Banten, www.aman.or-Pembukaan Riungan Gede Kesatuan Banten Kidul (Sabaki) ke-11 telah dimulai setelah semalam pembukaan resmi oleh ketua Sabaki, Sukanta di buka di depan 1500-an peserta yang datang dari 522 komunitas adat yang datang ke wilayah Kasepuhan Citorek, berlangsung 1-3 maret 2019. Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul adalah kelompok masyarakat adat Sunda yang tinggal di Pegunungan Sanggabuana. Saat ini pemerintah menyebutnya Taman Nasional Gunung Halimun Salak wilayah yang paling banyak dihuni oleh masyarakat adat kasepuhan adalah wilayah kabupaten Lebak sebelah selatan sampai ke kabupaten Sukabumi sebelah barat dan ke bagian utara sampai ke kabupaten Bogor Jawa Barat. Sabaki sebagai organisasi yang diberikan mandat oleh para kasepuhan untuk memperjuangkan hak masyarakat demi terwujudnya kedaulatan Masyarakat Adat atau dikenal dengan istilah ‘Suku Sambung Badan Derma’. Istilah ini memiliki makna bahwa gerakan Sabaki harus berdasarkan pada kebutuhan nyata yang ada di masyarakat adat kasepuhan. Dalam perjalanannya, Sabaki berperan penting dalam perjuangan pengesahan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak no. 8 tahun 2015, tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Kasepuhan yang telah ditetapkan pada bulan Desember 2015. Namun sayangnya perda tersebut belum sepenuhnya dirasakan manfaatnya oleh Masyarakat Adat Kasepuhan.

 

Ketua Sabaki, Sukanta menyatakan di dalam pidato pembukaan, bahwa Riungan Gede Sabaki ke-11, difokuskan untuk lebih masif mendorong pengakuan wilayah dan hutan adat dengan skema Perhutanan Sosial dan Hutan Adat. Selain itu juga terdapat beberapa agenda yang akan dibahas didalam riungan ini antara lain dukungan seluruh Masyarakat Adat Kasepuhan untuk mendorong pengesahan RUU Masyarakarat Adat, selain itu juga akan membahas revitalisasi organisasi Sabaki ini, lalu peningkatan peran Masyarakat Adat di dalam pemajuan kebudayaan dan memastikan implentasi Perda. “Kita sudah punya Perda, tapi implementasikan itu belum bisa dirasakan secara menyeluruh masyarakat, jadi manfaat Perda itu sebetulnya apa, ini yang belum dirasakan. Sehingga nanti ketika di dalam pembahasan ini jelas dalam rangka kita mendukung Perda ini supaya bisa efektif dan bermanfaat untuk Masyarakat Adat, bagaimana peran Masyarakat Adat, kemudian bagaimana peran pemerintah daerah, bagaimana pemerintah pusat karena saya yakin Perda ini dilahirkan punya tujuan, nah tujuan itu harus bisa dipastikan bagaimana Masyarakat Adat bisa merasakan manfaatkan untuk kehidupan sehari-hari baik itu untuk dalam urusan pendidikan dalam urusan politik, dalam urusan pemajuan kebudayaan dan lain-lain,” ungkap Sukanta. Kehidupan Masyarakat Adat Kasepuhan tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan lingkungan dan hutanya sehingga komunitas ini mengenal praktek & bentuk pengelolaan alam yang lestari dan berkelanjutan dengan filosopi “Gunung Kayuan, Lamping Awian, Lebak Sawahan, Legok Balongan jeung Datar Imahan.” Filosopi ini mengandung makna bahwa Gunung merupakan tempat bertumbuhnya ragam jenis tanaman kayu-kayuan sehingga keberdaanya harus tetap lestari. Sedangkan lahan-lahan curam yang rawan longsor ditanami beragam jenis bambu yang diyakini mampu menahan longsor, lahan-lahan landai dibawah bukit dijadikan sawah sebagai sumber pangan, sedangkan cekungan-cekuan air dijadikan kolam dan lahan-lahan datar dijadikan tempat bermukim. pola pengelolaan sumber daya alam seperti ini diyakini dapat hidup selaras dan berdampingan dengan alam. Di kesempatan yang sama, Dewan AMAN Nasional (DAMANAS), region Jawa Ugis Suganda Amasputra sekaligus Dewan Pendiri Sabaki menjelaskan bahwa, peranan penting AMAN sebagai organisasi yang memayungi perjuangan Masyarakat Adat Nusantara di dalam mewujudkan pengembalian wilayah adat melalui pemetaan wilayah adat yang terperinci. “Berbicara masalah peran AMAN, terutama sebagai organisasi di tingkat nasional tetentunya harus memberikan kontribusi atau memfasilitasi berbagai kepentingan yang ada di komunitas, kita sebagai anggota. Jadi saya sendiri sebagai, jangankan sekarang sebagai anggota Damanas ya, kenapa kita dari awal sebagai pendiri AMAN, bagaimana caranya komunitas AMAN memiliki payung hukum baik di tingkat daerah maupun ditingkat pusat, alhamdullilah kita sekarang, masalah pemetaan sudah di fasilitasitapi secara global,“ jelas Ugis. Lebih lanjut Ugis menjelaskan masih banyak wilayah komunitas adat yang masih belum terpetakan secara terperinci, karena masih tumpang tindih dengan wilayah taman nasional. Masalah ini harus segera diselesaikan, karena pemetaan wilayah adat merupakan alat perjuangan untuk mendapatkan pengakuan wilayah adat dari pemerintah, seperti pencapaian yang sudah diraih oleh komunitas adat karang. Eka Hindrati-Infokom PB AMAN

Writer : Eka Hindrati | Jakarta