
Mahkamah Konstitusi Gelar Sidang Lanjutan Uji Formil Undang-Undang Konservasi
02 Mei 2025 Berita Infokom AMANPenulis Shinta dan Melan
Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang lanjutan uji formil Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) pada Senin, 28 April 2025.
Persidangan yang dihadiri perwakilan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini mengagendakan keterangan pemerintah dan DPR yang mengonfirmasi tujuan undang-undang konservasi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, termasuk Masyarakat Adat. Pernyataan DPR dan Pemerintah ini memperkuat gugatan formil yang diajukan AMAN bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil.
Anggota DPR RI dari Komisi III Rudianto Lallo, dalam keterangannya di persidangan ini menyampaikan bahwa UU KSDAHE telah mengatur pelibatan Masyarakat Adat dalam proses konservasi. Ia merujuk pada Pasal 37 ayat (3) UU KSDAHE serta Penjelasan Umum yang menyatakan tujuan Undang-Undang ini adalah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, termasuk Masyarakat Adat.
Rudianto juga berpendapat bahwa keberatan yang diajukan AMAN bersama koalisi organisasi masyarakat sipil seharusnya masuk dalam ranah uji materiil karena menyangkut substansi norma dan pilihan kata, bukan proses pembentukannya. Ia mengacu pada Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan menilai bahwa gugatan formil ini tidak berdasar.
Pemerintah, melalui Dirjen KSDAE Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Satyawan Pudyatmoko, dalam keterangannya juga menyatakan hal serupa. Ia menyebut bahwa pelibatan Masyarakat Adat sudah diakomodasi secara normatif.
Namun bagi AMAN dan koalisi organisasi masyarakat sipil yang menggugat UU KSDAHE ini, pernyataan DPR dan Pemerintah tersebut justru memperkuat gugatan formil ini. UU KSDAHE dinilai cacat prosedur karena pelibatan Masyarakat Adat hanya bersifat simbolik. Masukan substantif yang diberikan selama proses penyusunan tidak diakomodasi, bahkan tidak diberikan penjelasan. Koalisi juga mencatat tidak tersedianya 20 dokumen risalah Panja yang dibutuhkan untuk menelusuri proses legislasi sebagai pelanggaran asas keterbukaan.
Koalisi menegaskan bahwa tidak cukup hanya mencantumkan frasa "Masyarakat Adat" dalam pasal, tanpa memastikan proses penyusunan norma tersebut benar-benar melibatkan Masyarakat Adat secara penuh dan bermakna. Undang-Undang yang dibentuk tanpa konsultasi yang layak dapat menciptakan kriminalisasi baru, terutama terhadap komunitas adat yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan konservasi.
Selain itu, substansi UU KSDAHE juga dianggap bertentangan dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya, termasuk Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 dan Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 yang menegaskan hak Masyarakat Adat dan masyarakat pesisir untuk mengelola wilayah sesuai tradisi dan hukum adat. Dengan tidak mengindahkan preseden ini, UU KSDAHE berpotensi menimbulkan konflik baru dan mengabaikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional.
AMAN dan koalisi untuk konservasi berkeadilan menyerukan agar Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji formil ini. UU KSDAHE, menurut Koalisi, bukan hanya bermasalah dari sisi isi, tapi sejak awal disusun tanpa menghormati asas partisipasi yang sejati. Partisipasi Masyarakat Adat tidak boleh dimaknai sebagai undangan formalitas, melainkan sebagai kewajiban konstitusional negara dalam menjamin keadilan ekologis dan penghormatan terhadap hak masyarakat yang paling terdampak.
Menggugat UU KSDAHE
AMAN bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil menggugat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (UU KSDAHE) ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan formil ini diajukan sejak 19 September 2024 dengan alasan bahwa pembentukan UU tersebut melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, terutama prinsip partisipasi.
Gugatan diajukan oleh koalisi untuk konservasi berkeadilan yang terdiri dari AMAN, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), KIARA, JATAM, Eknas WALHI, HuMa, dan lainnya.
Dalam sidang perdana yang digelar pada Oktober 2024 lalu, Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi menegaskan bahwa Masyarakat Adat sebagai pelaku utama konservasi tidak dilibatkan secara utuh dalam penyusunan undang-undang ini. Menurutnya, berbagai masukan telah disampaikan kepada DPR, namun tidak satu pun diakomodasi.
“UU KSDAHE ini secara khusus telah melanggar konstitusi terkait hak-hak Masyarakat Adat. Hak konstitusional Masyarakat Adat yang telah ditegaskan melalui Putusan MK 35/PUU-X/2012 atas wilayah adat dan sumber daya di dalamnya, kini kembali terancam,” ujar Rukka.
Ia juga menekankan pentingnya prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dalam perlindungan wilayah adat. Ketidakhadiran prinsip ini membuka peluang terjadinya perampasan tanah dan pemindahan paksa Masyarakat Adat dari wilayahnya yang dijadikan kawasan konservasi.
***
Penulis adalah volunteer Infokom PB AMAN