Jakarta (11/9/2019), www.aman.or.id - Pejuang masyarakat adat bukan hanya tokoh yang memperjuangkan wilayah adat, tapi juga yang menjaga lingkungan dan kearifan adat agar tak direbut pihak lain. Itu sesungguhnya lebih sulit. Dan Eliza Kissya salah satu contoh dari sosok yang sulit itu.

Eliza Kissya atau biasa dipaggil Om Eli, adalah Kewang atau Pemangku Loka (kepala adat) masyarakat adat Haruku, di Pulau Haruku, Maluku. Om Eli sudah 40 tahun memangku jabatan itu. Keberhasilannya menjaga kearifan adat dan lingkungan Haruku membuat ia menerima banyak penghargaan, baik dari dalam maupun luar negeri.

Tahun 1985, Om Eli menerima Hadiah Kalpataru. Tahun 2010 ia memperoleh penghargaan Coastal Award. Ia juga pernah memperoleh penghargaan sebagai tokoh inspiratif dalam penanggulangan bencana dari BNPB (2012). Om Eli juga penerima penghargaan Anugerah Kebudayaan. Semua itu karena jasa dan perjuangannya mempertahankan lingkungan dan adat Haruku.

Sasi Lompa

Om Eli selalu hadir dalam pertemuan atau perhelatan besar AMAN. Meski sudah berusia 70 tahun, sosoknya terlihat sehat dan gagah, terlihat jauh lebih muda dari usianya. Ciri lain, ia suka menyandang alamat musik ukulele, dan memainkannya pada saat senggang, dengan syair-syair pantun ciptaan sendiri.

Sebagai seorang Kewang, Om Eli mengemban tugas agar ekosistem laut dan hutan Haruku tetap terjaga. Salah satu kearifan adat yang membuat Om Eli terkenal adalah tradisi Sasi Lompa. Sasi Lompa adalah larangan masyarakat untuk mengambil ikan lompa (trisina baelama), sejenis ikan sarden, hingga ditetapkan satu hari untuk ritual Buka Sasi.

Buka Sasi adalah saat seluruh masyarakat negeri Haruku tanpa terkecuali dapat menikmati hasil panen ikan lompa. Menurut Om Eli, Sasi Lompan bertujuan menjaga kualitas dan populasi laut, sekaligus usaha membagi hasil secara adil kepada seluruh masyarakat.

Setiap Buka Sasi bisa menghasilkan 40 ton ikan. Ikan hasil Buka Sasi itu tidak dijual. Setiap anggota masyarakat adat Haruku kemudian mengelola, mengeringkan dan menyimpan di rumah masing-masing, sehingga tidak merasakan kehabisan lauk pauk. “Dalam pembagian hasil panen ikan lompa, janda dan anak yatim piatu kita utamakan,” jelas Om Eli.

Bagaimana menentukan waktu Buka Sasi itu? “Kita melihat tanda-tanda alam. Biasanya pada bulan gelap, bulan baru jadi, pada saat pasang tertinggi di pagi hari, dan pasang terendah pada pukul sepuluh,” ujar Om Eli menjelaskan.

Mencemaskan Perubahan

Selain memperoleh banyak penghargaan, keberhasilan menjaga ekosistem laut dan hutan Haruku juga membuat Om Eli juga sering diundang menjadi pembicara dalam pertemuan yang berkaitan dengan penyelamatan lingkungan dan kearifan adat. Kiprah Om Eli juga juga membuat Haruku banyak dikunjungi para peneliti. “Hampir tiap bulan kami kedatangan tamu. Ada yang sekedar ingin jalan-jalan dan meneliti tentang Sasi Lompa. Peneliti dari luar negeri yang paling banyak,” ungkap Om Eli.

Selain menjaga lingkungan laut dan menetapkan Buka Sasi, Om Eli juga melakukan banyak hal untuk melestarikan penyelematan lingkungan Haruku. Di rumahnya Om Eli mendirikan rumah Kewang Haruku, yaitu rumah untuk tempat untuk melakukan pendidikan tentang lingkungan. Di sebelah rumah itu ada perpustakaan berisi berbagai macam buku tentang lingkungan. Perpustakaan ini dibangun ditujukan untuk anak-anak yang ingin belajar tentang bagaimana memelihara lingkungan sekitar mereka.

Salah satu beban pikiran Om Eli, karena ketertarikan anak-anak muda Haruku untuk belajar tentang kearifan lokal dalam menjaga lingkungan justru lebih banyak datangnya dari luar Maluku. “Setelah beta tidak ada lagi, belum tahu siapa yang akan meneruskan perjuangan ini. Sementara anak muda sekarang tidak ada ketertarikan dalam menjaga lingkungan,” keluh Om Eli.

Kecemasan lain adalah perubahan alam dan iklim yang semakin ekstrim dan mencemaskan, sementara pemerintah tampak kurang serius menanggulangi perubahan itu. “Pemerintah-pemerintah kita mengatasi perubahan iklim dengan menanam pohon di atas spanduk,” ujar Om Eli dengan nada satiris bercampur sedih.

Bagaimanapun, Om Eli dan masyarakat adat Haruku adalah contoh dan teladan, bagaimana kearifan lokal dan adat bisa menyelamatkan lingkungan.

(Nestor Tambun)

Writer : Nestor Tambun | Jakarta