas harus terus dilestarikan,” ujar Muzy, Ketua Bidang Hubungan Masyarakat dan Sosial (Humas) BPAN Kotawaringin Barat.
Menonton Film di Acara Kemah Adat. Dokumentasi AMAN
Rangkaian Acara Kemah Adat
Kegiatan Kemah Adat dipenuhi dengan beragam rangkaian acara, diantaranya nonton bersama (nobar) film yang bertujuan menggugah pemahaman kolektif pemuda adat mengenai konflik agraria dan peran penting perempuan adat. Film yang ditonton merupakan kisah nyata yang dialami langsung oleh beberapa peserta dari komunitas adat.
Setelah pemutaran film, acara dilanjutkan dengan diskusi interaktif guna membuka ruang untuk berbagi pandangan, pengalaman, serta memperkuat solidaritas.
Diskusi ini memantik wawasan baru mengenai pentingnya peran aktif pemuda dalam mengawal, melestarikan warisan leluhur. Kemudian, dari diskusi ini juga para peserta saling bersolidaritas bersama dalam memperjuangkan hak-hak Masyarakat Adat di tengah arus globalisasi yang semakin kuat.
“Pemuda sebagai ujung tombak Masyarakat Adat. Tanpa pemuda yang memahami dan berjuang untuk adat, Masyarakat Adat akan tergerus dan tidak punya ruang untuk bertahan,” kata Rusdi, salah seorang peserta diskusi.
Di acara diskusi ini, peserta mendapatkan wawasan dari narasumber Kesyadi Antang dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Tengah. Kesyadi memberikan materi mengenai isu agraria dan lingkungan yang dihadapi komunitas adat Dayak, seperti ancaman deforestasi, degradasi lahan, dan dampaknya terhadap ekosistem serta budaya lokal. Kesyadi juga menyampaikan pesan reflektif tentang identitas Masyarakat Adat dalam dinamika zaman.
“Masyarakat Adat bukan hanya mereka yang hidup di desa atau hutan, tetapi termasuk kita semua yang hidup di kota, yang tetap menjaga, menghormati, dan mempraktikkan nilai-nilai leluhur,” terangnya.
Kesyadi menekankan pemuda adat harus berpikir kritis. Menurutnya, hal ini penting sebagai salah satu kunci untuk memahami persoalan yang ada. Kesyadi mengatakan pemuda adat harus mampu melihat dan memahami kondisi Masyarakat Adat secara komprehensif, baik dari segi politik, ekonomi, sosial, maupun budaya.
Selain menonton film dan diskusi, peserta Kemah Adat diajak untuk merasakan langsung hubungan erat antara manusia dan alam, dimana setiap elemen lingkungan memiliki peran penting dalam keberlanjutan hidup. Sayangnya, fakta yang ada menunjukkan bahwa wilayah pesisir Sabuai yang dahulu kaya akan sumber daya alam kini hanya menyisakan sekitar 10 orang nelayan yang masih bertahan.
Fenomena penurunan jumlah nelayan menggambarkan bagaimana keseimbangan alam semakin terganggu dan banyak orang lebih memilih sektor lain yang dianggap lebih menguntungkan. Namun melalui kegiatan ini, para peserta diajak untuk memahami betapa pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem, serta mengelola sumber daya alam dengan cara yang tidak merusak.
Di penghujung acara, panitia menyajikan serangkaian permainan menarik dan refleksi guna mempererat kebersamaan dan semangat kerja sama antar pemuda adat. Tawa dan sorak sorai mengisi udara, menandai semangat baru yang tercipta di antara para peserta.
Ketua BPAN Kotawaringin Barat, Sandi Kurniawan menjelaskan kegiatan Kemah Adat dirasa penting untuk dilaksanakan sebagai wadah pembelajaran yang tidak hanya bersifat edukatif, tetapi juga mengandung nilai filosofis yang mendalam bagi pemuda adat, yakni untuk kembali ke akar.
"Melalui kegiatan Kemah Adat ini, kami ingin para pemuda menyadari bahwa budaya bukan sekadar warisan, tetapi adalah bagian dari jati diri yang harus dirawat dan diperjuangkan,” tuturnya sembari mengingatkan kita akan tanggung jawab bersama dalam menjaga hutan dan lingkungan, yang tak terpisahkan dari kehidupan Masyarakat Adat.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah