Kepala Desa Tempayung Korban Kriminalisasi, AMAN Kotawaringin Barat : Bebaskan !
28 Januari 2025 Berita Thata Debora AgnessiaOleh Thata Debora Agnessia
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kotawaringin Barat mendesak aparat penegak hukum untuk membebaskan Kepala Desa Tempayung Syachyunie yang kini sedang menjalani proses hukum di Pengadilan Negeri Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.
AMAN menilai tidak pantas anggota komunitas Masyarakat Adat Tempayung berusia 47 tahun itu dikriminalisasi atas tuduhan sebagai dalang pemortalan akses perkebunan PT Sungai Rangit Sampoerna Agro di desa Tempayung, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
Syachyunie menjadi tersangka usai diperiksa penyidik Polres Kotawaringin Barat pada Jum’at, 27 September 2024. Saat itu, Syachyunie baru saja pulang perjalanan dinas dari Jakarta. Ia dijemput polisi dari bandara Iskandar Pangkalanbun dan langsung dibawa ke kantor Polres Kotawaringin Barat untuk menjalani pemeriksaan atas tuduhan dalang pemortalan akses jalan ke perkebunan PT Sungai Rangit Sampoerna Agro. Namun, Syachyunie tidak ditahan karena ada permintaan dari Ketua PD AMAN Kotawaringin Barat serta jaminan dari Camat Kotawaringin Lama. Tapi, Syachyunie tetap menjadi tersangka.
Syachyunie mengaku saat ditangkap di bandara, awalnya polisi bilang mau mengantar dirinya ke kantor polisi untuk klarifikasi. Proses klarifikasi berlangsung cepat. Tak butuh waktu lama, surat penangkapan dan penahanan sudah ada dihadapannya. Syachyunie menolak penetapan dirinya sebagai tersangka. Ia pun menolak untuk menandatangani surat penetapan tersangka yang disodorkan polisi kepada dirinya.
"Saya menolak tanda tangan karena tuduhan itu tidak benar," tegasnya saat menceritakan kisah pilu tersebut pada Jum’at, 24 Januari 2025.
Kini, kasus Syachyunie telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Kotawaringin Barat. Ia dikenai status tahanan rumah pada 5 Desember 2024. Pada kakinya, dipasang gelang pelacak GPS.
Syachyunie protes, namun dirinya tak bisa berbuat apa-apa. Keluarganya juga marah atas perlakuan tersebut.
“Saya tidak pernah anarkis atau melakukan tindak kriminal. Tapi, diperlakukan seperti penjahat kelas kakap, tentu ini menyakitkan,” kata Syachyunie.
Menurutnya, pemasangan gelang pelacak tersebut dianggap sebagai sesuatu yang berlebihan, bahkan terkesan bertujuan hanya untuk mengintimidasi dirinya.
Ketua PD AMAN Kotawaringin Barat, Mardani meminta agar gelang yang terpasang di kaki Syachyunie dapat dilepas. Mardani menuturkan permohonan ini sudah berulang kali diajukannya kepada aparat penegak hukum yang menangani kasus Syahyunie, namun ditolak dengan alasan prosedural.
“Secara etika, kami rasa pemasangan alat pelacak di kakinya tidak pantas, seakan ingin memberitakan kepada dunia bahwa Syachyunie penjahat yang perlu mendapat pengawasan ketat,” ungkapnya.
Mardani juga mengaku telah mengajukan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) atas kasus yang menjerat Syachyunie. Namun, ditolak oleh penyidik.
Kepala Desa Tempayung diadili di Pengadilan Negeri Pangkalan Bun. Dokumentasi AMAN
Perusahaan Menolak Memberikan Plasma
Syachyunie menjelaskan kasus ini berawal dari tuntutan masyarakat agar perusahaan perkebunan memberikan plasma 20 persen kepada mereka, sebagaimana diamanatkan regulasi dan perjanjian kedua belah pihak. Namun, dalam tiga kali mediasi di tingkat Kabupaten, pihak perusahaan tetap menyangkal. "Mereka hanya berpegang pada data, sedangkan kami yang berada di lapangan mengetahui bahwa realisasi plasma tidak sesuai janji," ujarnya.
Syachyunie mengaku tiga kali dilakukan mediasi, tapi tidak membuahkan hasil. Masyarakat muak dan melakukan aksi. Syachyunie sebagai Kepala Desa terus mendampingi masyarakatnya. Sayangnya, apa yang dilakukannya menjadi bumerang. Ia dituduh sebagai provokator dari aksi masyarakat, sebuah stigma yang menutup mata pada niat baiknya menjaga aksi tetap damai.
Syachyunie tidak percaya. Perasaan kaget dan kecewa terus menyelimuti Kepala Desa Tempayung ini. Secepat itu, dirinya ditetapkan menjadi tersangka. “Padahal, kemarin masih dalam tahap mediasi di Kabupaten, tiba-tiba saya ditetapkan sebagai tersangka,” katanya heran.
Syachyunie menduga adanya pengkhianatan di tengah perjuangan, yang membuat pihak perusahaan mendapatkan informasi untuk memperkuat tuduhan mereka atas dirinya. Namun, Syachyunie menguatkan dirinya.
Ia tetap optimistis. Baginya, perjuangan ini adalah soal masa depan Masyarakat Adat Tempayung agar mereka tetap menjadi tuan di tanah sendiri.
Meski dikriminalisasi, dukungan dari masyarakat tidak surut. Bahkan, saat sidang perdana, ratusan warga Tempayung menggeruduk Pengadilan Negeri (PN) Pangkalan Bun. Kehadiran massa itu adalah simbol solidaritas, sebuah bukti bahwa perjuangan Kepala Desa mereka bukan sekadar tuntutan pribadi, melainkan kolektif.
Syachyunie bukan satu-satunya yang menjadi korban kriminalisasi dari korporasi perusahaan sawit di Kalimantan Tengah. Dalam lima tahun belakangan ini, ada beberapa konflik Masyarakat Adat terjadi di Kalimantan Tengah seperti perampasan wilayah adat dan hutan adat. Bahkan, sampai penembakan seorang anggota Masyarakat Adat di komunitas adat Bangkal di Seruyan, Kalimantan Tengah.
Kemudian, dua orang petani yakni Aleng dan Kitab dari Desa Kinjil, Kotawaringin Lama juga menjadi korban. Keduanya digugat Rp. 4,6 miliar oleh PT Bumitama Gunajaya Abadi (PT BGB) karena dituduh mencuri buah sawit. Padahal, kedua petani itu bersikeras buah sawit yang mereka ambil itu berasal dari lahan milik mereka sendiri.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Kalimantan Tengah