Simalungun, www.aman.or.id - Hari ini, Masyarakat Adat Sihaporas dengan berpakaian adat Batak Toba lengkap dan dengan antusias melaksanakan upacara bendera peringatan kemerdekaan ke-73 Republik Indonesia. Gegap gempita peringatan hari kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia mulai dari pelosok desa sampai kota besar mulai tampak terlihat. Pengibaran bendera merah putih di setiap rumah, dekorasi meriah serta berbagai kegiatan yang semarak sudah menjadi tradisi setiap tanggal 17 Agustus. Masyarakat Indonesia larut dalam euforia perayaan kemerdekaan. Semangat ini juga dirasakan oleh Masyarakat Adat Sihaporas keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita. Memakai pakaian adat dilakukan untuk menunjukan rasa bangga sebagai Masyarakat Adat Batak Toba. Upacara berjalan khidmat, tampak peserta sangat menghayati jalannya upacara. Hal ini menunjukan kecintaan Masyarakat Adat Sihaporas Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita kepada tanah air Indonesia. Masyarakat Adat Sihaporas adalah bagian dari rakyat Indonesia, karena para leluhur turut berjuang mengangkat senjata dengan mengorbankan segenap jiwa dan raga, dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Namun saat ini, perayaan kemerdekaan yang dilakukan setiap tahun selama 73 tahun, hanya sebagai perayaan seremonial bagi Masyarakat Adat Sihaporas dan Masyarakat Adat di seluruh nusantara yang belum merasakan arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Di kawasan Danau Toba, konflik-konflik terkait wilayah adat semakin meluas, seperti yang dialami oleh Masyarakat Adat Sihaporas dan Masyarakat Adat Batak lainnya, seperti eksploitasi sumber daya alam, melalui ekspansi lahan-lahan perkebunan perusahaan di wilayah adat, menjadi salah satu ancaman yang nyata dirasakan oleh Masyarakat Adat Sihaporas. Hutan-hutan yang berada di wilayah adat yang dijaga dan dilestarikan secara turun-temurun sebagai sumber kehidupan, dan tempat penyelenggaraan upacara adat, kini nyaris habis berganti rupa menjadi lahan-lahan perkebunan eukaliptus milik PT. Toba Pulp Lestari. Masyarakat Adat Sihaporas masih merasa terkungkung dan terjajah di tanah air sendiri. Tidak ada kebebasan untuk mengelola sendiri wilayah adat. Intimidasi kerap dirasakan dari pihak perusahaan dan aparat keamanan yang disewa oleh perusahaan, lalu penghancuran situs-situs sejarah sampai pemenjaraan dan perburuan warga adat yang dianggap kriminal oleh negara, hanya karena mempertahankan wilayah adatnya dari tangan-tangan penguasa dan investor yang rakus. Lalu stigma negatif terhadap Masyarakat Adat yang dianggap kelompok masyarakat primitif dan terbelakang, padahal faktanya, Masyarakat Adat telah hidup ribuan tahun dengan menjaga kearifan lokal dan pengetahuan tradisional agar sumber daya alam lestari dan hidup harmonis dengan alam. Belum ada kemerdekaan yang dirasakan Masyarakat Adat, yang masih hidup dalam bayang-bayang penjajahan di tanah air sendiri. Padahal Masyarakat Adat telah ikut membangun peradabaan di nusantara dengan mengakui kedaulatan Negara Indonesia, namun pengakuan serta penghormataan terhadap Masyarakat Adat belum sepenuhnya dilakukan oleh Negara Indonesia. Sudah saatnya Masyarakat Adat diberi kebebasan untuk menentukan pembangunan yang tepat di wilayah adatnya. Masyarakat Adat bukan penghambat pembangunan, pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat harus dilakukan, agar dapat menentukan nasibnya sendiri. Dirgahayu ke-73 Republik Indonesia! Merdeka! Merdeka! Merdeka! Horas! Hidup Masyarakat Adat!!! AMAN Tano Batak

Writer : AMAN Tano Batak | Tano Batak