Jakarta, www.aman.or.id - Hiruk-pikuk pesta demokrasi pemilu 2019. Kita semua bereuforia merayakan kontestasi pilpres dan pileg yang diselenggarakan secara serentak. Namun diakui atau tidak, dinamika politik kita justru semakin jauh dari standar kewajaran. Liyan dalam politik telah melenceng dari khitah-nya, melulu diposisikan tak lebih hanya persoalan angka yang dikonversi menjadi benda dan kekuasaan.

Pragmatisme politik berlangsung dengan marak, nasib bangsa dibarter dengan kepentingan oportunis dan dilakukan tanpa merasa berdosa. Pada pemilu 2014, sebanyak 33 persen dari total pemilih yang ada mengaku pernah ditawari suap untuk memilih caleg tertentu. Artinya dari 187 pemilih, maka hampir 62 juta orang menjadi target jual beli suara (vote buying) (Burhanuddin Muhtadi, 2018).

Selain itu, partai politik yang digadang sebagai pondasi demokrasi, kini hanya berperan sebagai mesin pendulang suara, tak lagi mewakili kepentingan setiap elemen masyarakat. Siklus ini kian menjadi status quo, terjadi berulang tanpa perubahan. Tak heran semakin banyak yang memandang politik dalam makna negatif.

“Tidak ada partai politik yang baik,” demikian kelakar Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi dalam diskusi bertajuk “Caleg Perempuan, Disabilitas, dan Masyarakat Adat sebagai Alternatif untuk Tak Golput” (Jakarta, 3/02/2019).

Pernyataan itu sekaligus melegitimasi rendahnya Party-ID atau derajat kedekatan masyarakat terhadap partai politik yang hanya berkisar di angka 11,7 persen (SMRC, 2017). Hasil tersebut menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat party identification yang paling rendah di dunia. Tentu ini dampak dari hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik.

Status quo yang terjadi perlu diatasi dengan menghadirkan alternatif jalan baru dalam dinamika perpolitikkan di Indonesia. Alternatif tersebut dapat berupa partisipasi gerakan masyarakat sipil dalam gelanggang demokrasi, membawa kembali makna politik kepada khitah-nya.

Jalan Baru Politik Indonesia

Sebagai organisasi Masyarakat Adat, di dalam tubuh AMAN secara genealogis mengalir darah gerakan politik. AMAN dibentuk untuk meretas jalan baru politik di Indonesia.

“Sudah sejak 2009 AMAN ikut terlibat aktif di dalam pemilu. Kita dimandatkan di dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara 2007 (KMAN 2007) mengutus kader-kader terbaik dari Masyarakat Adat untuk maju di parlemen,” ungkap Rukka.

AMAN memilih jalur politik tentu bukan tanpa alasan. Selama berpuluh tahun, kebijakan yang lahir justru bertujuan merampas hak Masyarakat Adat. Kaya akan sumber daya alam peninggalan leluhur, namun tak dapat dinikmati. Seperti tikus yang mati di lumbung padi. Meski UUD '45 mengakui hak asal-usul Masyarakat Adat, namun setelahnya tak ada UU yang secara khusus memberi gagasan dan ide kepada negara soal bagaimana hak konstitusional Masyarakat Adat dilaksanakan. Yang lahir justru berbagai UU yang merampas hak Masyarakat Adat.

“Jadi, perampasan hak dan kekayaan wilayah adat sah secara hukum, tapi bertentangan dengan konstitusi. Kita (Masyarakat Adat) jadi korban, namun kita tak berada di ruang-ruang pengambilan kebijakan. Hal ini yang melandasi gerakan perluasan partisipasi politik Masyarakat Adat pada kongres di Pontianak. Kita harus merebut ruang-ruang pengambilan kebijakan,” tutur Rukka.

Pada pemilu 2009, tercatat sebanyak 67 utusan Masyarakat Adat terlibat dalam pencalonan DPD, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. AMAN berhasil menempatkan puluhan kader-kader politiknya di DPRD Kabupaten dan Provinsi dengan mengendarai beragam partai politik.

Dalam pemilu 2014, mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dari 186 utusan Masyarakat Adat yang mencalonkan, sebanyak 36 utusan berhasil menjadi anggota legislatif. Kerja-kerja elektoral AMAN juga berhasil memobilisasi 28.828 suara untuk DPRD Kabupaten/Kota, 12.459 suara untuk DPRD Provinsi, 34.893 suara untuk DPR RI dan 590.577 suara untuk DPD RI.

Utusan Masyarakat Adat di parlemen sedikit banyak telah menghadirkan beragam perubahan kebijakan bagi Masyarakat Adat. “Sebanyak 70 produk hukum daerah tentang pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat dihasilkan oleh utusan politik Masyarakat Adat,” ungkap Rukka.

Sepanjang pengalaman terlibat dalam pemilu, AMAN juga membuktikan bahwa Pemilu tidaklah mahal jika kandidat yang lahir benar-benar lahir dan mewakili konstituennya.

“Ada gejala yang aneh dari beberapa kandidat yang ditawarkan oleh proses demokrasi liberal, orang yang tidak jelas dari antah-berantah mana tiba-tiba mewakili kita. Artis dari Jakarta tiba-tiba mewakili Papua. Ini yang sedang kami koreksi dari dinamika politik di Indonesia,” tegas Rukka.

Tentu hal ini yang membedakan caleg utusan Masyarakat Adat dengan kandidat lainnya. Utusan politik Masyarakat Adat lahir dari proses musyawarah mufakat tingkat komunitas adat. Mereka diutus untuk memperjuangkan hak Masyarakat Adat melalui jalur politik. Dalam beberapa hal, mereka dapat pula dipanggil kembali jika terbukti tidak menjalankan komitmennya kepada konstituen yang mengutusnya. Mekanisme ini disebut dengan “tali-mandat”. Menempatkan kedaulatan masyarakat sebagai sumber utama dari demokrasi. Praktik ini adalah cara AMAN merawat proses demokratisasi di Indonesia.

Dalam perhelatan pemilu 2019, 157 Caleg AMAN sedang berjuang untuk menang. Mereka tersebar di 9 provinsi dan 42 kabupaten/kota. Berasal dari 16 partai politik yang beragam. Mereka adalah orang-orang terpilih yang lahir dari musyawarah mufakat tingkat komunitas adat. Diutus dan dimandatkan untuk memperjuangkan hak-hak Masyarakat Adat melalui jalur politik. “Kita sedang mempraktekkan makna sesungguhnya dari demokrasi,” tutup Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi.

Partisipasi politik AMAN adalah anti-tesis dari kepongahan wajah politik di Indonesia. Lantang menyerukan esensi partisipasi politik Masyarakat Adat hingga ke kampung-kampung. Menghidupkan kembali mekanisme musyawarah mufakat sebagai otentisitas demokrasi di Indonesia, mendekatkan “wakil rakyat” dengan konstituennya dan menghadirkan mekanisme tali-mandat sebagai manifestasi dari kedaulatan demos (rakyat). Ini yang disebut dengan meretas jalan baru politik di Indonesia.

Yayan Hidayat

Writer : Yayan Hidayat | Jakarta