Kongres Masyarakat Adat Nusantara I: Gugatan Masyarakat Adat Nusantara untuk Negara Indonesia
17 Juni 2019 Berita Jacob Siringoringo
Jakarta, www.aman.or.id-Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) I merupakan titik balik perjuangan gerakan Masyarakat Adat Nusantara. Kesempatan ini langsung dimanfaatkan Masyarakat Adat setahun setelah tumbangnya rezim otoriter Presiden Soeharto. Era reformasi menjadi pintu pembuka periode demokrasi di Indonesia. Selama tanggal 5 sampai 22 Maret 1999, Masyarakat Adat Nusantara menggelar pertemuan yang dikenal sebagai KMAN. Kongres I tersebut diikuti 123 orang perwakilan Masyarakat Adat dari seluruh nusantara. Kongres ini kelak mencatat sejarah bagi gerakan perjuangan Masyarakat Adat Nusantara, di antaranya dengan dideklarasikannya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada 17 Maret 1999. AMAN merupakan organisasi kemasyarakatan (ormas) yang beranggotakan komunitas-komunitas Masyarakat Adat. Saat ini, dalam usinya yang genap 20 tahun, AMAN memiliki anggota 2366 komunitas. KMAN I diselenggarakan bukan tanpa rencana. Pentingnya penyelenggaraan KMAN sudah disadari dalam dekade 90-an. Sebanyak 13 jaringan ORNOP sudah bekerja sama secara sporadis menangani berbagai kasus konflik ulayat adat yang selalu mendera Masyarakat Adat. Jadi sebelum pelaksanaan kongres terlebih dahulu di daerah-daerah dilakukan konsolidasi, termasuk di dalamnya untuk penentuan peserta kongres dari wakil-wakil Masyarakat Adat setiap provinsi. Masyarakat Adat yang berkongres didapati mengalami nasib serupa. Senasib sepenanggungan dari Papua hingga Aceh. Laporan KMAN 1999 mencatat: “Hampir seluruh juru bicara menyampaikan terjadinya penghancuran lembaga adat di seluruh pelosok nusantara sebagai akibat dari pemaksaan (Unifikasi) konsep desa sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Permasalahan lain yang umum terjadi adalah perampasan hak-hak masyarakat atas sumberdaya alam dengan penerapan konsep Tanah Negara (UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960) dan Hutan Negara (UU Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967). Dengan kedua konsep ini, maka tanah adat berserta isinya, yaitu hutan yang tumbuh di atasnya dan bahan tambang yang terkandung di dalamnya, diambil-alih penguasaannya oleh negara secara sepihak. Tanah negara dan hutan negara oleh pemerintah diterjemahkan menjadi milik pemerintah yang hak pengelolaannya diserahkan ke pihak lain dalam berbagai bentuk seperti Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan.”
Karena itulah, Masyarakat Adat berembuk menyuarakan pentingnya mendesak negara untuk mengakui hak-hak Masyarakat Adat. Pesan tegas dari Masyarakat Adat pun sangat lantang berbunyi yaitu, Masyarakat Adat sudah lama ada jauh sebelum negara (Republik Indonesia) berdiri. Di situ dikatakan, bahwa Masyarakat Adat memiliki kedaulatan atas nasibnya sendiri, bagaimana mereka bebas mengelola potensi sumber daya alamnya, bebas mengekspresikan budayanya, bebas melaksanakan ritual dan adat istiadatnya. Masyarakat Adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat. Selama tiga dekade, rezim Orde Baru merampas hak-hak Masyarakat Adat. Tidak hanya secara fisik, tetapi juga wilayah adat atau potensi sumberdaya alam yang dirampas, identitas Masyarakat Adat pun turut dihancurkan oleh negara. Dengan penerapan unifikasi melalui UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, akar Masyarakat Adat pun turut dicerabut. Selain itu, peraturan yang mencatumkan lima (5) agama resmi (Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu dan Budha) turut memaksa Masyarakat Adat memeluk salah satu agama ini, dan mereka “dipaksa” meninggalkan dan menanggalkan agama leluhur mereka. Pada pokoknya KMAN I bertujuan menggugat posisi Masyarakat Adat terhadap negara. Posisi ini harus ditata ulang. Sebab pengingkaran terhadap kedaulatan Masyarakat Adat dengan sendirinya melemahkan negara. Kini gerakan Masyarakat Adat Nusantara dan AMAN itu sendiri sudah dua dekade. Namun, konflik masih terus dialami Masyarakat Adat. AMAN mencatat sebanyak 262 jiwa hingga saat ini menjadi korban konflik antara Masyarakat Adat melawan perusahaan. Hal ini diakibatkan oleh absennya negara di tengah-tengah Masyarakat Adat. Payung hukum untuk Masyarakat Adat, yakni RUU Masyarakat Adat juga tidak kunjung disahkan. Pemerintah belum menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah kepada DPR RI selaku inisiator. Akibatnya, hingga saat ini konflik masih terus terjadi di wilayah adat. Jakob Siringoringo-Infokom PB AMAN