Oleh Simon Welan

Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di wilayah adat Suku Balik, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur bukan hanya soal alih fungsi lahan, melainkan lebih pada soal penyingkiran sistematis terhadap Masyarakat Adat dari ruang hidup yang telah dirawat turun-temurun.

Alih-alih membawa manfaat, proyek ini justru menghadirkan ancaman serius terhadap keberlangsungan hidup Masyarakat Adat Suku Balik, termasuk risiko depopulasi dan kepunahan budaya.

Hal ini ditegaskan oleh Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi dalam konferensi pers yang digelar di kampung Kedang Ipil, Kecamatan Kota Bangun Darat, Kabupaten Kutai Kartanegara pada Senin, 14 April 2025.

“Pembangunan IKN ibarat memangsa Masyarakat Adat Suku Balik secara perlahan. Saat ini saja mereka sudah terusir dari tanahnya, kehilangan akses terhadap sumber daya alam, air bersih, dan kerap dilanda banjir. Wilayah-wilayah sakral seperti pemakaman leluhur dan situs ritual juga telah hilang.” ungkap Rukka.

Ia menambahkan bahwa proyek IKN seharusnya tidak mengorbankan eksistensi Masyarakat Adat, melainkan menjadi kesempatan untuk memperkuat dan menjaga keberadaan budaya lokal serta kelestarian lingkungan.

“Nusantara itu berarti tidak boleh ada satu pun Masyarakat Adat yang dihilangkan kearifan dan keberadaannya. Mereka telah ada jauh sebelum negara ini terbentuk,” lanjutnya.

Kisah nyata penyingkiran Masyarakat Adat dibalik pembangunan IKN disampaikan langsung oleh Dahlia, Perempuan Adat Suku Balik. Menurutnya, sejak pembangunan IKN dimulai, ruang hidup mereka makin menyempit. Tanah diambil paksa, dan mereka ditekan oleh pihak pengelola IKN melalui berbagai janji manis.

“Hidup kami tertekan. Mereka bilang akan membangunkan tempat usaha untuk kami yang terdampak, tapi itu hanya akal-akalan. Kami tetap menolak,” tegas Dahlia.

Ia menegaskan bahwa Masyarakat Adat Suku Balik tidak termakan oleh janji-janji kosong. Masyarakat Adat secara konsisten menolak penggusuran meski mendapat berbagai bentuk tekanan dari pihak luar, terutama pengelola proyek IKN.

“Janji mereka hanya kedok untuk menguasai tanah kami. Setelah tanah dikuasai, kami ditinggalkan begitu saja. Tidak ada pengakuan terhadap pemilik tanah yang sebenarnya,” imbuhnya.

Dahlia juga mengungkap ketimpangan akses terhadap lapangan kerja. Menurutnya, penerimaan tenaga kerja di wilayah IKN memberlakukan syarat-syarat yang menyulitkan pemuda adat setempat.

"Anak-anak muda kami sulit mencari pekerjaan karena syaratnya harus lulusan S1. Sementara pendidikan dan ekonomi kami terbatas sejak dulu. Tapi kami tidak pernah kelaparan. Sekarang, setelah dimiskinkan, kami disuruh bersaing dengan yang punya segalanya."

Ia juga menilai narasi yang digaungkan pengelola IKN di media sangat bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan.

“Kami digambarkan seolah-olah hidup lebih baik, padahal itu informasi yang direkayasa untuk meredam konflik dengan Masyarakat Adat.”

Menurutnya, pendidikan tinggi bukan lagi jaminan perubahan nasib ketika potensi ekonomi Masyarakat Adat terus ditekan dan tanah dirampas.

“Sampai hari ini kami percaya bahwa pembangunan IKN tidak akan membawa kehidupan yang lebih baik bagi kami. Justru kami merasa seperti penonton di atas tanah sendiri—menyaksikan orang lain sukses dan kaya, sementara kami kehilangan segalanya,” pungkas Dahlia.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Nusa Bunga yang hadir di Rakernas AMAN

Writer : Simon Welan | Nusa Bunga
Tag : IKN UU IKN