AMAN Tolak Skema Perdagangan Karbon di COP28
07 Desember 2023 Berita Sepriandi dan Apriadi GunawanOleh Sepriandi dan Apriadi Gunawan
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyatakan tegas menolak skema perdagangan karbon. Sebaliknya, AMAN berpegang pada prinsip non carbon market sebagaimana diatur dalam pasal 6.8 Paris Agreement.
Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan Hak Asasi Manusia AMAN, Muhammad Arman mengatakan penolakan ini didasarkan pada landasan moral-etik bahwa skema perdagangan karbon adalah solusi palsu dalam mengatasi perubahan iklim.
“AMAN tegas menolak perdagangan karbon,” kata Arman saat tampil dalam diskusi panel Following IPs and Local Communities Leadership for Intersectional Climate Action di sela kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi Conference of the Parties (COP) di Dubai pekan lalu.
Konferensi Tingkat Tinggi Conference of the Parties (COP) merupakan pertemuan para pihak pengambil keputusan tingkat tinggi. Konferensi ini membahas seputar masalah perubahan iklim atau yang terkait.
COP yang merupakan bagian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Perubahan Iklim ini mengadakan pertemuan tahunan. Tahun ini merupakan pertemuan (KTT COP28).
KTT Iklim COP28 digelar di di Dubai Expo pada 30 November-12 Desember 2023. Pada kesempatan ini, AMAN berkesempatan ikut dalam kegiatan diskusi COP28.
Arman menyebut pada diskusi ini, AMAN diminta perspektifnya mengenai pendanaan Iklim, transisi energi dan karbon dalam hubungannya dengan perubahan iklim. Ia berpandangan bahwa diskusi ini sangat baik dalam membangun pandangan yang sama terhadap ancaman dari perdagangan karbon ini.
Menurut Arman, perdagangan karbon kerap melibatkan korporasi yang rakus terhadap lahan. Dan, mengancam keberadaan Masyarakat Adat yang rata-rata tinggal di kawasan pegunungan. Termasuk dalam transisi energi, masih dilaksanakan oleh korporasi yang rakus lahan dan merampas wilayah Masyarakat Adat.
“Ini bahaya bagi kelangsungan hidup Masyarakat Adat ke depan,” tandasnya.
Arman mengatakan pemerintah harus mengambil tindakan tegas untuk tidak lagi memberikan izin konsesi ekstraktif kepada korporasi. Jika penerbitan izin konsesi ekstraktif masih terus dilakukan, maka pembongkaran fosil akan terus berlangsung. Hutan-hutan akan berubah menjadi konsesi-konsesi.
Ia mencontohkan Melchor Group menandatangani kerjasama dengan PT Talisan Emas sebagai pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) atau yang saat ini disebut PBPH-HT seluas 54.000 hektar di Kepulauan Aru, Maluku.
Arman menambahkan lahan hutan seluas 591,957 hektar di kepulauan Aru juga telah dikapling menjadi projek karbon oleh Melchor Group dengan nama Cendrawasih Aru Projec. Di Merauke, sebutnya, Melchor Group juga memiliki proyek karbon. Melchore membangun kerjasama dengan Medco Group sebagai pemegang izin Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri seluas 170.000 hektar.
Dampak Perubahan Iklim
Arman menerangkan perubahan iklim yang terjadi sekarang ini disebabkan pemanasan global, dan itu memiliki dampak langsung bagi Masyarakat Adat. Menurutnya, dampak tersebut banyak dirasakan oleh Masyarakat Adat di kampung-kampung seperti terjadi kekeringan masal, banjir, tanah longsor.
Ia menyatakan situasi yang disebabkan oleh perubahan iklim ini seringkali berdampak pada turunnya produktivitas lahan-lahan pertanian yang ada di wilayah adat seperti gagal panen. Akibatnya, Masyarakat Adat terpaksa meninggalkan wilayah adat untuk bermigrasi ke kota mencari sumber penghidupan baru.
“Ini persoalan mendasar bagi Masyarakat Adat,” ungkapnya.
Karenanya, sebut Arman, hak-hak Masyarakat Adat yang didasarkan pada pemenuhan Hak Asasi Manusia dan hak-hak khusus Masyarakat Adat harus dipenuhi. Sehingga, pemerintah harus segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Kegagalan Proyek Konservasi
Arman mengatakan berbagai kegagalan proyek konservasi yang diklaim pemerintah sebagai mitigasi perubahan iklim sebaiknya dihentikan. Tidak sebaliknya, pemerintah enggan mengakui dan melindungi hak rakyat atas wilayah adat atau wilayah kelolanya. Kemudian, pemerintah juga enggan memberikan penghormatan terhadap praktik dan pengetahuan lokal Masyarakat Adat dan komunitas lokal dalam melindungi hutan juga biodiversitas.
Pada dasarnya, menurut Arman, hal ini merupakan kewajiban bagi pemerintah sebab Mahkamah Konstitusi telah memandatkan melalui MK 35/2012 untuk negara mengakui serta melindungi wilayah adat di wilayah hutan negara agar tidak ada lagi kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat.
Arman menyatakan sudah seharusnya pemerintah mengakui kegagalan dalam melindungi hutan dan mengatasi krisis iklim dengan cara mempercepat dan memperluas pengakuan wilayah adat dan wilayah kelola rakyat. Hutan dan biodiversitas yang tersisa hari ini terbukti selamat sebab berada di wilayah adat dan wilayah kelola rakyat.
“Bukan hanya itu saja, di tempat-tempat yang lain, di mana hutan telah dirusak oleh perusahaan-perusahaan logging kayu dan hutan tanaman lainnya, justru Masyarakat Adat yang memulihkan kembali ekosistem hutan tersebut,” ujarnya.
Sekilas Tentang COP
Conference of The Parties atau COP adalah pengambil keputusan tertinggi dari PBB tentang Perubahan Iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). CPO diresmikan dan ditandatangani pada tahun 1992 selama KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil.
Tugas utama COP adalah untuk meninjau komunikasi nasional dan inventarisasi emisi yang disampaikan oleh para pihak. Berdasarkan informasi ini, COP menilai dampak dari langkah-langkah yang diambil oleh para pihak dan kemajuan yang dicapai dalam mencapai tujuan akhir konvensi.
Pada saat KTT COP, para pemimpin dunia berkumpul untuk bekerja sama mencari solusi untuk mengatasi masalah perubahan iklim. Tercatat hingga saat ini, terdapat 198 pihak atau 197 negara ditambah Uni Eropa dalam konvensi ini, yang merupakan keanggotaan yang hampir universal.
COP mengadakan pertemuan setiap tahun, kecuali para pihak memutuskan sebaliknya. Pertemuan COP pertama diadakan di Berlin, Jerman pada bulan Maret 1995.
KTT COP untuk bernegosiasi dan menyepakati tindakan yang harus diambil untuk mengatasi perubahan iklim, membatasi emisi, dan menghentikan pemanasan global.
***
Penulis Sepriandi adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Bengkulu