Gerakan Rakyat Penunggu: Sejarah dan Perjuangan Menyintas Berbagai Bentuk Rejim Penakluk
30 Maret 2017 Berita Infokom AMANTanah dan Perjuangan Rakyat Penunggu Sarasehan berlangsung dalam salah satu tenda bernama Kampong Pantai Labu dan Tadukan Raga yang merupakan bagian tanah adat BPRPI. Disana berkumpullah berbagai elemen masyarakat, mulai dari perwakilan BPN, Pemprov, KSP, Konsorsium Pembaruan Agraria, Ketua BPRPI sendiri dan juga dari kalangan akademisi. Maksud dari pembicaraan siang itu adalah memberikan pengertian yang komprehensif mengenai perjuangan BPRPI secara sejarah, kondisi sekarang dan harapan kedepennya. Sejak 1953, mereka telah memperjuangkan hak-hak terhadap tanah yang mereka miliki secara turun menurun. Pemimpin BPRPI Harun Noeh, atau lebih akrab disapa Bang Alung, merupakan anak dari Afnawi Noeh yang melanjutkan perjuangan ayahnya dalam pengakuan kembali tanah mereka. Terdapat tiga orang wakil dari pemerintahan, Noval yang merupakan staff ahli Pemerintah Provinsi Gubernur Sumatera Utara, Embun Sari dari BPN dan Abednego Tarigan dari Kantor Staf Presiden RI. Selain itu, Dewi Kartika mewakili Konsorsium Perubahan Agraria dan Prof. Bungaran Antonius Simanjuntak (atau Prof. Bas) sebagai guru besar Antropologi Univeristas Sumatera Utara dan juga Sosiologi Universitas Medan. Sarasehan dimoderatori oleh Wina Khaerina. Menurut Prof. Bas, tanah adalah elemen penting dalam masyarakat. Kepemilikan tanah negara pada dasarnya adalah milik rakyat. Karena, tanpa rakyat tidak akan ada negara, yang ada hanyalah tanah rakyat yang diberikan oleh para leluhur yang secara turun-menurun mengolahnya. Sehingga menurut Prof Bas, tanah dipegang oleh negara sebatas untuk mempertahankan teritorinya dari negara lain. Secara keaslian, tidak ada orang asli di wilayah Indonesia, keaslian ia rujuk ke daerah Cina Selatan dimana nenek moyang berketurunan Melayu Tua (Proto Melayu) berasal. Dari situlah beliau juga menjelaskan mengenai kedekatan tanah dengan masyarakat BPRPI yang dilempar hak-haknya atas tanah. Pada zaman penjajahan Belanda, tanah mereka disewa dan dijadikan lahan tembakau, dari situlah nama Deli Tabak berasal. Kolonial Belanda, yang pada saat itu dipimpin Westenberg, “menyewa” tanah melalui Sultan hanya seharga satu buah mobil Dodge. Tanah ulayat mereka dari situ beberapa kali mengalami alih fungsi, dari perkebunan tembakau hingga menjadi PTPN IX yang ditanami kelapa sawit. Disinilah Harun Noeh atau Bang Alung masuk dan menjelaskan mengenai panjangnya perjuangan yang dilakukan BPRPI selama berdiri semenjak 1953. Tahun ini perjuangan mereka lakukan memasuki tahun ke-64. Bang Alung membayangkan perjuangan selama ini yang diperumpamakan sebagai seorang dari lahir hingga tua dan masuk kubur, sementara kasus belum selesai. Menurutnya perlu ada penyelesaian yang konkrit. Sekarang, banyak tantangan yang mereka hadapi. Stigma yang melekat pada Barisan Rakyat Penunggu bahwa mereka adalah penggarap. Dimana penggarap tidak memiliki hak atas tanah yang mereka pergunakan, padahal pada nyatanya nenek moyang mereka sudah turun-temurun mengolah tanah di daerah Sumatera Timur. Bang Alung sendiri menjelaskan banyaknya calo tanah yang menawarkan Rp 1.000.000,- untuk satu SKT (Surat Keterangan Tanah) karena telah diberikan pada masyarakat hak tanah 10.000 Ha. Walau, keberadaan tanah itu belum jelas statusnya hingga sekarang. HGU banyak yang labil dan beberapa tanah berstatus terlantar, khususnya yang diperjuangkan oleh Barisan Penunggu yaitu kahan perkebunan. Banyak halangan lain yang BPRPI hadapi adalah korupsi, dimana orang-orang yang mengambil tidak berhak atas wilayah adat ini, tutur Abednego