Wawancara ini dilakukan oleh Perspektif Baru dengan Melda Wita Sitompul sebagai pewawancara dan Devi Anggraini, Ketua Umum PEREMPUAN AMAN sebagai narasumber. Wawancara ini diedit ulang oleh Dian Yanuardy dan dimuat ulang dalam tulisan ini sebagai sarana dokumentasi dan pendidikan PEREMPUAN AMAN) Devi Anggraini, lahir 26 Agustus 1971 di Pekanbaru, Riau. Ia telah menjadi bagian dari perjuangan masyarakat adat, khususnya perempuan adat, sejak di Riau selepas kuliah dengan sebuah organisasi bernama Riau Mandiri, pada tahun 1998. Awalnya, ia mendampingi Suku Sakai, Petalangan, yang terlibat sengketa tanah ulayat dan terancam tergusur oleh bisnis Hutan Tanaman Industri, yang dimiliki oleh Indah Kiat Pulp and Paper dan Riau Andalan Pulp and Paper. Sejak 1999, ia hadir dalam Kongres I AMAN sebagai pendamping mayarakat adat Talang Mamak. Masyarakat adat Talang Mamak hidup di buffer zone Taman Nasional Bukit Tiga puluh dan seringkali dilabeli sebagai tak beradab dan primitif. Masyarakat adat Talang Mamak saat itu memiliki wilayah adat yang terbatas karena dibatasi Taman Nasional dan memiliki akses terbatas pada layanan kesehatan dan pendidikan. Masyarakat adat Talang Mamak juga terancam oleh illegal logging yang disponsori oleh para elit pejabat di Provinsi Riau dan Nasional. Sejak itu, ia banyak terlibat membangun masyarakat adat di Riau dengan mendirikan AMAR (Aliansi Masyarakat Adat Riau) tahun 1999-2000 dan terus terlibat dengan perjuangan masyarakat adat di AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) hingga sekarang. Pada Temu Nasional II 2015, Devi Anggraini kemudian terpilih sebagai Ketua Umum PEREMPUAN AMAN periode 2015- 2020. Apa yang dimaksud PEREMPUAN AMAN? PEREMPUAN AMAN kependekan dari Persekutuan Perempuan Adat Nusantara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, salah satu organisasi sayap AMAN khusus untuk memfasilitasi perempuan adat. Apa sebenarnya filosofi awal dibentuknya PEREMPUAN AMAN?? Perempuan adat selalu tersingkir di dalam proses-proses pembangunan. Mereka selalu tidak mendapatkan ruang untuk menyampaikan suara, bahkan pengetahuan yang mereka sendiri secara terus menerus kembangkan. Jadi, organisasi ini dibentuk untuk menunjukkan martabat perempuan adat. Kemudian, bagaimana dia mendapatkan pengakuan, membangun martabat hidup, dan kehidupannya sendiri sebagai perempuan dan Perempuan Adat karena ini adalah dua hal yang berbeda, perempuan warga negara dan perempuan adat.
Ini yang kemudian mendasari kenapa perempuan adat membentuk organisasi ini. Diskriminasi yang dialami oleh perempuan adat telah membuat perempuan adat semakin jauh tersingkir, semakin tidak mendapatkan tempat di dalam proses-proses dialog perencanaan pemba- ngunan, bahkan sampai proses dalam pengambilan keputusan di tingkat kampung, apalagi negara.
