Sekjen AMAN Ajak Koalisi Masyarakat Sipil Sukseskan Konferensi Tenure 2023
16 Oktober 2023 Berita Apriadi GunawanOleh Apriadi Gunawan
Sebanyak 28 organisasi Masyarakat Sipil, termasuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mulai menggelar Konferensi Tenurial Nasional ke III di Jakarta pada Senin, 16 Oktober 2023.
Konferensi Tenure yang berlangsung selama dua hari hingga 17 Oktober 2023 ini mengusung tema “Mewujudkan Keadilan Sosial-Ekologis Melalui Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam”.
Konferensi Tenurial 2023 merupakan kesinambungan dari dua konferensi sebelumnya pada 2011 di Lombok dan 2017 di Jakarta.
Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolingi mengajak seluruh peserta yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk mensukseskan pelaksanaan Konferensi Tenure ini. Rukka mengatakan konferensi tenure ini miliki arti penting untuk memastikan kita rakyat Indonesia dan penduduk bumi punya wilayah-wilayah yang akan menjadi pertahanan kita saat terjadi krisis. Rukka menambahkan melalui konferensi ini, AMAN mengajak seluruh Koalisi Masyarakat Sipil untuk menyatukan pikiran dan energi guna bergandengan tangan untuk memastikan perubahan rezim yang akan terjadi nanti mengedepankan hak-hak Masyarakat Adat, petani, kaum miskin sebagai pusat dari kebijakan, bukan terus menerus dikorbankan.
Menurut Rukka, hal ini penting untuk diketahui oleh seluruh rakyat Indonesia, bahwa perubahan-perubahan kebijakan, kemunduran demokrasi yang terjadi saat ini, salah satu motivasi utamanya perampasan sumber-sumber agraria tidak berdiri sendiri. Rukka menyebut ada berbagai agenda di tingkat global yang ikut mempengaruhi kebijakan di Indonesia, sementara kita punya potensi untuk bisa berkontribusi terhadap pemulihan, termasuk pangan di kampung-kampung, termasuk energi di kampung, termasuk kekuatan ekonomi lokal di kampung.
“Justru (potensi) itu yang membuat kita bertahan ketika ada krisis,” kata Rukka dalam konprensi pers dengan wartawan jelang pelaksanaan Konferensi Tenurial di Jakarta pada Jum’at 13 Oktober 2023.
Rukka mengatakan kalau kita melihat persoalan yang terjadi di Indonesia, terkait sumber-sumber agraria, wilayah, tanah, semuanya itu tidak berdiri sendiri. Perubahan dan kemunduran yang kita alami tidak lepas dari perjanjian global yang kemudian menjadi tekanan kepada kita di Indoensia, khususnya tekanan itu akan banyak ke negara-negara yang punya sumber daya.
“Indonesia banyak sumberdaya, bagaimana bisa mengekstraksi sumberdaya yang kaya itu, dengan cara semurah mungkin, melemahkan perlindungan terhadap rakyatnya. Inilah yang sedang terjadi di Indonesia, khususnya dalam lima tahun terakhir,” ungkapnya.
Bagi Masyarakat Adat, kata Rukka, di tahun 2013 ada putusan MK 35 bahwa hutan adat bukan hutan negara. Artinya, ada kewajiban dari pemrintah untuk mengkoreksi kesalahan yang terjadi di masalah lalu, mengembalikan wilayah adat yang selama ini diklaim sebagai hutan negara.
Tapi, kata prosesnya panjang dan berbelit-belit. Sampai saat ini, angkanya masih dibawah 1,7 juta hektar. Padahal wilayah adat yang telah dipetakan 26 juta hektar, itu termasuk salah satu karena UU Masyarakat Adat tidak ada (belum disahkan).
Rukka menjelaskan Presiden Joko Widodo di tahun 2014 telah berjanji akan membentuk badan, lembaga permanen yang Indenpenn untuk Masyarakat Adat. Namun, janji tersebut kosong. RUU Masyarakat Adat sudah lebih satu dekade mangkrak di DPR, tidak disahkan sampai sejauh ini.
Justru yang terjadi, UU Cipta Kerja (cilaka) yang disahkan, kemudian ada berbagai UU yang mengalami revisi, juga terjadi pelemahan di berbagai lembaga negara.
“Masyarakat Adat pasca disahkannya UU Cipta Kerja seperti telanjang, tidak ada lagi perlindungannya. Sebelumnya, masih bisa kita menggunakan perangkat yang ada diberbagai UU, saat ini itu semua sudah dihilangkan,” paparnya.
Rukka menyebut ada 87 Undang-Undang yang telah dirubah di negeri ini, termasuk salah satunya itu yang membuat kekerasan terhadap Masyarakat Adat meningkat. Rukka mencontohkan kasus Seruyan di Kalimantan Tengah: tiga ditembak, satu meninggal dan dua kritis. Kasus Rempang di Kepulauan Riau, kemudian ada juga Masyarakat Adat yang terancam punah orang Tobelo Dalam di Halmahera, ada yang dihukum mati dan dihukum seumur hidup.
“Terus menerus (Masyarakat Adat) mengalami kriminalisasi,” katanya seraya menambahkan Masyarakat Adat di pulau Flores juga saat ini akan ditenggelamkan, dimana mereka sekarang sedang dikubur dengan berbagai instalasi tenaga listrik panas bumi, dimana itu akan menjadi pintu masuk dari tambang.
Tipping Point
Rukka menjelaskan saat ini, dunia menyadari bahwa kita berada pada tipping point atau titik kritis, dimana sudah terjadi peningkatan suhu bumi sehingga (katanya) pohon akan berhenti berfotosintesis. Itu artinya, tidak ada panen dan yang ada kelaparan.
Menurut Rukka, situasi ini harus dilakukan jalan keluarnya. Jalan keluar pertama adalah pasar karbon. Sayangnya, yang terjadi kemudian pasar karbon dberikan kepada perusahaan oleh pemerintah yang mendapatkan pembayarannya, sementara masyarakat dianggap tidak punya hak atas karbon.
Kedua, ada yang namanya Thirty by Thirty. Ditahun 2030, nantinya 30 persen dari seluruh permukaan bumi harus jadi wilayah konservasi. Artinya, wilayah terbaik di seluruh dunia saat ini dijaga.
Rukka menyebut hampir sekitar 80 persen biodeversity kita dijaga oleh Masyarakat Adat, itu justru akan ditambah dengan berbagai aktivitas program konservasi. Ironisnya, sekarang DPR sedang merevisi UU konservasi yang melemahkan posisi Masyarakat Adat yang berada di wilayah konservasi tersebut.
Kemudian, ada lagi transisi yang adil. Salah satunya adalah transisi energi. Rukka mengatakan kita semua sepakat bahwa kita ini harus berhenti menggunakan bahan-bahan fosil karena itu yang menyebabkan krisis iklim saat ini.
Maka, berlomba-lomba saat ini orang menyatakan jalan keluarnya mobil baterai. Di Indonesia, konon kabanya ada 80 persen yang memjadi bahan pembuat baterai. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melansir ada 7 lokasinya di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
Rukka mengatakan kita tidak anti pembangunan, tidak anti tambang. Tapi bagaimana caranya supaya kekayaan yang ada di wilayah adat itu bisa diberikan untuk Masyarakat Adat.
“Bukan dicuri, bukan dengan membunuh Masyarakat Adatnya,” kata Rukka.
***