[caption id="attachment_3396" align="aligncenter" width="300"] Sumber gambar: http://www.antaranews.com/berita/244648/bentrok-susulan-di-sigi-kembali-pecah[/caption] AMAN, Sulteng. Berbagai Organiasasi Masyarakat Sipil (OMS) seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sulawesi Tengah (AMAN Sulteng), Yayasan Tanah Merdeka (YTM), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulteng, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Sulawesi Tengah, Dewan Kehutanan Nasional (DKN), Lembaga Pengkajian dan Pengorganisasian Masyarakat Sulawesi Tengah (Langgam Sulteng), KPKP-ST, Asosiasi untuk Transformasi Sosial Sulawesi Tengah (Ansos-Sulteng), Himpunan Mahasiswa Sosiologi (Himasos) Fisip-Univ. Tadulako, dan sejumlah tokoh budaya, dan pemerhati lingkungan pada Rabu (16/4) menyatakan MENOLAK konsep dan slogan “KABUPATEN KONSERVASI” di Sigi dan MENCABUT MoU yang melegalkannya. OMS tersebut menilai bahwa Pemerintahan Kabupaten Sigi yang menjadikan wilayahnya sebagai wilayah konservasi tidak dipertimbangkan secara matang karena dengan cara-cara yang praktis seperti ini yang justru mengabaikan sebagian besar hak masyarakat adat dan komunitas lokal yang ada diwilayah keadatan To Sigi. Masyarakat Sigi yang pada dasarnya adalah masyarakat suku bangsa yang sebagian besar adalah masyarakat adat yang mempunyai adat dan budaya serta tata cara dalam proses pengelolaan sumber daya hutan (SDH) lestari jauh sebelum konsep konservasi yang diadopsi dari Negara luar dan sekarang ini menjadi symbol pelestarian hutan oleh Departemen Kehutanan. OMS menilai justru pembentukan “Kabupaten Konservasi” di Sigi, sarat dengan kepentingan proyek Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL) yang melecehkan dan mendiskriminasi masyarakat adat dari wilayah adat yang mereka sudah diami secara turun temurun. Konsep pembentukan Kabupaten Konservasi juga dinilai menyalahi mandat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya dalam Pasal 18b dan 28i, selain hal tersebut ada beberapa kebijakan Pemerintah pusat dan Daerah yang menyalahi pembentukan kabupaten Konservasi seperti: Putusan Mahkamah Konstitusi No 35/PUU-X/2012 tentang hasil Judisial Review UU No 41 tentang Kehutanan yang menyatakan Hutan Adat bukan lagi Hutan Negara, Peraturan Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 37 tentang FPIC/PADIATAPA, Peraturan Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 42 tentang Pedoman Peradilan Adat di Sulawesi Tengah dan Pengakuan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah tentang Peta sebaran komunitas masyarakat adat di Sulawesi Tengah. Berdasarkan hal tersebut diatas, apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sigi dalam hal ini Bupati, Kepala Bappeda, dan Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL) telah membuat Nota Kesepahaman (MoU/memorandum of understanding), yang menetapkan Kabupaten Sigi sebagai “KABUPATEN KONSERVASI” bernomor S.357/IV-T.13/TK/2014. Dan anehnya lagi penetapan tersebut sama sekali tidak diketahui oleh masyarakat Sigi dan para pemimpin masyarakat, karena memang tidak disosialisasikan. Keputusan tersebut dibuat sepihak, oleh beberapa orang yang telah kita usung menjadi pemimpin daerah, yang mengusung amanah Rakyat. Kita telah memilih pemimpin daerah ini karena visi-nya yang telah mengangkat derajat masyarakat adat dan budaya kita, dengan sebutan lebih indah berkarakter “Kabupaten beradat dan berbudaya”, seperti daerah lainnya, Kota Pelajar atau Kota Budaya (Yogyakarta), Kota Jasa (Pare-Pare), dan Serambi Mekah (Aceh), dan lainnya, yang muncul dari inisiatif rakyatnya. Menetapkan Kabupaten Sigi sebagai Kabupaten Konservasi tanpa melibatkan saudara-saudara para pemimpin desa, kampung, ngata, dan organisasi ke masyarakatan dinilai sama halnya menganggap masyarakat tidak ada. Konsep Kabupaten Konservasi dinilai sebagai pesanan dari organisasi-organisasi luar negeri, seperti program konservasi dari TNC, WWF, CIFOR, CI dan oknum pemerintah daerah yang tergiur program-program donor luar negeri. Padahal hal itu, menurut OMS, sangat merugikan masyarakat di Kabupaten Sigi.

Writer : Infokom AMAN | Jakarta