Delegasi Bawa Capaian-capaian AMAN di Forum Permanen PBB
23 April 2019 Berita Jakob SiringoringoJakarta (23/4/2019), www.aman.or.id - Keikutsertaan AMAN dalam Forum Permanen tahun ini, sama seperti tahun-tahun sebelumnya, akan menunjukkan capaian-capaian AMAN. Capaian-capaian tersebut merupakan jalan utama bagi penyelesaian persoalan-persoalan yang dihadapi Masyarakat Adat.
Berbagai capaian tersebut sebagaimana dituturkan Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN: pertama, Indonesia untuk urusan Masyarakat Adat dianggap cukup maju karena hanya di Indonesia yang ada organisasi Masyarakat Adat yang levelnya nasional, yaitu AMAN. Kedua, sebagai bagian dari capaian Masyarakat Adat di Indonesia, hal itu dapat ditunjukkan dengan angka-angka.
“Angka-angka yang bisa kita lihat itu misalnya ada 10 juta hektar peta wilayah adat yang sudah diterima oleh pemerintah yang akan segera dimasukkan sebagai bagian dari Satu Peta Indonesia (One Map Policy),” katanya.
Kemudian dari instrumen-instrumen yang terkait dengan hutan dan perubahan iklim, pemerintah Indonesia menyebut Masyarakat Adat dalam Nationally Determined Contributions/NDC-nya. Juga dalam instrumen-instrumen rencana kerja pemerintah terkait dengan REDD itu, di dalamnya Masyarakat Adat sangat kuat sekali.
Rukka lanjut mengatakan bahwa AMAN sudah memiliki 70 Perda Masyarakat Adat, SK-SK Bupati tentang Masyarakat Adat; AMAN juga sudah mempunyai Perdes, badan-badan ekonomi, dan sekolah-sekolah adat.
“Kita bahkan telah menunjukkan bahwa nilai ekonomi wilayah adat itu cukup besar jika dikelola dengan baik. Ini adalah kontribusi Masyarakat Adat, dan secara langsung itu mengangkat Indonesia di mata internasional. Jadi bukan hanya untuk Masyarakat Adat, tetapi juga akan mengangkat nama besar Indonesia di tingkat dunia terkait Indigenous Peoples,” terangnya.
Tema besar Forum Permanen tahun ini bicara tentang pengetahuan tradisional dan bagaimana pengetahuan itu dapat terus diwariskan dari generasi ke generasi; juga bagaimana itu diproteksi. Perlindungan dan pengetahuan untuk memastikan tradisi akan dapat terus diwariskan tidak terlepas dari perlindungan Masyarakat Adat secara keseluruhan. Perlindungan hak-hak Masyarakat Adat atas tanah, wilayah, sumber daya, pengetahuan dll.
Terkait traditional knowledge, banyak sekali catatan AMAN yang bisa berkontribusi terhadap sesi sehubungan dengan tema khusus tahun ini. Misalnya, bagaimana pengetahuan Masyarakat Adat dalam memproduksi kain-kain tradisional/tenun dengan menggunakan pewarna alami. Hal tersebut adalah pengetahuan, keahlian-keahlian yang dimiliki oleh Masyarakat Adat dan hanya akan terus ada ketika hutannya, buminya itu tetap bisa menghasilkan pewarna alam, benang, dan kapas.
“Itulah yang disebut dengan traditional knowledge. Lalu bagaimana menjaga keahlian itu terus ada, tidak hilang.”
"Di AMAN selain kita bicara tentang tenun, kita juga punya gerakan anak-anak muda yang pulang kampung. Pulang kampung--mereka menyebutnya, memelihara, mengelola, dan menjaga wilayah adat. Gerakan ini bentuknya adalah menggali kembali sejarah, kemudian memastikan sejarah itu diikuti dan diketahui oleh semua termasuk oleh generasi berikutnya yaitu anak-anak kecil, sehingga saat ini muncullah yang disebut dengan sekolah-sekolah adat yang difasilitasi dan digerakkan oleh anak-anak muda, laki-laki dan perempuan,” lanjut Rukka.
Lebih lanjut ia menyampaikan, saat ini AMAN sudah memiliki 44 sekolah adat di berbagai pelosok nusantara. “Sekolah adat ini exceptional. Ia luar biasa dan anak-anak muda sangat semangat. Sekolah adat itu bertumbuh seperti jamur di musim hujan. Hingga saat ini masih banyak usulan-usulan sekolah adat untuk difasilitasi oleh Yayasan Pendidikan Masyarakat Adat Nusantara/YPMAN untuk dikembangkan lagi.”
Selain itu, ia juga menegaskan bahwa AMAN saat ini juga kembali menggalakkan kuliner nusantara.
“Masa orde baru adalah masa di mana kita dipaksa untuk percaya bahwa makanan dari luar itu adalah makanan yang lebih baik dari makanan kita. Kita dipaksa tidak menyukai makanan kita sendiri dan kemudian perlahan-lahan melupakannya. Tapi ternyata dari gerusan pemaksaan itu, masih banyak yang bertahan. Ada juga yang sudah habis. Tapi yang masih bertahan inilah yang kita gunakan sebagai sebuah kekuatan baru untuk mengatakan bahwa ini loh makanan kita dan lebih sehat karena ini diproduksi dari wilayah adat sendiri,” katanya.
Makanan nusantara itu bersumber dari tanaman yang kita tanam sendiri dan rasanya beraneka ragam. Macam-macam masakan dari pelosok ujung paling timur sampai yang paling barat, utara sampai selatan, makanannya beraneka ragam. Bukan hanya itu, makanan nusantara juga adalah wujud kebhinnekaan sebagaimana diikrarkan para pendiri bangsa bahwa Indonesia adalah bhinneka tunggal ika.
Dengan demikian, menjaga makanan nusantara adalah menjaga Indonesia, menjaga bhinneka tunggal ika, sekaligus memastikan bahwa kita tidak akan kelaparan.
Saat ini sistem produksi pangan di kampung-kampung/wilayah-wilayah adat terus diperkuat supaya Masyarakat Adat juga terus mampu untuk memberi makan / membiayai dirinya sendiri, komunitasnya dan juga berbagi makanan dengan orang-orang di sekitar, di luar kampung.
“Hal ini juga akan menjadi bekal yang akan kita sampaikan di Forum Permanen tahun ini. Kebanyakan yang menggerakkan adalah ibu-ibu.”
Terkait kedaulatan pangan, Sekjen AMAN menegaskan bahwa Masyarakat adat tidak mengenal kata kelaparan.
“Yang ada adalah kita diletakkan dalam situasi di mana kita menjadi kelaparan dengan cara wilayah adat kita diambil. Kita tidak bisa lagi memproduksi pangan sendiri, kita dilarang berladang. Padahal semua itu ada hubungannya dengan sistem pengetahuan, ritual-ritual adat. Dampaknya ketika wilayah adat dirampas, untuk makan pun kita harus beli nasi/ beras. Beli beras…biasanya kalau uang sudah tidak ada, kita terpaksa jadi budak di tempat orang lain, buruh di perusahaan atau bahkan jual tanah supaya bisa tetap makan”.
Jakob Siringoringo