Rilis Pers Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Jambi Tanggapan terhadap Bentrokan antara Suku Anak Dalam dan Aparat Keamanan (Polisi Brimob dan Satpam PT Asiatic Persada) pada 7-12 Desember 2013 Tepat menjelang Hari Hak Asasi Manusia Sedunia 2013, dari tanah leluhur Masyarakat Adat Suku Anak Dalam Bathin Sembilan, yang pada saat yang bersamaan juga dirayakan dengan penuh kegembiraan sekaligus keprihatinan di berbagai tempat di belahan bumi pertiwi. Dengan memohon ijin kepada leluhur Masyarakat Adat pemilik tanah ini dan atas ridho Tuhan Yang Maha Kuasa, kami menegaskan kembali hak-hak masyarakat adat sebagai hak azasi manusia dan komitmen bersama seluruh bangsa untuk memajukan nilai-nilai kesetaraan, keadilan, dan harkat martabat bagi kita seluruh warga negara. Pemberitaan media di Jambi, baik media lokal maupun nasional, selama beberapa hari terakhir, bahwa bentrokan antara masyarakat dan kepolisian/Brimob dan satpam PT Asiatic Persada (AP) adalah karena upaya penertiban yang dilakukan oleh masyarakat di lahan HGU PT AP dan tindakan anarkis warga sehingga terjadi penangkapan delapanbelas warga. Hal ini, menurut AMAN Jambi, jangan dilihat persoalannya dari hanya satu sudut pandang, yaitu persoalan saat kejadian saja (pendudukan, pencurian, dan tindakan anarkis). Pada Sabtu, 7 Desember 2013, aparat Brimob dan karyawan PT AP melakukan penggusuran dan perusakan 256 rumah dan pondok Suku Anak Dalam Padang Salak di empat dusun di Desa Bungku dan Desa Pompa Air, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari. Semua rumah dan pondok beserta isinya dihancurkan. Ternak-ternak juga ditembaki. Warga diancam dengan senjata di Terawang. Sekarang 500 warga mengungsi di pendopo Kantor Gubernur. Pada intinya, tindakan itu bukan penertiban, namun penggusuran dan perusakan rumah dan harta benda di areal lahan konflik dengan alasan bahwa sebagian kelompok Suku Anak Dalam sudah sepakat untuk berdamai. Tenyata, yang berdamai itu adalah kelompok Herman Basyir dari Tumenggung Sembilan Bilah, yang sebenarnya bukan perwakilan Suku Anak Dalam dan merupakan boneka PT AP. Tim penyelesaian konflik dan aparat Brimob jelas sudah dikondisikan oleh PT AP. Perundingan-perundingan oleh masyarakat dan PT AP telah dilakukan, yang difasilitasi oleh Pemda Batanghari. Pada 2002 sudah ada kesepakatan, sehingga Bupati Batanghari mengeluarkan keputusan Bupati No. 03 tahun 2002, yang intinya adalah memberikan lahan pengganti 1500 hektare kepada Suku Anak Dalam. Tetapi sampai sekarang tetap saja tidak ada realisasinya. Persoalan ini sudah menjadi berkepanjangan dan laten, sehingga tidak akan ada tercipta kondisi yang kondusif di wilayah Suku Anak Dalam Bathin Bahar yang diklaim PT AP dalam HGU mereka dilepaskan lebih dulu (Ingklap). AMAN Wilayah Jambi menilai tindakan anarkis PT AP dan aparat kepolisian/Brimob jelas sudah mengkhianati kesepakatan beberapa kali perundingan, baik di Kantor Bupati Batanghari maupun Kantor Gubernur Jambi dengan Suku Anak Dalam untuk diselesaikan secara musyawarah mufakat dan tetap menjunjung tinggi hukum yang ada. Kenyataannya, tindakan ini jelas sudah mengingkari dan terang-terangan menunjukkan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa PT AP (Wilmar Group) mampu memperalat aparat keamanan negara ini dengan dalil “penertiban”. Bukan rahasia umum lagi bahwa aparat keamanan itu dibayar oleh PT Asiatic Persada selama mengurusi keamanan perusahaan itu. Pandangan dan sikap AMAN Jambi dalam hal ini adalah:

  1. Tidak mentoleransi pendekatan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan dalam konflik sumber daya alam.
  2. Pihak pemerintah diwajibkan untuk melakukan proses recovery terhadap korban kekerasan yang dialami oleh Suku Anak Dalam.
  3. Mendesak pemerintah agar cepat dan secara adil menyelesaikan konflik antara masyarakat Suku Anak Dalam dan PT AP.
  4. Usut tuntas dalang perusakan dan pengusiran Suku Anak Dalam oleh PT AP. Persoalan ini merupakan tindak pidana perusakan terhadap harta benda yang ada sehingga siapa pun yang melakukan dan mempelopori kegiatan ini harus ditindak tegas sesuai dengan hukum.
  5. Pihak PT AP segera “mempercepat” proses-proses solusi yang terbaik dari konflik ini, tentunya dengan melaksanakan ketentuan-ketentuan dan “dengan niat baik” memenuhi “janji-janji” yang selama ini telah mereka sampaikan.
  6. Meminta Komnas HAM untuk mengusut kejadian ini secara tuntas.

Konflik Agraria yang ada harus secepatnya dicarikan solusinya, karena:

  • HGU PT AP seluas 20.000 hektare tidak jelas objek keberadaannya, dibuktikan dengan gambar situasi khusus nomor 1/BH/1986 tanggal 23 Juli 1986 yang hingga saat ini tidak dapat ditunjukkan oleh BPN Kabupaten Batanghari.
  • Proses terbitnya HGU PT Bangun Desa Makmur, sebelum menjadi PT AP, melalui SK HGU No 46/HGU/DA/1986 secara hukum administrasi negara adalah cacat hukum karena HGU tersebut diterbitkan sebelum tanah tersebut dilepaskan dari areal kawasan hutan. Pelepasan areal kawasan hutan untuk HGU PT BDU adalah pada 1992.
  • Saat Kadastral HGU pada 1986, tidak dilakukan proses inclave terhadap lahan masyarakat dengan berpedoman pada surat Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan Departemen Kehutanan NO 393/VII–4/1987 tentang pemberian persetujuan pelepasan areal hutan seluas 27.150 hektare untuk PT BDU yang menyebutkan 1.400 hektare belukar, 2.100 hektare perladangan, 50 hektare permukiman.
  • Konflik agraria ini sudah berlangsung lama, sejak awal penerbitan HGU pada 1986 hingga sekarang.

Demikian rilis pers ini kami sampaikan. Semoga dimaklumi. Jambi, 17 Desember 2013 Ketua BPH AMAN Wilayah Jambi Datuk Usman Gumanti

Writer : Infokom AMAN | Jakarta