Masyarakat adat Rendu Desa Rendu Botuwe, Kecamatan Aesesa Selatan Kabupaten Nagekeo, Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang tergabung dalam Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo (FPPWL) mengecam tindak kekerasan yang dilakukan Polres Ngada terhadap para ibu yang berusaha berjuang mempertahakan wilayah adatnya pada tanggal 18 April lalu. Aksi kekerasan terjadi, saat tim Balai Wilayah Sungai (BWS) Nusa Tenggara II, melakukan survei ke lokasi pembangunan waduk Lambo tanpa pemberitahuan ke warga. Dalam kegiatan tersebut, tim BWS mendapat pengawalan dari aparat kepolisian resor Ngada dibantu satuan Brimob Ende yang dipimpin Kasat Intelkam Polres Ngada, Sarfolus Teguh. Tim survei dan aparat kepolisian dihadang oleh ibu- ibu di depan pintu masuk lokasi pembangunan waduk Lambo. Meskipun dihadang, aparat kepolisian memaksa masuk ke lokasi tersebut. Bernadinus juga menyayangkan tindakan perampasan telepon genggam milik warga, bernama Richardus Ghari oleh aparat kepolisian untuk menghapus semua bukti kejadian berupa foto dan video. Salah satu korban kekerasan, Hermina Mawa mengungkapkan, saat ia melihat aparat kepolisian memaksa masuk ke lokasi pembangunan waduk, secara spontan, ia membuka baju. Namun seorang Polwan bernama Maria Yasinta mengangkat kain menutup badannya, lalu mencekik lehernya dengan belitan kain, dengan satu tangan memeluk dari arah belakang, agar dirinya tidak bisa bergerak. “Saya sempat berteriak minta tolong kepada anak muda yang berada disana, karena merasa ditekan. Tetapi dari arah belakang sudah banyak anggota polisi yang mendorong untuk masuk ke lokasi,” ucap Mince Mawa. Ditambahkan Mince dalam waktu bersamaan kawan lainnya, Martina Ngoe, Liberta Wea, Imelda Dheta juga mengalami hal yang sama, kaki mereka ditarik oleh polwan. Akibatnya lengan Afra Io lengannya ditarik hingga bengkak dan tergores. Ketiga nama Polwan tersebut adalah A.R Mada dan Magdalena yang menarik dan memeluk ibu-ibu lainnya. Meskipun air mata jatuh membasahi pipi Hermina, ia tetap tegar dan tetap menolak lokasi pembangunan waduk di Lowose. Ia menyatakan, “Kami masyarakat adat yang terkena dampak pembangunan waduk, tidak akan mundur, meskipun mengalami aksi kekerasan dan teror aparat kepolisian. Willybrodus Bei Ou, Sekretaris FPPWL, menegaskan kehadiran BWS Nusa Tenggara II sangat bertentangan dengan pernyataan Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono ketika PPWL berkunjung ke kantor kementerian tanggal 4 Agustus 2017 di Jakarta. “Kami tetap pegang pernyataan Menteri PUPR saat itu, yang mengatakan jangankan 100 orang, satu orang saja menolak pembangunan maka pembangunan itu tidak dilakukan. Pernyataan ini sangat jelas, kami semua disini tidak menyetujui pembangunan waduk, tetapi kok masih dipaksakan untuk melakukan survei. Maksudnya apa semua ini? Adakah misi terselubung sampai bersikeras untuk memaksakan kehendak. “ Sebelumnya, Gorys Mere Staf Khusus Presiden tanggal 21-22 Februari 2017 telah berkunjung ke Kabupaten Nagekeo. Dalam pertemuan tersebut, warga telah menolak rencana pembangunan waduk yang diusulkan pemerintah seluas 491 hektar. Akibatnya, ribuan pemukiman warga akan ditenggalamkan, sehingga menghancurkan kampung adat dan pekuburan leluhur. Frumensia Wegu- INFOKOM PD AMAN FLORES TENGAH

Writer : Frumensia Wegu | NTT