Oleh Maruli Simanjuntak

Sebanyak 12 komunitas Masyarakat Adat Tano Batak yang tersebar di empat Kabupaten: Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba, dan Samosir mengalami dampak parah akibat banjir dan longsor yang melanda Sumatera Utara sejak 25 November 2025.

Bencana ini juga menyebabkan 24 orang anggota komunitas Masyarakat Adat meninggal, dua anggota komunitas lainnya hilang. Hingga kini, nasib keduanya belum diketahui karena akses komunikasi dan jalan menuju beberapa kampung masih terputus pasca bencana dua pekan lalu.

Di tengah kondisi darurat, dimana terjadi krisis air karena pipanisasi yang menyalurkan air bersih rusak akibat tertimbun material tanah longsor. Beberapa komunitas Masyarakat Adat melaporkan bantuan dari pemerintah sangat minim. Situasi ini membuat warga bertahan secara mandiri sambil menunggu datangnya bantuan masuk.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melalui Pengurus Wilayah AMAN Tano Batak, Pengurus Daerah AMAN Tapanuli Utara, dan Pengurus Daerah AMAN Humbang Hasundutan bergerak cepat dengan mengorganisir dukungan solidaritas, pendataan korban, serta pendistribusian logistik darurat.

Namun, penanganan di lapangan berjalan sangat sulit. Jalur menuju komunitas Masyarakat Adat yang terdampak bencana terputus, membuat distribusi bantuan terhambat. 

Sejumlah warga berjalan di salah satu badan jalan yang tergerus longsor menuju komunitas Masyarakat Adat di Tano Batak. Dokumentasi AMAN

Kawasan Tangkapan Air Rusak

Ketua Pelaksana Harian AMAN Wilayah Tano Batak, Jhontoni Tarihoran menjelaskan bencana yang terjadi saat ini merupakan dampak berlapis dari kerusakan ekologis yang sudah lama terjadi di kawasan Tano Batak, terutama akibat ekspansi industri ekstraktif dan perkebunan monokultur.

“Bencana Ini bukan jatuh dari langit. Hujan memang tinggi, tetapi kerusakan kawasan tangkapan air, hancurnya hutan di wilayah adat, dan pembiaran atas aktivitas industri yang menggerus ruang hidup masyarakat adalah faktor utama yang memperparah longsor dan banjir ini,” kata Jhontoni pada Sabtu, 6 Desember 2025.

Jhontoni menambahkan akibat bencana ini, komunitas Masyarakat Adat kini tidak hanya kehilangan rumah, tetapi juga ruang hidup masyarakat. Disebutnya, banyak Masyarakat Adat dibeberapa komunitas yang terisolir akibat bencana ini.  

“Beberapa kampung tidak bisa diakses sama sekali, itu memperlihatkan betapa rentannya wilayah adat hari ini,” imbuhnya.

Jhontoni menyatakan ditengah penanganan bencana yang saat ini sedang berlangsung,  pemerintah dituntut tidak hanya hadir membawa bantuan, tetapi juga mengoreksi kebijakan tata ruang dan perizinan yang selama ini mengabaikan keberlanjutan lingkungan.

“Kebijakan yang salah selama ini harus dikoreksi, ini lebih penting daripada hanya sekedar membawa bantuan,” tandasnya.

Ketua Pelaksana Harian AMAN Daerah Tapanuli Utara Edward Siregar menambahkan pihaknya sejak hari pertama terjadi bencana langsung melakukan pendataan, evakuasi warga lanjut usia, anak-anak, dan keluarga yang rumahnya hancur.

“Saat ini kami memprioritaskan evakuasi dan memastikan kebutuhan dasar warga terpenuhi. Makanan, air, selimut, dan tempat aman menjadi kebutuhan mendesak,” ungkapnya.

Diakuinya, masuknya bantuan mengalami perlambatan karena akses jalan tertutup tanah longsor. Untuk mengatasi masalah ini, Edward mengatakan pihaknya melakukan koordinasi dengan relawan dan jaringan AMAN di berbagai daerah untuk mempercepat distribusi dukungan untuk korban bencana.

“Kalau akses dan BBM lancar, penanganan bisa jauh lebih cepat. Tapi hari ini kami bekerja dengan segala keterbatasan yang ada,” ujarnya.

Sejumlah Masyarakat Adat di Tano Batak menerima bantuan dari AMAN. Dokumentasi AMAN

Akses ke Komunitas Masyarakat Adat Tertutup Longsor 

Sementara itu, Ketua Pelaksana Harian AMAN Daerah Humbang Hasundutan, Samuel Raimondo Purba menggambarkan betapa sulitnya menembus area yang tertutup longsoran tanah.  

"Banyak jalan menuju komunitas Masyarakat Adat terputus total. Ada lokasi yang hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki dua jam sambil membawa logistik seadanya. Kendaraan tidak bisa masuk karena jalannya hilang tersapu longsor,” ungkap Samuel.

Sebagai bagian dari tim penanganan lanjutan, penulis sebagai relawan AMAN Tano Batak, menegaskan bahwa fokus saat ini bukan hanya bantuan darurat, tetapi membangun jalan pemulihan jangka menengah.

“Setelah fase tanggap darurat, kita harus memastikan warga memiliki pangan, akses air bersih, dan tempat tinggal sementara. Banyak rumah yang sudah tidak layak huni, dan banyak warga tidur di gedung sekolah atau numpang ke rumah keluarga,” ujarnya.

Maruli juga menekankan perlunya relawan tambahan serta koordinasi dengan lembaga kemanusiaan agar penanganan tidak berhenti di tengah jalan.

“Kita harus bekerja lebih cepat dari ancaman krisis lanjutan, terutama kelaparan dan penyakit. Pemulihan ini membutuhkan dukungan banyak pihak,” pungkasnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Tano Batak, Sumatera Utara

Writer : Maruli Simanjuntak | Tano Batak, Sumatera Utara
Tag : Pangeran Charles Banjir dan Longsor di Sumatera Tano Batak