Setahun menjelang pelaksanaan Pemilu 2019 sedang dirundung masalah serius. Berdasarkan data Kementrian Dalam Negeri dari 192,39 juta orang yang wajib memiliki kartu tanda penduduk elektronik, masih ada 12,7 juta orang yang belum merekam data untuk memperoleh KTP elektronik. Masalahnya pada Pasal 384 UU No 7/2017 tentang Pemilu disebutkan bahwa pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPS adalah yang memiliki KTP elektronik. Artinya, berdasarkan catatan AMAN ada 1 juta Masyarakat Adat yang sampai hari ini belum memiliki KTP-el akibat nilai adat yang tak diakui, berada dalam kawasan konservasi dan wilayah geografis yang jauh dari jangkauan pemerintah. Padahal, jaminan hak pilih dalam pemilu merupakan hal yang penting untuk mewujudkan iklim pemilu yang demokratis (Merloe, 2017;Douglas, 2013). Lantas, mengapa potensi ancaman terhadap hak pilih banyak orang pada Pemilu 2019 dapat terjadi? Penulis berpandangan bahwa terancamnya hak pilih Masyarakat Adat pada Pemilu 2019 dapat terjadi karena dua faktor; regulasi pemilu yang bermasalah dan belum adanya pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat. Tulisan ini kemudian akan mengurai dua faktor tersebut dalam sengkarut penyelenggaraan Pemilu 2019 – khususnya ancaman dan hambatan yang terjadi pada Masyarakat Adat dalam menggunakan hak pilihnya sebagai warga negara. Kebijakan KTP Elektronik Membatasi Hak Pilih Masyarakat Adat Secara teoritis, Pippa Norris (2016) dalam disertasinya menilai bahwa masalah yang terjadi dalam pemilu tak dapat dipisahkan dari bagaimana regulasi mengatur pemilu. Undang-Undang Pemilu dianggap belum cukup menampung keterlibatan Masyarakat Adat. Cenderung tak mengakomodir hak politik Masyarakat Adat di wilayah konflik. Sebagai bukti, tercatat 124 komunitas Masyarakat Adat di 9 provinsi yakni Banten, Sumut, NTT, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Tengah, Benguku, Papua dan Riau yang terancam tak dapat memilih karena tidak memiliki KTP-el akibat berada di dalam kawasan konservasi. Implikasi politik paling serius akibat ketidakpastian terhadap wilayah adalah kehilangan hak pilih, karena dapat dipastikan tak dapat mengurus KTP-el dan Tempat Pemungutan Suara (TPS) tidak didirikan di wilayah yang sedang berkonflik. Regulasi dalam pemilu pun belum mengatur secara khusus mekanisme melindungi hak pilih masyarakat yang berada di wilayah konflik dan konservasi. Polemik hak pilih Masyarakat Adat tidak berhenti disitu saja. Suku Ammatoa di Kajang misalnya, mereka terancam tidak mendapatkan KTP-el akibat menolak membuka penutup kepala saat Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Pemerintah Kabupaten Bulukumba melakukan perekaman KTP-el. Kearifan lokal itu diatur ketat dalam pranata hukum adat yang berlaku dan dihormati di wilayah adat suku Ammatoa. Tercatat 200 kepala keluarga di komunitas adat Ammatoa belum memiliki KTP-el hingga saat ini. Tentunya mereka juga terancam tidak dapat menggunakan hak pilih pada Pemilu 2019 akibat nilai adat mereka yang belum diakui dan dihormati oleh Negara. Di Denmark, Election Act tidak berusaha mempersulit pemilih. Disebutkan pada Pasal 96 Denmark Election Act 2011 bahwa “Setiap orang yang memiliki hak pilih dalam pemilu, yang telah terdaftar di daftar pemilih, harus diberi hak untuk berpartisipasi dalam pemilu”. Rumusan tersebut jelas membuka ruang yang luas untuk masyarakat agar dapat memilih tanpa dikungkung oleh ketentuan administratif seperti di Indonesia. Karena itulah kemudian sangat wajar jika Denmark diganjar nilai sangat tinggi (91) untuk indikator electoral laws dan juga voter registration (94) pada laporan Electoral Integrity Project 2017. Besar kemungkinan syarat KTP elektronik di UU No 7/2017 muncul sebagai usaha perumus UU Pemilu untuk menekan potensi kecurangan. Namun sayangnya, kebijakan itu tidak mempertimbangkan aspek lain, utamanya aspek kohesivitas (sosio-kultural) masyarakat. Problem utama dari 1 juta Masyarakat Adat terancam kehilangan hak pilih salah satunya adalah negara luput memahami aspek kohesivitas yang melekat pada diri Masyarakat Adat yang