Belajar dari Perjuangan Rakyat Penunggu
14 Maret 2017 Berita Nurdiyansah DalidjoPenyelenggaraan KMAN V di Tanjung Gusta, Sumatera Utara:
Sepanjang hari, matahari terik. Untuk berkeliling tanpa topi atau pelindung kepala apa pun di sekitaran desa sudah bisa membikin kepala terasa sedikit pening. Meski angin sepoi-sepoi terus bertiup, tanah yang berdebu membuat udara seperti tetap tak bersahabat. Tetapi kesibukan yang telah dimulai sejak berbulan-bulan lalu telah mencapai puncaknya.
Kongres Masyarakat Adat Nusantara Kelima (KMAN V) akan segera terlaksana di Kampung Tanjung Gusta, Sumatera Utara. Spanduk penyambutan Presiden Joko Widodo - yang direncanakan akan hadir - telah dipasang di Balai Adat dan pintu masuk desa. Begitu pun dengan sapnduk-spanduk bertema masyarakat adat serta tenda-tenda yang akan menjadi ruang berbagai pertemuan dan kongres. Kemeriahan penyelenggaraan KMAN V ini bahkan telah tampak dengan jejeran bendera AMAN di sepanjang jalan dari Bandara Kuala Namu menuju lokasi acara.
KMAN V merupakan puncak perhelatan akbar, tidak hanya bagi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebagai organisai masyarakat adat yang memperjuangkan kedaulatan, kemandirian, dan kemartabatan masyarakat adat, tetapi juga bagi gerakan masyarakat adat di Indonesia. Dalam KMAN V, seluruh perwakilan masyarakat adat akan berkumpul untuk memusyawarahkan pemimpin mereka sekaligus rencana strategis dalam lima tahun ke depan. Selama dua periode, Abdon Nababan telah memimpin perjuangan masyarakat adat dengan jabatannya sebagai Sekjen AMAN.
Tanjung Gusta dan Perjuangan Merebut Hak Atas Tanah
Pada awalnya, penyelenggaraan KMAN V di Sumatera ini memang telah ditentukan pada kongres sebelumnya di tahun 2012 di Tobelo, Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara. Kala itu, pemilihan lokasi baru menetapkan Region Sumatera saja. Selama proses berjalan, Provinsi Sumatera Utara kemudian terpilih untuk menjadi tuan rumah KMAN V.
“Kongres di Tobelo telah menetapkan akan diselenggarakan di Sumatera. Di antara para Badan Pengurus Harian (BPH) di Sumatera, konsolidasi yang dilakukan, memutuskan wilayah Sumatera Utara. Di sini ada Pengurus Wilayah (PW) Sumatera Utara dan PW Tano Batak sebagai tuan rumah. Termasuk di dalamnya adalah Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI). Tanjung Gusta ini adalah wilayah adat BPRPI yang telah direklaim dari PTPN II,” ungkap Mona Sihombing, Koordinator Media Center KMAN V menjelaskan tentang penyelenggaraan KMAN V tahun ini.
Tanjung Gusta adalah salah satu desa dari Masyarakat Adat Rakyat Penunggu. Cerita tentang perjuangan mereka sebagai masyarakat adat yang melakukan reklaim wilayah adatnya sudah dimulai jauh ke belakang, bahkan sebelum Indonesia lahir. Pada masa kolonialisme Belanda, wilayah adat mereka dikontrak oleh Pemerintah Belanda untuk perkebunan tembakau. Ketika Indonesia merdeka, Pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi, termasuk perkebunan milik Rakyat Penunggu ke dalam penguasaan perusahaan perkebunan milik negara (PTPN). Hal itu membuat masyarakat adat kehilangan tanah dan wilayah adatnya. Sejak 1950-an, Masyarakat Adat Rakyat Penunggu memulai perjuangannya untuk merebut kembali 260.598 hektar tanah milik mereka. Sampai saat ini, mereka berhasil mendapatkan 2.383 hektar. Sebanyak 310 hektar adalah Tanjung Gusta yang direklaim dari perkebunan kelapa sawit.
Jejak rekam perjuangan Rakyat Penunggu terhadap Tanjung Gusta inilah yang menjadi penegasan AMAN menyelenggarakan KMAN V di desa kecil yang tampak begitu gersang dan berlokasi sekitar 3 jam perjalanan dengan kendaraan bermotor dari Bandara Internasional Kuala Namu.
Mina Susana Setra, Deputi I Sekjen AMAN sekaligus Wakil Ketua III KMAN V, menjelaskan posisi Tanjung Gusta untuk memberi pesan penting - meski sulit untuk dilakukan dan melalui jalan perjuangan yang tidak sebentar, namun reklaim tanah dan wilayah adat, amat memungkinkan untuk berhasil. Itulah alasan mengapa KMAN V akhirnya terselenggara di Kampung Tanjung Gusta, Sumatera Utara.
Mina mengatakan, “Tanjung Gusta adalah suatu contoh bagaimana perjuangan masyarakat adat dapat mempertahankan dan merebut kembali hak atas tanah dan wilayah adatnya.”
Saat ini, Tanjung Gusta merupakan sebuah permukiman masyarakat adat. Sebagian warganya masih menggantungkan sumber penghidupan dari pekerjaan sebagai petani dan pedagang usaha mikro dan kecil. Tentu saja, tidak mudah untuk menggemburkan kembali tanah tandus sisa perkebunan kelapa sawit. Di desa ini, sekitar 3 ribu peserta kongres akan hadir. Mereka adalah para pemimpin masyarakat adat, perwakilan pemerintah, hingga delegasi masyarakat adat dari mancanegara.
Oleh Nurdiyansah Dalidjo