Apa peran dan fungsi komunitas perempuan adat di komunitas adatnya. Apakah hanya sebagai perempuan di belakang layar atau sebenarnya ada sistem yang ternyata mereka punya porsi tertentu di komunitas mereka? Ini sesuatu yang kalau dideskripsikan secara umum tidak bisa karena setiap daerah punya kekhasan sendiri. Namun untuk PEREMPUAN�AMAN, kita mendeskripsikan apa fungsi dan peran perempuan adat adalah sebagai penjaga ketahanan hidup komunitasnya. Itu karena kalau kita lihat perempuan di dalam pengelolaan wilayah masyarakat adat pasti mengambil peran penting. Misalnya, menentukan apa saja yang dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan pangan baik yang ditanam sendiri maupun bagaimana mereka mengakses hutan dan lingkungan di sekitarnya untuk memanfaatkan hasilnya yang memastikan kehidupan keluarganya terjamin. Itu memastikan kehidupan komunitasnya bisa terpenuhi secara mandiri, itu peran pentingnya mereka, dan ada fungsi sosial lain yang diemban oleh perempuan adat tergantung pada komunitas adat yang mana. Perempuan adat merupakan penjaga ketahanan hidup di wilayah mereka masing-masing. Dalam menghadapi situasi di wilayah masing-masing pasti perempuan adat selalu didiskriminasikan. Apa yang perlu dilakukan agar perempuan adat dapat difasilitasi kebutuhannya? Sebenarnya tantangan terbesar yang dihadapi oleh perempuan adat adalah mereka selama ini memperjuangkan wilayah adat. Misalnya, Opung Putera atau yang menerima SK Penetapan Hutan Adat dari Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Ini adalah bagian dari dia memperjuangkan tanah yang memastikan bahwa kebutuhan hidup keluarganya terpenuhi melalui Hutan Kemenyan. Mereka pasti membicarakan, "Ini uang sekolah anak saya ada di sini, hidup saya ada di sini." Itu disampaikan langsung kepada Presiden Jokowi oleh Opung Putera. Hal ini yang menurut saya menjadi tantangan terbesar untuk perempuan, bagaimana mereka didalam proses-proses memperjuangkan tanahnya tidak mengalami diskriminasi. Sekarang SK sudah ada, tapi apakah akses perempuan terhadap Hutan Kemenyan akan juga tetap sama seperti sekarang atau dia akan mengalami perubahan. Itu tantangannya. Yang lain adalah terkait dengan perubahan iklim. Paling pertama menghadapi situasi perubahan iklim yang terjadi adalah perempuan. Namun ketika mereka melakukan adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di sekeliling mereka, pengetahuan- pengetahuan itu tidak dianggap sebagai satu�pengetahuan, dan mereka justru tidak pernah terlibat dalam proses-proses pembicaraan yang terkait dengan perubahan iklim.
Keputusan-keputusan ini selalu diambil oleh orang lain di luar dari mereka. Padahal mereka yang paling tahu sebenarnya kondisi real di lapangan sehari-hari. Misalnya, kesulitan untuk memprediksi kapan masa tanam yang sebaiknya dilakukan sekarang dengan perubahan cuaca yang sangat drastis saat ini. Itu akan mengancam ketahanan pangan di tingkat kampung juga. Tapi perempuan tidak pernah dilibatkan di dalam proses-prosesnya.
Dalam hak konstitusional, hak perempuan adat ini sebenarnya sudah diatur dalam undang-undang (UU) tapi realitasnya tidak kelihatan karena pemerintah seakan-akan tidak memperhatikan hak- hak dari perempuan khususnya perempuan adat. Apakah Perempuan AMAN akan ada usaha-usaha untuk mengintervensi atau menyampaikan suara- suara perempuan adat untuk tetap memasukannya dalam prioritas UU yang sedang dipersiapkan oleh pemerintah, khususnya UU tentang Hak Masyarakat Adat? Sebenarnya, PEREMPUAN AMAN dalam dua tahun terakhir mencermati sungguh-sungguh kebijakan pemerintah bukan hanya UU, tapi kebijakan lainnya yang juga memberikan