Jakarta (24/6/2019), www.aman.or.id - Kami, perempuan adat se-Nusantara menyadari bahwa hidup kami telah dibelenggu, dilecehkan, dan bahkan dihinakan oleh berbagai kebijakan serta hukum nasional yang dikeluarkan oleh negara. Sementara itu, di antara hukum adat yang masih berlaku di tengah-tengah kami juga terdapat nilai-nilai yang cenderung merendahkan posisi kami.

Demikian pembuka “Deklarasi Perempuan Adat Nusantara: 12 Gugatan Perempuan Adat” yang ditandatangani oleh Murniado sebagai ketua dan Sari, sekretaris pada 18 Maret 1999 di Jakarta, saat KMAN I.

Deklarasi tersebut dihasilkan setelah sebelumnya diadakan Sarasehan Perempuan Adat. Peserta yang berasal dari 11 provinsi (Aceh, Sumut, Riau, Lampung, DKI Jakarta/Betawi, Sulut, Sulteng, Sulsel, NTB, NTT, dan Papua) membagi kelompok ke dalam 4 bidang permasalahan. Bidang-bidang tersebut yaitu lingkungan, HAM, otonomi daerah, dan hukum adat.

Pertama terkait lingkungan: perusahaan tambang, HPH, kelapa sawit dan industri besar lainnya menimbulkan banyak dampak negatif. Dampak tersebut seperti pencemaran lingkungan yang mengganggu kesehatan perempuan, merebaknya kawin kontrak, perampasan atas tanah Masyarakat Adat, pemerkosaan terhadap perempuan, semakin sempitnya lahan pertanian, serta semakin beratnya peran ganda yang harus dijalani perempuan adat.

Kedua soal HAM: tim perumus HAM mengidentifikasi ada 4 masalah penting yang dihadapi perempuan adat, yakni pemaksaan program KB, praktik pelecehan dan perkosaan, beredarnya minuman keras dan obat terlarang, penggusuran ekonomi perempuan adat dan tersisihkannya politik perempuan adat.

Ketiga: tim perumus bidang otonomi daerah menyimpulkan bahwa akibat sistem pemerintahan yang sentralistik, Masyarakat Adat banyak dirugikan. Misalnya, sumber daya alam yang selama ini menjadi tumpuan hidup Masyarakat Adat dieksploitasi oleh pihak luar. Sementara itu, bila Masyarakat Adat ingin memanfaatkan sumber daya alamnya, mereka dianggap sebagai perambah hutan.

Perihal yang keempat, yakni hukum adat, mereka mencatat bahwa masih terdapat hukum adat yang mendiskriminasikan perempuan. Sementara itu, dengan ditetapkannya hukum nasional, maka terjadilah dualisme hukum. Akibatnya banyak kalangan Masyarakat Adat yang bingung ketika harus menerapkan aturan, apakah harus memakai hukum nasional atau hukum adat.

Selain keempat pokok bahasan tersebut, mereka juga menyoroti masalah ekonomi dan politik.

Bidang ekonomi, masalah yang muncul adalah praktik penjiplakan hasil karya perempuan adat dan praktik penggusuran ekonomi Masyarakat Adat. Karena itu, tim perumus menyatakan perlu memikirkan adanya perlindungan hak paten atas hasil karya perempuan adat.

Kemudian mengenai politik, perempuan adat menyerukan perlunya diupayakan adanya usaha untuk menggugat lembaga adat agar tidak bersikap diskriminatif terhadap perempuan dalam soal pengambilan keputusan.

Semua hasil sarasehan menunjukkan bagaimana perempuan adat menghadapi diskriminasi tidak hanya soal kekerasan domestik. Sebagaimana umumnya “ibu”, mereka memperhatikan segala aspek terutama mereka bergerak dari hal-hal dasar dan konkret.

Deklarasi Perempuan Adat dengan gamblang bersuara bahwa hak-hak Masyarakat Adat, perempuan adat harus dihormati dan diakui. Mereka menekankan: menolak segala bentuk pengurasan SDA melalui HGU, HTI, tambang, Taman Nasional yang berakibat pada hilangnya lahan Masyarakat adat, yang berkaitan erat dengan keperluan menopang rumah tangganya.

Kemudian juga menolak semua kebijakan dan hukum yang merendahkan martabat dan merugikan kehidupan perempuan adat.

Dengan demikian, mereka berseru untuk membentuk Jaringan Perempuan Adat Nusantara; membuat draft hukum adat nasional untuk disampaikan kepada MPR RI dengan melibatkan perempuan adat nusantara; menciptakan perguruan tinggi adat nusantara.

Berikut adalah nama-nama peserta waktu itu: Farida, Nani, Seny, Nai Sinta, Yati, Rosiana, Ritha, Miarah, Rohana, Lina, Ideng Putri, Cempalek, Thenmi, Heny, Welly, Dhani, M. A Issman Zamzam, Den Upak R. Z., Tanti, Abda, Sariim Sembor, Kansius, Devi, Murniado, Nyami, Yeti, Lili, Rukmini Rizal, Inten Bako, Nanda, Murniati, T. Alisabana, Metu A.

Jakob Siringoringo

Writer : Jakob Siringoringo | Jakarta