Dari Konfrontasi Menuju Proses Dialogis
17 Maret 2017 Berita Nurdiyansah Dalidjo
Berbondong-bondong perwakilan kelompok komunitas adat mulai berdatangan. Di lokasi sidang utama yang bernama Ruang Ab. Kadir Harun Noeh, sebuah tenda besar telah siap menampung sekitar 3 ribu masyarakat adat yang datang dari berbagai penjuru Indonesia. Pagi itu, (15/3/2017) kegiatan pra-Kongres Masyarakat Adat Nusantara yang kelima (KMAN V) akan dibuka dengan simposium “Tata Negara dan Reorganisasi Kelembagaan Negara.” Mereka hadir lengkap dengan warna-warni kostum yang melekatkan mereka pada identitas masyarakat adat.
Jika ada dari kita pernah mengikuti KMAN sebelumnya, maka akan terasa nuansa yang berbeda untuk hadir pada KMAN V kali ini di Kampong Tanjung Gusta, Sumatera Utara. Kita mungkin pernah ingat sebuah slogan santer yang digaungkan AMAN pada awal terbentuknya: “Jika negara tidak mengakui kami (masyarakat adat), maka kami tidak akan mengakui negara!” Situasi ekonomi, sosial, dan politik saat itu begitu intens di mana keberadaan masyarakat adat selalu diliputi dengan konflik yang didominasi oleh negara dan perusahaan. Siapa pun yang mendengar cerita tentang penggusuran atau penjarahan hutan adat maupun pemenjaraan masyarakat adat tentu pantas untuk marah.
Situasi telah berubah. Hingga hari ini, kriminalisasi dan konflik wilayah adat masih terjadi. Tetapi hubungan antara masyarakat adat dan negara tampak membaik. Situasi itulah yang disoroti oleh Abdon Nababan, Sekjen AMAN, dalam pidato pembuka simposium.
“Konstitusi kita yang terbaik di dunia!” ungkap Abdon menegaskan perihal lahirnya UUD 1945. Ia melanjutkan, “Sayangnya, itu tidak dijalankan secara konsisten. Gerakan masyarakat adat adalah gerakan kembali ke konstitusi. Tidak akan ada kemandirian, kedaulatan, dan jati diri tanpa masyarakat adat. Apa yang lalai dilakukan oleh negara inilah yang sedang kita perjuangkan.”
Posisi konfrontasi dilakukan AMAN hingga tahun 2007. Setelah itu, proses pemulihan terhadap masyarakat adat berlangsung damai. Terjadi proses dialog antara masyarakat adat dan negara yang menghasilkan berbagai dokumen, yaitu MK 35, Permendagri 52, Permen LHK 32, dan Permen ATR 10. Strategi pemulihan pun dilakukan dengan munculnya Perda dan SK Bupati terhadap pengakuan masyarakat adat. Kini, meski RUU Masyarakat Adat (MA) belum juga diketuk palu pengesahan, namun pemerintah tengah menyiapkan Satgas Masyarakat Adat yang diharapkan akan berujung pada kehadiran Komnas Masyarakat Adat.
Sementara itu, mewakili pemerintah adalah Jaleswari Pramowardhani dari Kantor Staf Presiden (KSP). Ia menjelaskan tentang berbagai hal pokok yang sedang dilakukan pemerintah saat ini dengan serangkaian paket kebijakan dan hukum, infrastruktur, hingga pengentasan kemiskinan.
“Tahun 2017 ini Presiden (Jokowi) memutuskan program pada ekonomi berkeadilan untuk mengurangi ketimpangan dan konflik sosial,” paparnya.
Ada lima pilar yang ia utarakan. Itu menyangkut persoalan gizi buruk, kemiskinan, pengangguran, ketimpangan kekayaan, dan penguatan industri berbasis kerakyatan. Kelima pilar itulah yang difokuskan sebagai dasar yang mengacu pada aspek pengurangan risiko bencana (PRB) dan keberlanjutan. Bersamaan dengan itu, adalah paket reformasi hukum dan jaminan reformasi birokrasi.
Jaleswari Pramowardhani juga menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi baru tersebut harus bermanfaat bagi masyarakat adat dan mampu meminimalisir kerusakan lingkungan hidup.
Di tengah kekecewaan masyarakat adat terhadap belum disahkannya RUU MA, ia mengutarakan perkembangan kebijakan terbaru. “RUU MA telah masuk dalam Prolegnas 2017 dan Tim Satgas MA sedang digodok untuk memasuki proses harmonisasi di kementerian-kementerian,” ungkapnya yang disambut dengan tepuk tangan riuh yang menjadi angin segar bagi masyarakat adat.
Di era Pemerintahan Jokowi-JK inilah masyarakat menorehkan harapan besar untuk segera disahkannya RUU MA sebagai hal paling mendesak dalam menjawab segudang persoalan yang semoga dapat memperkuat hubungan baik dan menjaga keberlanjutan dialog antara masyarakat adat dan negara.
Oleh Nurdiyansah Dalidjo