Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyampaikan sikap resminya menolak Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.62/Menhut-II/2013, Selasa (21/1). P.62 dinilai melanggar Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, mengabaikan reformasi hukum tentang kehutanan, dan merugikan masyarakat adat sehingga harus dicabut. Salah satu pengabaian itu nyata di Pasal 17 yang mengingkari status masyarakat adat sebagai subjek hukum dengan tidak memasukkannya ke dalam kategori pihak ketiga. “Legalitas masyarakat adat sebagai subjek hukum atas hutan adat telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya untuk Putusan MK 35,” jelas Direktur Advokasi dan HAM AMAN Erasmus Cahyadi, mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 tentang uji materi UU Kehutanan. Putusan ini menegakkan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara. P.62 juga dituduh mengabaikan Putusan MK No.45/PUU-IX/2011 yang mengoreksi aturan Pengukuhan Kawasan Hutan dalam UU Kehutanan. Dengan P.62, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan, beranggapan bahwa semua tanah yang telah ditunjuk untuk dijadikan sebagai kawasan hutan sebelum Putusan MK45 hendak dipersamakan sebagai kawasan hutan definitif yang telah ditetapkan. “Bila upaya manipulasi ini diterima, maka tidak lagi diperlukan proses pengukuhan kawasan hutan sampai pemerintah membuat penunjukan baru terhadap tanah-tanah yang akan dijadikan sebagai kawasan hutan. Artinya, sama sekali tidak ada peluang bagi hutan adat,” papar Erasmus. Peraturan yang disahkan pada 19 November 2013 ini juga menyatakan bahwa pihak ketiga yang mengklaim hak harus menunjukan bukti keberadaan permukiman, fasilitas umum, dan fasilitas sosial yang sudah ada sebelum penunjukan kawasan hutan maupun sesudah penunjukan kawasan hutan. Menurut Erasmus, pembatasan bukti klaim hak hanya pada ketiga kategori itu mengurangi klaim hak dari kelompok masyarakat adat yang tidak selalu mempunyai ketiganya. AMAN juga menemukan bahwa dengan menggunakan syarat teknis untuk penguasaan fisik hutan adat, P.62 telah melanggar prinsip dasar hak asasi manusia yang diakui dalam UUD 1945. Peraturan Menteri Kehutanan ini menyatakan bahwa penguasan fisik hutan ada harus telah ditetapkan dalam peraturan daerah, tercatat dalam statistik desa/kecamatan, serta berpenduduk lebih dari sepuluh kepala keluarga dan minimal sepuluh rumah. Keberadaan P.62 juga mengindikasikan cara pandang yang salah mengenai kawasan hutan, karena menyamakan konsepsi kawasan hutan dengan konsepsi hutan negara. Ini tergambar dalam Pasal 24A angka 3. “Ketentuan ini menggambarkan ketidakpahaman Kementerian Kehutanan mengenai apa yang dimaksud dengan kawasan hutan dan apa saja kategori hak di atas kawasan hutan tersebut berdasarkan UU Kehutanan pasca putusan MK 35/2012,” tegas Erasmus. AMAN juga memprediksi, P.62 akan semakin menguatkan ego sektor kehutanan dan penyusunan legislasi daerah. Alasannya, P.62 menyatakan bahwa keberadaan masyarakat ada ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi atau kabupaten/kota dan beberapa daerah sedang menggagas peraturan dimaksud dengan menggunaan UU Kehutanan sebagai dasar hukum tunggal. “Cara pandang ini keliru karena melihat masyarakat adat hanya dari satu aspek, yaitu aspek kehutanan,” katanya. Direktur Advokasi dan HAM AMAN ini mengungkapkan bahwa pengabaian Kementerian Kehutanan terhadap reformasi hukum tentang kehutanan lagi-lagi memakan korban masyarakat adat. Empat anggota masyarakat adat Semendeng Bandingagung, Bengkulu ditangkap dan ditahan pada 23 Desember 2013 dengan dugaan melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Kementerian Kehutanan di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). “Pengurus AMAN Bengkulu telah mempraperadilankan Kementerian Kehutanan dan Kapolri atas penangkapan keempat warga adat tersebut,” katanya. Sidang perdana praperadilan dilaksanakan pada 15 Januari 2014 dan dilanjutkan keesokan harinya. “Selain mendesak Kementerian Kehutanan untuk segera mencabut P.62, AMAN juga mendesak Presiden SBY untuk merealisasikan janjinya yang diucapkan dalam pertemuan Tropical Forest Alliance lalu,” kata Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan. Di pertemuan 27 Juni 2013 itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan komitmennya untuk memulai proses pendaftaran dan pengakuan hak kolektif masyarakat adat atas wilayah-wilayah adat di Indonesia. Mengamati perkembangan peraturan tentang kehutanan yang merugikan masyarakat adat, Abdon menilai sudah saatnya UU Kehutanan diamandemen. “Setelah itu baru kita tata kembali wilayah hutan di Indonesia.”

Writer : Infokom AMAN | Jakarta