Identitas Perempuan Adat Melekat Pada Wilayah, Pengetahuan dan Otoritas
23 April 2016
Perayaan Kebangkitan Perempuan Adat Nusantara ke IV [caption id="attachment_1524" align="alignleft" width="225"] Devi Angraini Ketua Umum Perempuan AMAN menyampaikan sambutannya[/caption] Jakarta 23/4/2016 � Perayaan Kebangkitan Perempuan Adat Nusantara ke IV diselenggarakan di Hotel Akmani Jalan Wahid Hasyim Ashari No 91 Jakarta Pusat 23/4/2016 - sebagai bagian dari rangkaian acara Rapat Kerja Nasional Perempuan AMAN I dan Konsultasi Nasional Perempuan AMAN sekaligus menutup perhelatan perempuan adat tersebut. Pemutaran Film Samin Vs Semen membuka acara perayaan, dilanjutkan dengan ritual adat oleh Mardiana Dereen, memohon kepada yang Maha Kuasa agar diberi kekuatan dengan restu para leluhur mengutuk perusak lingkungan wilayah adat. Devi Angraini Ketua Umum Perempuan AMAN dalam sambutannya mengatakan,� bekerja dengan perempuan adat seharusnya jauh dari situasi-situasi pertemuan formal. Perempuan adat harus bisa hadir tanpa batasan-batasan, harus diluruhkan untuk bisa menjangkau, memahami, mendalami persoalan apa sesungguhnya yang dihadapi oleh perempuan adat. Baik di dalam komunitasnya, di dalam keluarganya dalam lingkaran lebih kecil, maupun ketika berhadapan dengan negara yang besar ini, bahkan tekanan global� Selanjutnya Devi Anggraini menyampaikan, �Berdasarkan pengalaman saya sejak akhir 1998, awalnya saya melihat perempuan adat lebih pada korban. Mereka tidak diacuhkan, cenderung diabaikan seolah tidak menjadi bagian dari komunitas adat. Apa lagi ini ada di kampung-kampung yang jauh, jauh dari akses informasi, jauh dari akses pendidikan, kesehatan. Sesungguhnya bukan dalam pengertian jauh jarak dari A ke B tapi jauh dari seluruh hal. Hingga suatu waktu dalam perenungan saya menemukan ternyata perempuan-perempuan adat ini tidak pernah diam, memulai satu upaya di dalam keluarga, dalam kampungnya, bahkan dalam lingkaran yang lebih besar. Tindakan-tindakan kecil mereka itulah yang kemudian dibicarakan di tingkat yang jauh lebih tinggi� �Saya banyak menemukan perempuan-perempuan pejuang dalam perjalanan saya, Yosefa Ana, Nai Sinta, Mardiana Dereen, Den Upa Rumbelayuk, masih banyak perempuan pejuang lainnya� �Hari ini kita bertemu dengan salah satu perempuan pejuang yaitu, Ibu Gunarti dari Sedulur Sikep. Kalau kita lihat film Samin Vs Semen tadi, situasi yang sama terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Diberbagai kampung perempuan adalah ujung tombak yang kemudian menghadapinya. Mereka tidak mau kehilangan sumber-sumber hidupnya. Perjuangan mereka bukan sebatas menang. Kalau kita melihat Aleta Ba�un bisa menghentikan tambang marmer apakah berhenti sampai di situ? yang diperjuangkan sesungguhnya adalah kehidupan� [caption id="attachment_1527" align="alignleft" width="300"] Para Perempuan Adat menyimak jalannya acara[/caption] �Bekerja dengan perempuan bekerja dengan kehidupan itu sendiri. Bekerja dengan perempuan bekerja dengan pengetahuan yang akan terus menerus diwariskan pada generasi berikutnya. Bekerja dengan perempuan untuk memastikan sumber-sumber hidup dan dikelola secara berkelanjutan. Bekerja dengan perempuan bekerja untuk masa depan, bukan hanya sekedar mendapatkan wilayah, bukan sekedar memastikan hak-haknya dipenuhi. Buat perempuan adat apa yang mereka perjuangkan adalah satu langkah yang mereka tanamkan untuk menjaminkan, menggaransi kehidupan anak cucunya. Dia ingin mengatakan bahwa alam ini titipan leluhur,� kata Devi Anggraini. Selanjutnya Devi Anggraini mengajak para perempuan adat untuk menyatukan tangan membangun solidaritas sebab perjuangan perempuan adat berat. RUU Masyarakat Adat adalah upaya kecil yang harus dilakukan. Cita-cita besar perempuan adat sesungguhnya sedang menanti mewujudkan bahwa perempuan adatlah pelaku utama penjaga bumi ini. [caption id="attachment_1529" align="alignleft" width="225"] Bu Gunarti Menembang Dandang Gulo Gunung Kendeng[/caption] Sebelum Ibu Gunarti menembangkan Dandang Gulo Gunung Kendeng dia mengatakan, ��Sekarang kalau bukan kita yang memperjuangkan peninggalan-peninggalan leluhur atau pejuang-pejuang yang sudah wafat di medan perang, siapa lagi? �Secara tidak langsung bumi kita, tanah air kita ini mau direbut penjajah berwajah baru, yaitu industri-industri. Kalau kita bisa menengok ke belakang, sebenarnya sehari-harinya kita ini dijajah, dijauhkan dengan adat-adat kita masing-masing. Nanti setelah pulang dari sini coba kita tengok jejak langkah kita, sudah baguskah, sudah bisa diikuti anak cucu kita,� kata Bu Gunarti sebelum memulai tembangnya. Dalam acara ini Olvi Tumbelaka (Dewan Perempuan Adat AMAN) juga membacakan poin penting dari kertas posisi Perempuan Adat sebagai masukan untuk draf RUU Masyarakat Adat (RUUPPHMA). ****JLG
Sumber : identitas-perempuan-adat-melekat-pada-wilayah-pengetahuan-dan-otoritas