PBB baru mau memulai menyatukan program masyarakat adat (indigenous people) dengan gerakan hak-hak penyandang disabilitas. Jika AMAN bisa melaksanakan program disabilitas, akan menjadi langkah yang sangat visioner.

Pendapat itu dikemukakan Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga ketika mendampingi pelaksanaan sarasehan “Disabilitas di Tengah-tengah Masyarakat Adat” yang berlangsung di lokasi Kongres Masyarakat Adat Ke-5 (KMAN V) di Kampong Tanjung Gusta, Deli Serdang, Kamis, 16 Maret 2017.

Sandra meyampaikan pendapat tersebut karena salah satu kesimpulan dan rekomendasi sarasehan adalah agar AMAN memiliki program, bahkan kalau perlu memiliki organisasi khusus untuk disabilitas. “Kalau AMAN memasukkan persoalan disabilitas dalam program kegiatan masyarakat sekali, keren sekali,” ujar Sandra.

Sandra menceritakan, PBB baru mulai merencanakan program lintas masyarakat adat dan disabilitas. Tahun 2014 PBB mengundang seorang perempuan penyandang tunanetra dari sebuah komunitas masyarakat adat di India untuk memberikan testimoni. Kemudian, tahun 2016 lalu, pelapor khusus PPB untuk masyarakat adat dan pelapor khusus PBB untuk disabilitas melakukan pembicaraan pertama untuk merencakan program aksi bersama.

Kesalahan Persepsi dan Sikap

Sarasehan “Disabilitas di Tengah-tengah Masyarakat Adat” menghadirkan narasumber Ketua HWDI (Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia) Maulani Rotinsulu, Ketua PJS (Perkumpulan Jiwa Sejahtera) Yeni Rosa Damayanti, Nur Saadah dari SAPDA (Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak), serta akademisi dari UGM Tody Sasmita.

Maulani Rotinsulu berbicara tentang disabilitas dari sudut produk hukum, terutama UU No. 8 Tahun 2011 tentang Penyandang Disabilitas. Mulai dari kriteria-kriteria disabilitas hingga hingga hak-hak dan perlindungan penyandang disabilitas. “Dahulu penanganan penyandang disabilitas itu lebih kepada rasa kasihan saja. Sekarang sudah tidak lagi, karena sekarang sudah memiliki paradigma baru,” ujar Maulani.

Meski sudah punya undang-undang baru, Maulani menilai negara belum sepenuhnya memahami dan memberi perhatian terhadap permasalahan disabilitas. Masih sangat sedikit layanan terhadap disabilitas dan masih banyak terjadi diskriminasi. Contohnya pembagian beras miskin, dimana penyandang disabilitas tidak didata dan mendapat pembagian beras tersebut.

Sementara Yeni Rosa Damayanti secara spesifik berbicara tentang persoalan psikososial atau disabilitas kejiwaan. Di banyak masyarakat adat di Indonesia, orang yang mengalami gangguan jiwa sering dipasung oleh keluarga sampai bertahun-tahun. Ada juga dikurung di kandang. Hal itu, menurut Yeni karena kebanyakan orang menganggap gangguan jiwa tidak bisa sembuh.

“Orang gangguan jiwa kalau diobati dan didampingi bisa sama seperti kita. Tapi itu bukan satu-satunya. Yang paling utama adalah penerimaan masyarakat. Obat hanya langkah pertama,” jelas Yeni.

Tugas masyarakat adalah mendampingi agar penyandang bisa menjadi bagian aktif dari masyarakat. “Jadi, kalau di rumah, jangan didiamkan. Kalau ingin sekolah, jangan dilarang. Setiap disabilitas mempunyai hak hidup. Orang gangguan jiwa bagian dari masyarakat, bisa dilibatkan di gereja, di pengajian, siskamling, dan sebagainya,” jelas Yeni.

Budaya mestinya berkembang, dinamis. Dulu berkembang budaya perbudakan, tapi kemudian berhenti. Bila saat ini ada budaya yang bertentangan dengan kemanusiaan, seperti perlakuan kepada penyandang disabilitas, harus bersama-sama didiskusikan agar berubah.

“Satu hal yang sangat krusial, masyarakat adat jangan sampai melupakan penyandang disabilitas. Jika masyarakat adat berhasil merebut tanah, jangan sampai penyandang disabilitas tidak mendapat bagian,” pesan Yeni.

 

Yang Merugikan dan Mendukung

Tody Sasmitha memberi paparan dari hasil penelitian yang ia lakukan di empat lokasi, yaitu Padang, Bali, Lombok, dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Penelitian tersebut berangkat dari asumsi perempuan disabilitas dan masyarakat adat. Apakah perempuan tidak dilibatkan dalam masyarakat karena dia perempuan atau disabilitas? Apakah mungkin akan lebih berdaya ketika ada di masyarakat adat?