perlindungan terhadap hak-hak perempuan. Sejauh ini yang ada kebijakannya masih melindungi hak-hak perempuan sebagai warga negara atau hak individu sebagai warga negara, tetapi hak yang diperjuangkan oleh perempuan adat dalam konteks hak kolektif sebagai bagian dari komunitas adat itu tidak memiliki tempat. Convention on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW) juga tidak bicara soal bagaimana hak kolektif. Misalnya, hak atas wilayah kelola yang sekarang sedang didorong oleh perempuan AMAN untuk kemudian dilihat sebagai bagian dari hak kolektif yang sedang diperjuangkan. Hal itu tidak mendapatkan tempatnya di CEDAW atau UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Jadi sampai saat ini UU itu hanya spesifik kepada perempuan tapi tidak hak kolektif perempuan? Belum bicara sampai pada level itu karena memang kita sadari bahwa CEDAW memang lahir sebelum gerakan masyarakat adat, bahkan di Internasional. Tapi ini bukan berarti menghentikan upaya kita untuk menunjukkan kepada pemerintah bahwa ada hak-hak yang memang harus diperhatikan oleh pemerintah, harus dilindungi bukan hanya kepada pemerintah tapi juga kepada gerakan masyarakat adat untuk kemudian melihat bahwa ini juga agenda yang penting. PEREMPUAN AMAN kemudian mengambil posisi untuk terlibat secara aktif di dalam penyusunan naskah akademik rancangan undang-undang (RUU) sekarang menjadi RUU tentang Masyarakat Adat di dalam daftar Prolegnas tahun 2017. Perempuan AMAN kemudian terlibat juga di dalam penyusunan RUU-nya. Jadi kita melakukan konsultasi dengan perempuan adat dari berbagai wilayah di Indonesia. Saat itu ada dua seminar nasional dan konsultasi nasional kemudian dilanjutkan dengan satu kali konsultasi regional. Hasil inilah yang kemudian kita masukkan ke dalam RUU Masyarakat Adat yang sekarang, menurut saya, perspektifnya jauh berbeda dari rancangan sebelumnya. Jadi apakah rancangan yang masuk ke Prolegnas ini cukup memfasilitasi kebutuhan pemenuhan hak- hak perempuan adat khususnya?? Sejauh ini kita memasukkan tidak secara khusus pada pasal tertentu tapi ini adalah sesuatu yang akan terus berlangsung, masih akan didiskusikan. Kita masuk pada hal-hal krusial yang kita lihat bisa memastikan bahwa hak-hak perempuan adat yang kolektif itu bisa terpenuhi melalui UU Masyarakat Adat, yang tidak mendapatkan tempatnya pada UU lain misalnya UU Kewarganegaraan. UU Nomor 7/1984 banyak bicara mengenai hak-hak perempuan tapi lebih pada hak-hak individu. Apakah setelah mendapatkan SK Hutan Adat membuat perempuan memiliki keleluasaan terhadap wilayah kelola adat atau tetap bapak- bapak yang mengatur? Biasanya perempuan suka menyebutnya sebagai perjuangan tentang kehidupan. Bukan hanya kehidupan saat ini tapi juga kehidupan mendatang, sehingga perempuan mau berhadapan sebegitu kerasnya dengan militer, polisi, sampai mereka pasang badan. Ingat Mama Aleta di NTT. Kalau merunut dari 1999, ketika AMAN dideklarasikan, pejuang-pejuang adat ini banyak. Kami belajar dari perempuan-perempuan ini bahwa yang mereka selamatkan adalah kehidupan di masa mendatang. Yang mereka pikirkan adalah bagaimana generasi mendatang bisa hidup sama layaknya dengan mereka dan dapat memenuhi kebutuhan sendiri. Turunnya SK ini menjadi tantangan di komunitas adat karena harus melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan bagaimana Hutan Adat ini akan dikelola. Hutan Adat ini sumber pengetahuannya perempuan adat. Bagaimana obat-obatan dari hutan diproduksi oleh mereka, bagaimana sayur-mayur bisa mereka ambil untuk kebutuhan pangan mereka. Ini sesuatu yang harus dipikirkan secara serius bersama-sama, baik