Jakarta, www.aman.or.id - Penghancuran Masyarakat Adat di seluruh Indonesia dilakukan negara secara sistematis dan terstruktur. Kebijakan negara yang fokus pada pembangunan mengakibatkan Masyarakat Adat semakin jauh dan tergusur dari wilayah adatnya. Realitas sosial ini membangunkan hati nurani Selester untuk memperjuangkan hak-hak Masyarakat Adat bersama AMAN beserta pendukungnya.

Selester Saguruwjuw, nama aslinya, salah satu pendiri AMAN, asal Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Kata Seles sebelum KMAN 1999, perjuangan Masyarakat Adat masih berwajah kedaerahan, yang mengakibatkan kurang maksimalnya advokasi-advokasi yang dilakukan di komunitas-komunitas.

Tiga tahun lamanya, 1983-1986, duduk sebagai sekretaris desa di Madobog, kelahirannya. Kelak dia menjadi kepala desa dari 1991 sampai 1999 sebelum akhirnya mengundurkan diri dua tahun sebelum masa jabatannya yang kedua kali berakhir.

Seles mengundurkan diri karena ia melihat ketidakadilan dan intervensi pembuat kebijakan dari atas kedudukan administrasinya yang lantas menyulut perlawanan dalam hatinya. “Sebelum negara mengakui keberadaan hak-hak Masyarakat Adat, selama itulah keberpihakan dan perjuangan Masyarakat Adat terus bergelora,” katanya.

Seles cerita, perkenalannya dengan gerakan Masyarakat Adat berawal dari pertemuannya dengan sejumlah aktivis lingkungan macam Kortanius Sabeleake dan Rahmadi dari Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM). Dia bilang pertemuan dan diskusi dengan aktivis agraria dan lingkungan, menyadarkannya bahwa gerakan Masyarakat Adat merupakan ujung tombak penyelamatan lingkungan, sekaligus membebaskan Masyarakat Adat dari kemiskinan.

YCMM aktif melakukan advokasi kasus-kasus konflik agraria yang melibatkan Masyarakat Adat di Kepulauan Mentawai. Komitmen Seles terhadap gerakan masyarakat adat nampak dari peran dan keterlibatannya untuk membentuk Aliansi Masyarakat Adat Peduli Mentawai (AMA-PM).

“Terlibat dalam organisasi Masyarakat Adat merupakan bagian dari keberpihakan saya di tengah ketidakberpihakan negara. Saya berjuang karena saya tidak mau melihat anak cucu saya menderita karena wilayah adat semakin berkurang dan hilang,” tegasnya.

Pada tahun 2011, Aliansi Masyarakat Adat Peduli Mentawai melebur menjadi AMAN Daerah Kepulauan Mentawai. Dalam tahun yang sama ketika musyawarah pembentukan AMAN Daerah Kepulauan Mentawai, Seles terpilih menjadi wakil ketua Dewan AMAN Daerah /DAMANDA. Lalu di 2016, ia juga kembali duduk dalam posisi serupa. Selain di AMAN Daerah Kepulauan Mentawai, Seles juga menjabat sebagai dewan penasihat Yayasan Citra Mandiri Mentawai.

Disisi lain, Seles menceritakan bahwa tergerusnya budaya dan adat istiadat di komunitasnya dimulai sejak tahun 1958. Menurutnya waktu itu ada kesan pemaksaan memilih 3 agama (Islam, Katholik, Kristen) yang diakui oleh negara, sehingga agama leluhur yaitu Arat Sabulungan lambat laun terancam. Karena mereka tidak mau memilih 3 agama tersebut, Masyarakat Adat Mentawai pun pergi dari kampung dan pindah ke dalam hutan agar “tidak terusik”.

Selain itu masuknya perusahaan-perusahaan menambah runyam kehidupan Masyarakat Adat. Akses Masyarakat Adat ke dalam hutan semakin terbatas, sementara kehidupan mereka di komunitas bersumber dari hutan. Efeknya, identitas Masyarakat Adat di komunitas mulai hilang. Uma secara fisik semakin langka, benda-benda adat sudah banyak hilang dan dimusnahkan, dan yang paling miris aturan-aturan adat, kearifan lokal, dan pengetahuan tradisional yang diberikan oleh nenek moyang sudah semakin banyak tidak diketahui oleh masyarakat.

Dari data yang ditemukan oleh Seles dan rekan seperjuangan, di Kepulauan Mentawai, tercatat seluas 491.917,29 hektar (82 %) sebagai kawasan hutan negara. Sedangkan, areal penggunaan lain (APL) hanya 18 persen. Seles mengatakan besarnya perbandingan antara hutan negara dan APL ini adalah bukti ketidakadilan negara. Akhirnya, akses sumber daya alam sebagai kehidupan Masyarakat Adat terkangkangi.

Seles berkata kalau dulunya dia punya cita-cita ingin melihat terbentuknya satu wadah di negara ini yang mengakomodir perjuangan Masyarakat Adat. Seles mengartikan AMAN sebagai wadah perjuangan Masyarakat Adat yang independen yang dapat membela, melindungi, dan melayani komunitasnya.

Ia mengakui AMAN telah melakukan kerja-kerja nyata bagi perjuangan pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat. Hal itu diwujudkan dengan keluarnya Putusan MK 35 tentang hutan adat bukan hutan negara.

Ada juga penetapan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Uma Masyarakat Hukum Adat (PPUMHA) di Kabupaten Kepulauan Mentawai.

Tidak hanya itu, AMAN Daerah Kepulauan Mentawai terus berjuang sampai akhirnya di 2019 ditetapkan Peraturan Bupati No 12 Tahun 2019 tentang Implementasi Perda No 11 Tahun 2017. Gayung bersambut dengan diterbitkannya SK Bupati Nomor 162 Tahun 2019 tentang Panitia Penetapan PPUMHA, tiga orang pengurus harian AMAN Daerah Kepulauan Mentawai masuk dalam anggota Panitia Penetapan PPUMHA.

Perjuangan Masyarakat Adat Kepulauan Mentawai, dia bilang, masih panjang hingga pada penetapan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat serta sampai kepada penetapan Hutan Adat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Penulis: Togi
Editor: Lasron P. Sinurat

Writer : Lasron P. Sinurat | Jakarta