Pernyataan Sikap Politik AMAN terkait RUU Masyarakat Adat
04 Juni 2014 Berita Abdon NababanJakarta, 4 Juni 2014. AMAN secara konsisten memperjuangkan pengakuan dan perlindungan hukum serta pemajuan bagi masyarakat adat. Berikut pernyataan politik AMAN terkait percepatan pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat adat.
PERNYATAAN SIKAP POLITIK AMAN
Tentang
PERCEPATAN PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK-HAK MASYARAKAT ADAT
Pengakuan dan Perlindungan serta Pemajuan hak-hak masyarakat adat merupakan tuntutan yang sejak lama dituntut oleh masyarakat adat di seluruh Indonesia. Tuntutan tersebut semakin mengemuka dan terorganisir sejak tahun 1999 ketika utusan-utusan masyarakat adat mendeklarasikan suatu organisasi yang mereka namakan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Pada tahun-tahun setelahnya, AMAN secara konsisten memperjuangkan pengakuan dan perlindungan hokum serta pemajuan bagi masyarakat adat. Perjuangan AMAN tersebut pada hakikatnya adalah suatu perjuangan yang ingin mewujudkan masyarakat adat yang berdaulat, mandiri dan bermartabat yang juga sejalan dengan tujuan dibentuknya NKRI, yaitu untuk meindungi seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. UUD 1945 pada dasarnya juga memberi basis konstitusional bagi perjuangan tersebut. Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 adalah pasal-pasal yang menempatkan masyarakat adat sebagai bagian dari pelaksanaan pemerintahan di tingkat masyarakat dan juga menunjukkan bahwa pengakuan, perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat harus dipandang sebagai langkah-langkah penghormatan, perlindungan, pemenuhan dan pemajuan hak asasi manusia. Pemerintah Indonesia telah menyadari bahwa kriminalisasi dan penindasan terhadap masyarakat adat adalah persoalan yang akut dan karenanya harus segera diambil langkah-langkah legislastif untuk segera memberikan pengakuan, perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat. Kesadaran tersebut setidaknya ditunjukkan oleh Presiden SBY pada tahun 2006 ketika Presiden menyampaikan Pidato pada Perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat yang dilaksanakan di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Pidato Presiden tersebut telah memunculkan harapan bagi masyarakat adat nusantara. Karena itu maka sejak tahun 2007 AMAN memperjuangkan lahirnya suatu Undang-Undang yang memberikan pengakuan dan perlindungan secara actual bagi masyarakat adat. Perjuangan AMAN akhirnya membuahkan hasil ketika draf RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hak-hak Masyarakat Adat yang telah disusun AMAN diadopsi oleh Badan Legislasi DPR-RI pada penghujung tahun 2011 dan ditempatkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2012. Lamban dan kurang terbukanya proses penyusunan dan pembahasan di Badan Legislasi kemudian menyebabkan draf RUU tersebut baru ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR pada pertengahan tahun 2013 yang diikuti dengan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) RUU PPHMA. Di sisi lain, Presiden menunjuk Kementerian Kehutanan, Kementerian ESDM, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM sebagai wakil Pemerintah dalam pembahasan RUU PPHMA. Proses pembahasan di Pansus terkesan lamban dan kurang terbuka. Selama proses pembahasan, AMAN hanya sekali diundang dalam RDPU tetapi masukan AMAN sama sekali tidak dipertimbangkan sebagaimana tampak dalam draf RUU yang telah dibahas Pansus. Bahkan Pansus mengabaikan aspek-aspek penting yang seharusnya diatur di dalam RUU sebagai bagian penting dari pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat beserta hak-hak nya, antara lain Komisi Masyarakat Adat, yang bersifat tetap dan memiliki kewenangan yang lebih luas, tidak sekedar panitia adhoc yang memiliki kewenangan terbatas sebagaimana di atur dalam draft usulan Pansus. Keberadaan Komisi Masyarakat adat ini sangat penting artinya sebagai badan penyelesaian konflik yang di alami oleh masyarakat adat. Tidak hanya mengabaikan aspek-apske penting tersebut, Pansus justeru memasukan hal-hal yang tidak seharusnya diatur di dalam RUU, misalnya pembentukan lembaga adat melalui Peraturan daerah, padahal keberadaan lembaga merupakan bagian dari hak asal-usul masyarakat adat, karena itu keberadaan lembaga adat tidak perlu di bentuk melalui perda, tetapi cukup di akui keberadaannya saja oleh pemerintah. Sementara proses di pemerintah dalam menyusun Daftar Inventarisir Masalah (DIM) sama sekali tidak dapat dipantau public. Pada tingkatan masyarakat, kebutuhan akan adanya suatu Undang-Undang yang mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat kian penting. Ribuan konflik terjadi akibat dari tidak adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat terutama hak atas tanah dan sumber daya alam. Tanah-tanah dan wilayah-wilayah adat semakin hari semakin dengan mudah diberikan Negara kepada swasta yang bergerak di bidang perkebunan, HPH, HTI maupun pertambangan. Di sisi lain, perlawanan masyarakat baik dilakukan melalui jalur-jalur peradilan, pengaduan ke lembaga-lembaga Negara maupun melalui aksi-aksi demonstrasi sama sekali tidak ditanggapi oleh Negara. Bahkan tidak jarang masyarakat adat malah dikriminalisasi, dituduh sebagai pembangkang. Tidak sedikit anggota masyarakat adat dijebloskan ke penjara. Pada tahun 2013 saja AMAN mencatat ± 200 kasus masyarakat adat. Kasus ini dipicu akibat klaim negara terhadap kawasan atau wilayah adat masyarakat adat sebagai kawasan hutan negara, perampasan tanah dan wilayah adat oleh perusahaan, pengrusakan dan pengusiran oleh aparat negara terhadap masyarakat di atas tanah leluhurnya, dan kian massifnya kriminalisasi oleh institusi kehutanan maupun institusi negara lainnya kepada masyarakat dengan berbagai macam alasan dan tuduhan. Oleh karena itu lambannya pengesahan RUU PPHMA berpotensi besar menyebabkan terjadinya konflik pengelolaan sumber daya alam terutama kepada masyarakat adat. Berdasarkan gambaran yang dijelaskan di atas maka AMAN berpandangan bahwa sampai saat ini masyarakat adat di seluruh nusantara sejauh ini belum menjadi warga negara seutuhnya. Lebih lanjut AMAN berpandangan bahwa Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat adalah salah satu kunci yang menempatkan masyarakat adat sebagai warga Negara seutuhnya dalam wilayah NKRI. Oleh karena itu AMAN menyatakan sikap sebagai berikut: 1.Mendesak kepada DPR RI untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Menjadi Undang-undang sebelum masa bakti anggota DPR RI 2009-2014 berakhir. 2.Meminta kepada Pansus agar melibatkan masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil dalam pembahasan RUU PPHMA. 3.Meminta kepada Pansus untuk memasukkan aspek-aspek penting dalam RUU PPHMA terutama tentang pembentukan Komisi Masyarakat Adat. 4.Apabila point (1,2 dan 3) tersebut di atas tidak di laksanakan, maka AMAN menyatakan bahwa Presiden SBY dan DPR RI telah GAGAL melakukan perlindungan,pemenuhan dan pemajuan terhadap hak-hak masyarakat adat sebagai bagian dari warga negara Indonesia. ---------------Pulihkan Kedaulatan dan Kemartabatan Masyarakat Adat------------ Di Keluarkan di Jakarta, Juni 2014 Abdon Nababan Sekretaris Jenderal