oleh AMAN maupun PEREMPUAN AMAN. Bagaimana peran AMAN dan PEREMPUAN AMAN dalam mempertahankan pengetahuan serta kearifan lokal masyarakat adat?? Sistem pendidikan yang sekarang justru menjauhkan anak-anak masyarakat dari pengetahuan lokalnya yang sudah dikembangkan selama ratusan tahun. Padahal ini pengetahuan yang sangat praktikal tentang bagaimana mereka bertahan hidup di ruang hidupnya sendiri. Anak- anak ini kemudian belajar sesuatu yang akhirnya membuat mereka berjarak dengan pengetahuan mereka sendiri. Talang Mamak, misalnya. Ini adalah wilayah adat di Riau, yang sekarang sudah dipenuhi oleh sawit. Kami melakukan training di Talang Mamak, berbicara dengan para ibu. Mereka mengatakan, "Kalau dulu kami pergi ke ladang bersama anak-anak, dan perginya berkelompok." Sepanjang perjalanan itulah para ibu tersebut menceritakan mengenai tanaman dan apa saja yang mereka temui di perjalanan. "Ini daun kalau dipegang nanti gatal. Lalu ini tanaman yang bisa digunakan untuk sayur." Jadi pengetahuan yang seperti itu, ditransfer ke generasi penerus mereka melalui kegiatan mereka sehari- hari. Bukan dengan sekolah formal yang seperti sekarang. Saat ini cara-cara seperti itu sudah tidak bisa lagi dilakukan di Talang Mamak karena ladang mereka sudah berubah menjadi perkebunan sawit. Kalau mereka mau membuka ladang baru itu perjalanannya akan sangat jauh. Tidak ada lagi kesempatan untuk membagi pengetahuan kepada anaknya sambil berjalan di perjalanan menuju ladang. Pendidikan anak-anak Masyarakat Adat adalah pendidikan yang dekat dengan keseharian mereka. Misalnya, "Jambu ini bisa dimakan tapi jangan terlalu banyak, nanti diare." Pengetahuan-pengetahuan seperti itu disampaikan dengan menunjukkan langsung pohonnya yang mana. Menyikapi situasi ini, beberapa anggota PEREMPUAN AMAN, salah satunya Pengurus Harian Komunitas Dayak Manyalin, menginisiasi Sekolah Adat Samabue di Kalimantan Barat. Mereka mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Teman- teman mencoba memberikan dan melestarikan�pengetahuan dengan cara memasukkan perempuan- perempuan adat yang memiliki pengetahuan lokal seperti menganyam, bagaimana menyiapkan bahan baku, dan pengetahuan-pengetahuan lainnya ke sekolah. Di sana anak-anak belajar langsung dari mereka. Ini upaya yang terus dilakukan oleh kawan-kawan. Mereka memperkenalkan baju dari kulit kayu kepada anak-anak sehingga mereka menyadari, "Oh ini baju adat kita." Ini juga mengajarkan bahwa sumberdaya alam harus dilestarikan supaya kamu tetap bisa mengembangkan pengetahuan dan budayamu. Hal yang sama juga dilakukan di Sekolah Adat Punan Simeriot, yang baru-baru ini juga mendapatkan apresiasi dari berbagai kalangan. Ini juga diinisiasi oleh anggota PEREMPUAN AMAN yang terkonsolidasi dalam Pengurus Harian Daerah Sekatak. Ini tidak bisa lepas dari peran kawan-kawan Pemuda Adat Nusantara, yang mereka juga mengembangkan sekolah adat secara lebih serius. Pendidikan sebenarnya menjadi agenda utama PEREMPUAN AMAN sampai dengan tahun 2020. Kesempatan anak perempuan dibandingkan anak laki-laki lebih sedikit, bahkan biasanya dalam keluarga, anak laki-laki akan diberi kesempatan lebih besar. Dengan alasan misalnya sekolah jauh, nanti khawatir terjadi apa-apa. Ini banyak terjadi. Jadi menurut saya, Sekolah Adat ini adalah inisiatif yang cukup baik dan mesti dikembangkan secara terus menerus.[] Hasil wawancara termuat di dalam buku PEREMPUAN AMAN di dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara 199-2017 yang diunduh di link berikut:�http://bit.ly/2ppmYm5 Sumber : devi-anggraini-perempuan-adat-adalah-sebagai-penjaga-ketahanan-hidup-komunitasnya