AMAN, 2 Oktober 2014. Pada hari ke-2 Inkuiri Adat ini juga didengarkan kesaksian dari masyarakat adat Muara Tae. Sudah 44 tahun masyarakat adat Muara Tae dikepung oleh korporasi. Seperti ditulis oleh ditulis oleh ditulis oleh Siti Maemunah, Badan Pengurus Jatam dan Peneliti Sajogyo Institute, di media sosial hari ini (2/10), pada 1998, PT. Lonsum yang datang, dibantu Brimob memberondong kampung Muara Tae saat subuh. Ada 9 orang warga ditangkap karena melakukan upacara adat di lahannya yang diambil PT Lonsum. Sebelumnya, hingga kini, banyak perusahaan datang dan mengepung Muara Tae, Kutai Barat Kalimantan Timur. Pada 1971 datang HPH PT Sumber Mas, lantas 1993 datang HTI PT. Sumber Mas, tahun 1995 datang PT London Sumatra Tbk. Pada tahun 1995 datang Pertambangan Batu Bara PT. Gunung Bayan Pratama Coal, tahun 2011 datang Sawit PT. Munte Waniq Jaya Perkasa, tahun 2012 datang lagi Sawit PT. Borneo Surya Mining Jaya, paling akhir Pertambangan Batu Bara PT Gemuruh Karsa pada 2012. "Pada 1995 di bagian utara masuk PT Lonsum. Banyak lahan yang digusur. Warga ditangkap. Masyarakat lari ke hutan untuk bersembunyi 3 bulan karena Briomob dan preman bersenjata selalu mendatangi kampung mencari yang melakukan demontrasi. Belum selesai masalahnya, lantas masuk PT Gunung Bayan Pratama Coal, hampir separo dijadikan tambang batubara, kini penuh kolam tambang tak bisa digunakan lagi sekitar 5000 hektar,” ujar Masrani, mantan petinggi Muara Tae, yang dipecat Bupati karena menolak menyerahkan Muara Tae kepada perusahaan. “Akhirnya 400 hektar lahan kami tergusur, dibebaskan lahannya oleh perusahaan dengan membelinya dari warga kampung Muara Ponak, tetangga Muara Tae. “Padahal itu bukan tanah mereka,” ujarnya “Bupati justru mengelurakan tapal batas baru yang mengeluarkan lahan Muara Tae dari konsesi perusahaan.” Bupati, lanjut Masrani, menyuruh kami menggugat di PN jika tidak terima. “Saya juga dipecat sebagai Petinggi Muara Tae dan Bupati menyuruh menggugat ke PN jika tidak terima,” jelas Masrani, “PT Borneo Mining juga melakukan hal yang sama, menggeser batas desa dan membeli lahannya dari warga Ponak.” “Lahan kami rusak, sungai kini berlumpur jika hujan, hubungan dengan Muara Ponak juga buruk, seperti bermusuhan. Kini saya dipanggil polisi, sudah panggilan ketiga untuk diperiksa, dituduh melakukan pemerasan dan pengancaman,” jelas Masrani, “Kami tak punya jalan sama sekali kini, selain mengadu pada leluhur kami", tambah Masrani, mantan Petinggi Muara Tae.”

Writer : Infokom AMAN | Jakarta