Masyarakat adat tampaknya sedang ditantang ketika perjuangan terhadap pengakuan hak masyarakat adat secara penuh, dihadapkan pada perdebatan tentang ekonomi. Kaum pemodal melihat kelimpahan sumber daya alam (SDA), seperti hutan maupun laut, sebagai target eksploitasi yang akan mengisi pundi-pundi mereka. Sementara di sisi lain, masyarakat adat memandang hutan maupun laut sebagai sumber penghidupan.

Kelestarian alam memiliki hubungan langsung terhadap pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat adat. Namun selama ini, tampaknya pemerintah terlanjur menakar kesejahteraan hanya dari hitung-hitungan ekonomi. Masyarakat adat pun dianggap tidak memiliki kemampuan dalam mengelola sumber daya alam hanya karena tak ada nilai uang yang bisa diukur dengan pasti dari hutan dan laut yang telah dirawat secara lestari dari generasi ke generasi. Dan seolah-olah hanya pihak pemodal (perusahaan besar) saja yang mampu memberikan janji-janji “pembangunan” terkait investasi. Namun, organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah menangkis dalih tersebut. Melalui studi valuasi ekonomi terhadap pengelolaan SDA berkelanjutan di wilayah adat tahun 2018, AMAN menegaskan bahwa kita keliru jika menyerahkan sebagian besar hutan maupun laut di negeri ini kepada sektor privat dan mengenyampingkan peran masyarakat adat hanya karena dianggap tidak mempunyai nilai ekonomi. Studi tersebut dilakukan di enam wilayah adat pada kurun waktu Januari hingga Maret 2018, yaitu Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan; Kaluppini di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan; Kasepuhan Karang di Kabupaten Lebak, Banten; Moi Kelim di Malaumkarta di Kabupaten Sorong, Papua Barat; Saureinu di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat dan Seberuang di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Studi itu merupakan kolaborasi yang dilakukan AMAN, Perwakilan masyarakat adat, dan Tim ahli ekonomi yang berasal tiga perguruan tinggi di Indonesia yaitu Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Padjajaran (Unpad). Pada lokakarya bertajuk “Hasil Kajian Nilai Ekonomi Pengelolaan SDA Berkelanjutan di Wilayah Masyarakat Adat” yang diselenggarakan di IPB Convention Center, Bogor (23/04/18) Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi mengutarakan alasan dilakukannya studi tersebut. “Pertimbangan mendasar adalah agar kita menemukan ‘bahasa’ yang bisa dipahami oleh pihak-pihak lain ketika bicara tentang masyarakat adat. Bicara dengan pemerintah, kepentingannya adalah ekonomi, karena mereka perlu pastikan kesejahteraan rakyat. Maka, bahasa yang dipahami adalah bahasa uang atau ekonomi. Itulah kenapa selama ini yang bisa meyakinkan pemerintah untuk menguasai negeri ini adalah perusahaan atau sektor privat sebab yang ditawarkan adalah hitungan uang,” ungkap Rukka. Hasil studi tersebut memaparkan angka-angka yang mengejutkan. Ada puluhan sampai ratusan miliar rupiah yang diperoleh setiap tahunnya dari penggabungan nilai ekonomi untuk produk SDA dan jasa lingkungan, bahkan wilayah komunitas adat di Kasepuhan Karang, Moi Kelim, dan Seberuang memiliki prediksi valuasi ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan perekonomian daerah. Salah satu alasan yang membuat tingginya total nilai ekonomi di wilayah-wilayah adat tersebut, disebabkan oleh kearifan lokal dalam pemanfaatan SDA yang berpadu dengan aspek pelestarian alam. Di Moi Kelim misalnya, analisis ekonomi yang intensif bisa dilakukan dan mendapatkan hasil yang tinggi karena jumlah masyarakat adatnya relatif kecil dan pemanfaatan langsung bisa dihitung dari komoditas utama terhadap hutan dan laut. Dr. Zuzy Anna, pakar yang melakukan analisis terhadap wilayah adat tersebut, mengutarakan hasil analisisnya. “Nilai pemanfaatan langsung perikanan di pesisir dengan alat tradisional mencapai sekitar Rp 3,8 miliar per tahun dari berbagai jenis ikan. Itu pemanfaatan standar sehari-hari, tapi ada juga yang bersifat kearifan melalui sasi. Hutan juga punya nilai yang lumayan sekitar Rp 1,2 triliun. Itu tidak ditebang!” Dosen dari Universitas Padjadjaran tersebut pun menyinggung prediksi nilai pariwisata, keanekaragaman hayati, pemberdayaan perempuan (kerajinan noken dan pangan tradisional), serta budaya yang masing-masing menembus angka ratusan juta rupiah setiap tahun. Dengan kondisi hutan, mangrove, terumbu karang, dan padang lamun yang terjaga dengan baik, Dr. Zuzy Anna mengutarakan bahwa terdapat nilai yang fantastis hingga puluhan miliar rupiah jika luasan dan kualitasnya tetap terjaga seperti apa adanya. Nilai valuasi yang tinggi juga diraih oleh Kasepuhan Karang. Menariknya, dari paparan yang dijelaskan oleh Alin Halimatussadiah, pakar dari Universitas Indonesia, masyarakat adat justru semakin antusias untuk mengoptimalkan pemanfaatan wilayah adat secara lestari sejak adanya pengakuan terhadap hak masyarakat adat dan wilayah adatnya, termasuk hutan adat.

“Pasca-penetapan (Perda tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan), masyarakat adat lebih antusias untuk optimalkan garapan,” komentar Alin dalam melihat banyaknya inisiatif baik yang dilakukan masyarakat adat setelah Perda diperoleh yang sekaligus mengakhiri konflik soal tanah. Alin melanjutkan, “Ada penanaman pohon kopi dan ribuan tanaman buah. Pembangunan sarana dan pra-sarana berjalan lebih baik, seperti sekolah dan perbaikan rumah adat. Mereka juga mendirikan koperasi yang dimotori perempuan. Jadi mindset konservasi sudah melekat. Pariwisata dimotori kaum pemuda adat dan menjadi alternatif penghidupan selain pertanian. Mereka tak mau membangun hotel, tapi mengembangkan homestay.” Studi valuasi ekonomi yang dilakukan oleh AMAN dan tim itu pun menunjukkan kesalahan terhadap persepsi yang mengatakan bahwa wilayah adat adalah lahan yang tidak produktif. Hal tersebut juga menegaskan nilai ekonomi yang bias dari relasi pembangunan yang selama ini dilekatkan dengan perampasan wilayah adat untuk mengubahnya menjadi kawasan pertambangan maupun perkebunan raksasa.

“Sebetulnya, masyarakat adat bisa sejahtera asal tidak diganggu saja,” ungkap Mubariq Ahmad, Direktur Yayasan Strategi Konservasi Indonesia. Dengan menunjukkan nilai ekonomi tersebut, kami harap bisa memberikan keyakinan kepada para legislatif dan eksekutif bahwa menghargai hak masyarakat adat itu mutlak diperlukan dalam konteks ekonomi. Dan hak ekonomi adalah bagian dari HAM. Nurdiyansah Dalidjo-Peneliti lepas yang memiliki ketertarikan dalam gerakan Masyarakat Adat di Indonesia. Lebih lanjut tentang penulis silahkan mengunjungi www.penjelajahrempah.com.

Writer : Nurdiyansah Dalidjo | Jakarta