MENDORONG PENGAKUAN, PERLINDUNGAN DAN PEMENUHAN MASYARAKAT ADAT MELALUI PRODUK HUKUM DAERAH
05 Mei 2018 Berita Supriadi SawaiMaluku Utara 2/05/2018. Dalam memperjuangan keberadaan Masyarakat Adat, negara memberikan peluang pengakuan Masyarakat Adat, melalui Peraturan Daerah (Perda). Untuk itu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, menggelar pelatihan bertajuk, Legislasi Dalam Rangka Mendorong Pemenuhan Hak Masyarakat Adat di Maluku Utara. Hadir sebagai narasumber Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM, PB AMAN. Selain itu, turut hadir sebagai peserta, Ketua Pengurus Daerah AMAN Halmahera Tengah, Halmahera Utara dan Halmahera Timur, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Maluku Utara, serta perwakilan dari Universitas Khairun, Fakultas Hukum dan Kehutanan, tanggal 30 April-2 Mei. Ketua AMAN Maluku Utara, Munadi Kilkoda dalam sambutannya mengatakan, kegiatan ini lebih fokus pada pelatihan menyusun draft Perda dan naskah akademik, “Proses ini, dilakukan melalui diskusi panjang terkait kebijakan yang berpihak pada Masyarakat Adat, yaitu Perda. Selama ini, hanya orang dari Fakultas Hukum yang dapat menyusun draft Perda. Padahal dalam prosesnya, keterlibatan Masyarakat Adat sangat penting.” Lebih lanjut Munadi mengungkapkan, “Kajian Masyarakat Adat cukup luas, bukan hanya kajian yuridis, melainkan terdapat kajian historis, sosiologi. Jadi butuh banyak perspektif yang menguatkan untuk meraih pengakuan Masyarakat Adat dalam kebijakan yang dihasilkan.” Salah satu peserta, Hidayat Marasabessy berharap, “Persoalan Masyarakat Adat di Maluku Utara dapat diselesaikan secepatnya, terutama di daerahnya, “Sebuah harapan dari perjuangan Masyarakat Adat yang panjang untuk mendapatkan kembali hak ulayatnya, karena keberadaan Masyarakat Adat telah ada jauh sebelum negara Indonesia terbentuk.” Sementara itu, Muhammad dari Universitas Khairun ikut menegaskan bahwa Masyarakat Adat adalah rujukan dari hukum positif negara Indonesia, “Sebelum adanya hukum positif kita, sudah ada hukum adat yang pertama dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya. Dari aspek historis, Arman memaparkan, pada era tahun 1950-an, di dalam rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) isu Masyarakat Adat sudah mulai dibicarakan, bahkan tokoh nasionalis sekelas Mohamad Yamin telah menyebutkan adanya Masyarakat Adat yang telah mampu menjalankan pemerintahan sendiri. Lebih lanjut, Arman juga menjelaskan, “Sejak zaman kolonial Belanda dikenal dua istilah, yaitu Adat Rechtsgeemeinschappen (Masyarakat Hukum Adat) dan Volks Geemeinshappen (Persekutuan Hukum Rakyat), keduanya memiliki makna yang sama dan sebangun. Kedua istilah tersebut dapat kita maknai sebagai Masyarakat Adat yang telah mampu menjalan pemerintahan berdasarkan hak tradisional (hak asal usul). Arman juga menekankan, “Meskipun tidak ada rujukan definisi hak tradisional Masyarakat Adat di dalam konstitusi negara Indonesia, namun secara otomatis Masyarakat Adat sebagai pemegang hak tradisional.” Hak tradisional Masyarakat Adat mencakup, hak atas tanah dan sumber daya alam (wilayah adat), hak untuk menjalankan pemerintahan asli, hak untuk mengembangkan dan menjalankan hukum adat termasuk peradilan adat. Supriadi Sawai-ANGGOTA BPAN MALUKU UTARA