Jakarta, 26 Februari 2016 – Melalui surat yang ditujukan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), 20 Februari 2016, Komunitas Adat Dayak Meratus di Balai Tuyang dan Alut, Desa Gunung Raya Ke. Mentewe, Kab. Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, menyampaikan bahwa telah terjadi penggusuran wilayah adat mereka yang dilakukan oleh PT. Johnlin Agro Mandiri (JAM). Menurut masyarakat, PT. JAM melakukan perbuatan semena-mena, brutal dan tidak berkeprimanusiaan yang mengakibatkan tergusurnya kebun, ladang dan kuburan nenek moyang milik masyarakat. Dalam melakukan aktivitasnya PT. JAM tidak mendapatkan kesepakatan ataupun ijin dari masyarakat. Diperkirakan ada lebih dari 500 hektar lahan yang telah digusur oleh perusahaan tersebut, termasuk di dalamnya ratusan pekuburan (makam) dari para tetua dan leluhur Masyarakat Adat Dayak Meratus yang dimusnahkan. Demikian pula, masyarakat resah karena hilangnya mata pencaharian pokok dan identitas budaya yang sangat mereka hormati. Kepada Menteri LHK, Satra, perwakilan dari Balai Alut dan Marto, selaku Kepala Adat Balai Tuyan meminta keadilan kepada KLHK karena PT. JAM dalam aktifitasnya mengatasnamakan ijin yang diberikan oleh KLHK untuk membuka perkebunan karet di wilayah tersebut. Berdasarkan kronologis yang ditulis oleh masyarakat, pada tanggal 18 September 2015 lalu, pihak perusahaan mengirimkan surat ke Kantor Desa Gunung Raya perihal adanya rencana kegiatan pembuatan perkebunan karet oleh PT. JAM di desa tersebut. Lalu pada tanggal 4 oktober 2015, Pihak perusahaan bersama dengan Dishutbun Kab. Tanah Bumbu, Camat Mantewe, Kapolsek Mantewe, Danramil, Brimob serta Polhut melalukan sosialisasi tentang kegiatan usaha perkebunan yang akan dilakukan. Masyarakat Adat Meratus dari Tuyan dan Alut mengaku tidak pernah menyerahkan/ mengijinkan pihak PT. JAM untuk melakukan usaha perkebunan di tanah milik masyarakat. Ketika hal ini ditanyakan oleh masyarakat, pihak perusahaan yang diwakili oleh Heri Syahriwal mengatakan bahwa sosialisasi dilakukan karena perusahaan baru mendapat ijin dari Menteri LHK. Masyarakat yang menolak kehadiran perusahaan meminta diadakan pemetaan wilayah adat, agar kebun, ladang dan lahan milik masyarakat tidak dimasukkan ke dalam areal perusahaan untuk dijadikan kebun. Pada tanggal 25 november 2015, diadakanlah musyawarah untuk menindaklanjuti keinginan masyarakat tentang adanya pemetaan. Pemetaan dilaksanakan dengan tim yang terdiri dari pihak PT. JAM, Dishutbun, Kapolsek, Kecamatan, Desa dan Para Tokoh Desa yang terdiri dari ketua RT.03,Ketua RT.04, Ketua RT.05, Ketua RT.06 dan juga Ketua RT.08. Pada akhir Bulan Desember 2015, perwakilan masyarakat bersama Kepala Desa mendatangi kantor PT.JAM dan mengadakan pertemuan dengan Humas perusahaan untuk menanyakan tentang hasil pemetaan yang dilakukan secara bersama-sama tersebut. Namun, Hilmi, perwakilan Humas Perusahaan mengatakan bahwa hasil pemetaan masih belum selesai. Padahal, pihak perusahaan menyepakati akan mengeluarkan wilayah yang menjadi hak masyarakat, sesuai hasil pemetaan 2 minggu setelah pemetaan dilakukan. Hingga pada akhirnya 12 Februari 2016 kemarin, masyarakat resah karena pihak Perusahaan tetap saja melakukan aktifitas membuka lahan tanpa mengindahkan hasil kesepakatan yang dibuat bersama dan mengakibatkan tergusurnya kebun, lahan dan kuburan milik masyarakat. Masyarakat yang merasa tertipu dan dipermainkan oleh PT.JAM, Dishutbun Camat Mantewe, Kapolsek Mantewe, Danramil, Brimob, Polhut kab.Tanah Bumbu kemudian berinisiatif melakukan pemasangan patok dan plang yang menandakan bahwa itu adalah wilayah adat milik masyarakat. Dalam surat yang ditujukan kepada Menteri LHK, masyarakat menegaskan bahwa Negara tidak akan segampang itu dalam mengeluarkan izin. Oleh karena itu, masyarakat meminta agar izin yang dikeluarkan untuk PT. JAM dapat dikoreksi atau jika memungkinkan untuk dicabut karena sangat meresahkan dan merugikan masyarakat. **Titi Pangestu**

Writer : Titi Pangestu | Jakarta