Menurut Tody, posisi perempuan disabilitas dalam keluarga ditentukan kondisi masing-masing masyarakat adat. Ada masyarakat matrilineal, patrilineal, dan bilateral. Ini mempengaruhi pengasuhan kepada disabilitas. Kalau hanya ibu yang berperan dalam merawat disabilitas, cenderung akan menyembunyikan si anak sehingga anak tadi tidak percaya diri. Kalau ikut ayah, paman, si anak akan lebih percaya diri.

Satu lagi yang berperan adalah lembaga adat. Ketika sudah dewasa, apakah penyandang disabilitas akan ikut mengemban tanggung jawab adat? Ketika rapat adat, apakah disabilitas ikut? Ada yang disabilitas fisik, tapi pemikiran cemerlang. Kalau kelebihan ini tidak dimanfaatkan, sangat rugi.

Contoh lain, kebanggaan keluarga sering luntur ketika ada yang sakit jiwa. Tapi pemasungan bukan tindakan yang tepat. “Karena kita yang merasa diri kita normal, kalau dipasung satu bulan mungkin akan stres,” ujar Tody.

Menurut Tody, ada prinsip adat yang merugikan penyandang disabilitas, tapi juga banyak yang berpotensi melindungi disabilitas. “Tugas kita mengembalikan arti prinsip adat. Prinsip ini kuat dan luhur. Kuncinya masyarakat adat punya kemampuan melindungi disabilitas,” pesan Tody.

Nur Saadah dari SAPDA hanya menegaskan beberapa bagian dari penelitian Tody Sasmitha, khususnya yang menyangkut perempuan disabilitas dan anak. Menurutnya, konstruksi sosial dalam masyarakat adat bisa jadi perangkat perlindungan bagi kaum disabilitas.

Ia memberi contoh, di Bali perempuan disabilitas mempunyai akses dalam kehidupan sosial. Masyarakat disana tidak membedakan perempuan disabilitas dan yang normal. Masyarakat Bali juga tidak mengesampingkan kaum disabilitas dalam ibadah.

Di Lombok ada disabilitas mendapatkan penghormatan yang tinggi dari keluarga dan masyarakat sekitar. Di Sumba ada anak tunanetra diasuh dalam keluarga besar dan didukung oleh keluarga. Artinya, masyarakat adat melakukan suatu perlindungan. Di Bali perempuan tidak dapat waris di keluarga. Di masyarakat Madura, laki disabilitas mendapat dua kali waris dari yang non-disabilitas, karena dianggap keluarga harus melindungi.

Nur Saadah berharap masyarakat-masyarakat adat bisa memanfaatkan konstruksi sosial yang ada untuk melindungi dan memberdayakan penyandang disabilitas, khususnya penyandang disabilitas perempuan dan anak. “Yang penting bagaimana perempuan dan anak disabilitas mampu mengakses kehidupan,” ujar Nur Saadah.

Meskipun dihadiri tidak terlalu banyak peserta, sarasehan “Disabilitas di Tengah-tengah Masyarakat Adat” ini berlangsung hangat. Para peserta sarasehan bersemangat bertanya dan menceritakan kondisi-kondisi di masyarakat adat masing-masing.

Diskusi dan Rekomendasi

Setelah pemberian materi dan tanya jawab, acara sarasehan dilanjutkan dengan diskusi kelompok untuk menjaring informasi dan masukan dari wakil-wakil masyarakat adat, untuk disampaikan sebagai kesimpulan dan rekomendasi kepada pengurus AMAN.

Beberapa dari kesimpulan dan rekomendasi itu, antara lain perlu sosialisasi UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas kepada masyarakat-masyarakat adat yang bergabung dalam AMAN. Kalau perlu membuat organisasi sayap atau desk khusus untuk menangani persoalan disabilitas.

Selain itu, AMAN perlu melibatkan setiap komunitas masyarakat adat untuk memiliki perhatian, melakukan validasi penyandang disabilitas serta melakukan program bantuan atau pendampingan untuk penyandang disabilitas. Termasuk penyiapan fasilitas-fasilitas, melakukan pelatihan, atau membuat semacam desk. Komunitas-komintas masyarakat adat adat juga diharap bisa menjadi jembatan untuk mendesak pemerintah setempat untuk membuat peraturan daerah mengenai disabilitas.

Sekali lagi, Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga memberikan apresiasi yang tinggi karena AMAN mau membicarakan disabilitas ini. Sebagian besar masyarakat adat memang masih menghadapi masalah agama, tanah, dan kepercayaan. Tapi dalam masyarakat adat ada yang lebih termarjinalkan lagi, yaitu penyandang disabilitas. *

Oleh:
Nestor RT

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

***

Writer : Nestor RT | Jakarta