Empat Pejuang Masyarakat Adat Sihaporas Tolak Putusan Hakim : Kami Bukan Penjahat!
17 Januari 2025 Berita Maruli SimanjuntakOleh Maruli Simanjuntak
Majelis hakim Pengadilan Negeri Simalungun di Sumatera Utara menuai sorotan usai menjatuhkan vonis pidana penjara terhadap empat anggota Masyarakat Adat Sihaporas dalam sidang yang digelar pada Kamis, 16 Januari 2025.
Keputusan majelis hakim yang diketuai Erika SE Ginting tersebut dinilai tidak adil oleh kuasa hukum karena mereka adalah korban kriminalisasi yang diculik dari rumah. Empat orang pejuang Masyarakat Adat Sihaporas yang dipidana juga menolak putusan majelis hakim tersebut.
Keempatnya adalah Jonny Ambarita dipidana 1 tahun penjara, namun dalam berkas terpisah Jonny Ambarita kembali divonis 1 tahun 2 bulan penjara. Sementara, Giovani Ambarita dan Parando Tamba dihukum masing-masing 8 bulan penjara. Sedangkan, Thomson Ambarita dijatuhi hukuman 1 tahun penjara.
Jonny Ambarita menyatakan dengan tegas menolak vonis tersebut. Ia menilai putusan majelis hakim tidak adil karena hasil rekayasa hukum.
"Ketika pengusaha dan penguasa bersekongkol, rakyat menjadi korban. Saya divonis atas kesalahan yang tidak pernah saya lakukan. Ini rekayasa. Satu hari pun saya tidak terima ditetapkan bersalah atas hal yang tidak pernah saya lakukan," tandasnya usai mendengarkan putusan majelis hakim di Pengadilan Negeri Simalungun.
Thomson Ambarita juga menyampaikan hal serupa. Thomson mengaku mereka bukan penjahat . Sebaliknya, mereka korban kriminalisasi yang diculik dari rumah. Selama ini, akunya, mereka hanya menjaga dan memperjuangkan tanah leluhur yang dititipkan kepada mereka untuk penghidupan Masyarakat Adat Sihaporas.
"Kami bukan penjahat, bukan pula perampok. Kami korban kriminalisasi, tapi kami dihukum. Ini sangat tidak adil," katanya dengan nada pilu sambil menahan air mata.
Kuasa Hukum : Tidak Adil
Audo Sinaga, kuasa hukum terdakwa, mengecam vonis hakim tersebut. Ia menilai majelis hakim telah mengambil keputusan yang salah karena mengabaikan fakta persidangan yang berpihak kepada Masyarakat Adat. Ironinya, sebut Audo, semua pertimbangan yang mereka ajukan sebagai dasar tidak bersalahnya para terdakwa tidak diperhatikan oleh majelis hakim.
“Putusan majelis hakim tidak adil, terkesan sangat diskriminatif. Semua pertimbangan kami diabaikan,” kata Audo usai mendengar putusan majelis hakim di Pengadilan Negeri Simalungun.
Audo mengatakan putusan hakim ini bukan akhir dari segalanya. Dikatakannya, perjuangan mereka untuk mencari keadilan belum selesai. “Kami akan terus melawan untuk keadilan," tegasnya.
Hal senada disampaikan oleh kuasa hukum lainnya, Boy Raja Marpaung yang menilai vonis majelis hakim terhadap empat pejuang Masyarakat Adat Sihaporas mencerminkan kriminalisasi. Oleh karenanya, keputusan majelis hakim ini akan mereka lawan. Sebab secara hukum, klien mereka punya hak untuk mengajukan banding atas putusan yang tidak adil ini.
“Keputusan untuk mengajukan banding akan diserahkan kepada keluarga. Kami menunggu saja,” kata Boy sembari memastikan pihaknya tetap akan mendampingi Masyarakat Adat dalam perjuangan hukum yang lebih besar.
Masyarakat Adat korban penangkapan dalam jeruji. Dokumentasi AMAN
Kronologi Masalah
Putusan pidana penjara yang diterima empat orang pejuang Masyarakat Adat Sihaporas berawal dari konflik Masyarakat Adat Sihaporas dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) pada 18 Juli 2022. Ketika itu perusahaan TPL menuduh warga melakukan pembakaran hutan, pemasangan paku di jalan, dan memblokade wilayah Buntu Pangaturan. Alih-alih menyelesaikan konflik secara damai, TPL melibatkan aparat yang bertindak represif dengan membongkar blokade menggunakan alat berat, yang akhirnya memicu bentrokan fisik.
Situasi semakin memanas pada 14 Mei 2024, ketika Samuel Sardiaman Sinaga, perwakilan TPL, diduga menghina leluhur Masyarakat Adat dan melakukan kekerasan terhadap seorang perempuan adat bernama Nurinda Napitu. Tindakan ini memicu kemarahan warga Sihaporas.
Puncaknya, pada dini hari 8 Juli 2024, empat pejuang Masyarakat Adat Sihaporas : Thomson Ambarita, Jonny Ambarita, Parando Tamba, dan Giovani Ambarita ditangkap secara paksa dari rumah mereka oleh aparat. Mereka didakwa melakukan pengeroyokan dan kekerasan terhadap barang atau orang sebagaimana diatur dalam Pasal 170 KUHP.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Tano Batak, Sumatera Utara