Tarigan. Selain itu, tantangan structural dan eksternal juga menjadi hambatan. Menurut Dewi Kartika, Sekjen KPA, tantangan lainnya adalah kriminalisasi masyarakat adat. Dari beberapa hal itu dapat disimpulkan bahwa kepemilikan tanah dalam masyarakat adat dalam kondisi yang kritis dan mudah diserang. Standar ganda berlaku kepada masyarakat adat dan hal tersebut harus dihentikan, menurutnya. KPA yang terus menggiring isu Reforma Agraria, menjelaskan bahwa negara berada dalam posisi yang rancu, ditarik ke dua belah arah. Arah yang pertama yaitu pengakuan tanah adat dan reforma agrarian, sementara arah yang berlawanan adalah masuknya TNI dan POLRI dalam wilayah agraria. Keberadaan Inventarisasi Penguasaan Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah atau IP4T menjadi harapan dalam penyelesaian kasus-kasus pertanahan. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, yang diwakili oleh Bapak Noval sebaga staff ahli gubernur, mengatakan bahwa istilah “penggarap” memang masih melekat dengan Rakyat Penunggu. Tetapi ia tegaskan bahwa “BPR paten!”, teriaknya kepada pada peserta sarasehan dan dijawab dengan celetukkan “Paten kita semua, Pak!”. Peserta sarasehan sangat aktif menanggapi pembicara dengan menjawab salam-salam dan beberapa kali menyeletuk “Betul!” atau “Banyak hepengnya (uangnya) itu!” saat berbicara mengenai perampasan tanah adat mereka oleh oknum-oknum privat dan kaya. Banyak yang diharapkan kedepannya, apalagi melihat semangat BPRPI. Menurut Bapak Noval, pemprov mendukung dengan pengalokasian APBD dan juga dengan upaya pengajuan Perda Masyarakat Adat yang sedang memasuki tahap Naskah Akademis yang diserahkan kepada USU. Embun Sari sebagai perwakilan BPN yang telah disebut diatas menyampaikan bahwa BPRPI memiliki hak komunal atas tanah. Hak ini mereka miliki bersama, secara kelembagaan, secara hukum (adat) dan paguyuban. Harapan ke masa yang akan datang disampaikan banyak oleh Dewi Sartika dari KPA. Ia mengharapkan pergerakan dan pelaksanaan tuntutan tidak hanya Top-Down atau dari atas kebawah. Melainkan juga pengguringan isu dari bawah keatas, sehingga bertemulah dalam suatu kesepakatan bersama. Perlunya keterbukaan informasi public juga ia tekankan, hal ini juga diulang oleh Abednego Tarigan. Keterbukaan ini merupakan salah satu bentuk akuntabilitas badan negara. Alangkah baiknya jika data mengenai status-status tanah dipublikasikan agar masyarakat dapat mengetahui status tanah yang mereka duduki. Misalnya kapan kadaluarsanya HGU atau HGB. Sekarang adalah masanya pembangunan yang “haus akan tanah”, menurut Dewi. Tahun 2017 adalah tahun pembuktian dan waktu yang sangat tepat untuk menagih janji-janji. Perlu memaksimalkan IP4T sebagai komitmen politik yang sudah ada, apalagi janji Jokowi yang melaksanakan Ekonomi Berkeadilan. Harun Noeh juga mengajak masyarakat BPRPI untuk taat pajak, agar negara merasakan keuntungan memberikan tanah-tanahnya kepada masyarakat. Karena pada kenyataan, banyak tanah milik negara yang dipinjamkan kepada perumasahaan yang menunggak pajaknya hingga miliaran rupiah. Bang Alung juga menantang pemerintah untuk memberi dukungan dalam pembangunan yayasan dan mendukung sekolah yang telah mereka, BPRPI, bangun sendiri. Sarasehan ditutup dengan sesi tanya-jawab oleh tiga orang anggota BPRPI, salah satunya Perempuan AMAN, yang lebih mengaspirasikan pengalaman mereka selama ini. Peserta yang sebagian besar adalah anggota BPRPI sangat antusias dalam menanggapi pembicara. Yang mereka tanggapi dengan penuh semangat adalah teriakan “Hidup Pak Profesor!” kepada Prof. Bas saat mengajak para akademisi untuk tidak hanya diam dan menonton perjuangan masyarakat.