tidak dapat diseragamkan dengan masyarakat lainnya. Sebuah tantangan penerapan sistem demokrasi ditengah struktur masyarakat yang multi-etnis. Dua sengkarut masalah hak pilih yang terjadi diatas memberikan gambaran bahwa manifestasi demokrasi inklusif seharusnya diiringi dengan regulasi kepemiluan yang dibangun atas realitas sosio-kultural masyarakat dan pengakuan serta perlindungan negara terhadap kearifan lokal yang dijamin melalui payung hukum dalam bentuk undang-undang. Urgensi RUU Masyarakat Adat Atasi Darurat Hak Pilih Tak dapat dipungkiri bahwa sebetulnya demokrasi tidak sesuai dengan struktur masyarakat multi-etnis (John Stuart Mill, 2016), ada sekitar 50 juta Masyarakat Adat di Indonesia hidup dan berkembang berdasarkan kearifan lokal yang beragam. Keragaman tersebut tentu tak dapat diseragamkan oleh negara dalam bentuk tindakan administratif. Namun, bukan berarti demokrasi tak dapat diterapkan dalam negara multi-etnis seperti di Indonesia. Demokrasi yang stabil hanya mungkin diterapkan dalam masyarakat yang relatif homogen selama diikuti dengan regulasi yang memberikan tindakan affirmative action terhadap kompleksitas sosio-kultural yang berkembang (Reilly, 2013). Apa yang terjadi pada suku Ammatoa di Kajang adalah salah satu bukti bahwa negara luput memahami dan mengidentifikasi sifat homogen dalam suatu kelompok masyarakat dalam upaya menjamin dan melindungi hak Ammatoa sebagai warga negara Indonesia. Oleh sebab itu, kehadiran regulasi khusus sebagai instrumen untuk mengidentifikasi sifat homogen pada masyarakat sangat dibutuhkan guna mewujudkan sistem pemilu yang inklusif dalam masyarakat multi-etnis. Regulasi tersebut akan mendukung implementasi dari regulasi kepemiluan yang bersifat administratif. Saat ini Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat sedang berproses di pemerintah atas tindaklanjut dari amanat UUD 1945 pasal 18b ayat (2) dan enam program prioritas Nawa Cita Presiden Joko Widodo. Nasib 1 juta Masyarakat Adat yang terancam tidak dapat memilih ditentukan atas lahirnya RUU tersebut. Ketentuan yang ada dalam RUU Masyarakat Adat ini akan memandatkan pemerintah dan lembaganya untuk menjamin, melindungi dan mengidentifikasi kearifan lokal yang berkembang dalam Masyarakat Adat. RUU ini akan menjadi instrumen mengatasi konflik pada Masyarakat Adat serta yang terpenting mendukung perwujudan stabilitas demokrasi ditengah masyarakat multi-etnis. Namun sangat disayangkan, argumentasi Menteri Dalam Negeri melalui surat penyampaian DIM kepada Menteri Sekretaris Negara pada 11 April 2018 lalu menganggap bahwa kehadiran RUU Masyarakat Adat belum menjadi kebutuhan kongkrit. Sebetulnya, argumen tersebut merupakan kekeliruan yang fatal. RUU Masyarakat Adat akan memberikan jaminan atas 299.617 Masyarakat Adat penganut agama kepercayaan (Sensus Penduduk,2010) untuk mendapatkan fasilitas yang setara sebagai warga negara, baik hak mendapatkan KTP-el maupun hak dalam memilih. Karena realitanya putusan MK 97/2016 tentang agama kepercayaan belum berjalan secara opitmal akibat belum ada peraturan perundang-undangan lebih tinggi yang menjamin dan memberikan legitimasi yang kuat atas implementasi peraturan sektoral tentang perlindungan hak Masyarakat Adat. Sebagai penutup, bermasalahnya regulasi pemilu dan tidak maksimalnya kapasitas lembaga negara yang mengurusi jaminan hak pilih telah membuat jutaan orang terancam tak bisa memilih pada Pemilu 2019. Kedangkalan berpikir lembaga negara – dalam hal ini Mendagri sebetulnya memberikan jawaban bahwa negara sedang tidak benar-benar berniat menjadikan demokrasi dapat dinikmati oleh setiap lapisan masyarakat. Justru RUU Masyarakat Adat akan menjembatani kebuntuan UU Pemilu yang gagal mengidentifikasi kompleksitas sosio-kultural dalam Masyarakat Adat. Dengan mengesahkan RUU Masyarakat Adat, adalah satu langkah maju menciptakan iklim demokrasi yang dapat dinikmati oleh seluruh lapisan elemen masyarakat – khususnya Masyarakat Adat. Penulis : Yayan Hidayat Direktorat Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat AMAN

Writer : Yayan Hidayat | Jakarta