Keberadaan Peratururan Daerah Masyarakat Adat memiliki peran penting dalam mendukung pembangunan di daerah. Apalagi dengan adanya perubahan regulasi terkait perizinan yang wewenangnya kini dilimpahkan ke provinsi, tidak lagi di kabupaten.

“Keberadaan Perda ini akan sangat diperlukan Pemda untuk mempercepat pembangunan. Situasi sekarang dari sisi kebijakan, salah satu yang mendorong terjadinya moratorium izin sawit dan tambang karena konflik. Dan ternyata ditemukan salah satu yang perlambat pembangunan infrastruktur karena ketidakpastian hak wilayah, sehingga menimbulkan ketidakpastian proses,” ungkap Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), ketika menjadi pembicara dalam Uji Publik Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Sumbawa, di Kota Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat, minggu kemarin.

Menurut Abdon jika pengakuan wilayah-wilayah adat dan masyarakat adat ini cepat diselesaikan, maka akan mempercepat program pembangunan karena selama ini banyak program yang terhenti,tidak bisa dilaksanakan karena lahannya berkonflik dan tidak jelas siapa pemegang haknya.

Abdon Nababan, Sekjen AMAN, berharap keberadaan Perda Masyarakat Adat ini bisa mendorong pembangunan daerah, di mana di dalamnya ada kewajiban bagi Pemda untuk program pemberdayaan masyarakat adat. Foto: Wahyu Chandra.

Abdon Nababan, Sekjen AMAN, berharap keberadaan Perda Masyarakat Adat ini bisa mendorong pembangunan daerah, di mana di dalamnya ada kewajiban bagi Pemda untuk program pemberdayaan masyarakat adat. Foto: Wahyu Chandra.

Terkait perubahan kewenangan daerah dalam hal perizinan sendiri, Abdon menilai dengan adanya perubahan kewenangan tersebut maka daerah kabupaten yang tidak bekerjasama dengan masyarakat adatnya akan kesulitan mendapatkan tanah untuk pembangunan.

“Sehingga cara paling mudah bagi bupati adalah dengan mempercepat pembahasan Perda ini. Tanpa masyarakat adat, ruang gerak kabupaten akan sempit terkait lahan,” tambahnya.

Meski demikian, tambah Abdon, dengan keberadaan Perda yang akan memberikan kepastian wilayah, tidak serta merta akan berdampak pada banyaknya izin yang akan dikeluarkan. Bahkan bisa malah jadi semakin sedikit atau malah tak ada lagi izin.

“Bahkan jika tak ada izin pun itu tidak akan menjadi masalah karena toh ada banyak program di pemerintahan yang sifatnya ekonomi kerakyatan. Misalnya pada implementasi UU Desa yang memiliki anggaran yang cukup besar.”

Ketiadaan regulasi terkait masyarakat adat ini berdampak pada ketidakjelasan batas wilayah dan ruang kelola. Tak ada batas-batas yang jelas antara wiayah adminstrasi desa dan wilayah adat.

“Kalau batas-batas desa saja tidak jelas, mana desa administratif, mana desa adat, maka program-program pembangunan yang sudah dirancang di level desa pun akan terhambat. Begitu pun dengan perluasan layanan kesehatan, akan banyak Puskesmas yang bermasalah. Sama halnya juga sekolah-sekolah,” tambahnya.

Abdon juga menambahkan bahwa keberadaan Perda ini jangan semata dilihat sebagai pengakuan secara hukum, karena masyarakat adat itu pada dasarnya telah sudah ada meski tanpa adanya pengakuan tersebut. Hal yang paling penting adalah bagaimana pengakuan ini diadministrasikan, karena selama ini wilayah kelola masyarakat adat tak pernah tercatat dimana pun.

“Ketika ditanya ke BPN, mereka tidak tahu. Karena hak wilayah adat ini di BPN tidak ada. Hak ulayat posisinya bagaimana, itu yang tidak jelas. Sertifikasi tanah individual saja yang ada di BPN. Begitu pun ketika ditanya ke kehutanan, mereka tidak tahu. Mereka hanya mengenal kawasan hutan, bukan wilayah adat.”

Uji publik Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Sumbawa melibatkan seluruh pihak yang terkait, diharapkan menjadi contoh Perda bagi daerah lain, karena isi dan subtansi yang lebih lengkap dibanding Perda-perda Masyarakat Adat lainnya Foto: Wahyu Chandra.

Uji publik Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Sumbawa melibatkan seluruh pihak yang terkait, diharapkan menjadi contoh Perda bagi daerah lain, karena isi dan subtansi yang lebih lengkap dibanding Perda-perda Masyarakat Adat lainnya Foto: Wahyu Chandra.

Abdon menggambarkan situasi masyarakat adat saat ini dalam kondisi remang-remang, penuh ketidakjelasan, antara ada dan tak tiada dan memicu berkembangnya ‘kemaksiatan’.

“Dengan kondisi dimana hak atas wilayah masyarakat adat serta situasi masyarakat adat yang tidakjelas, dimana wilayah masyarakat adat tidak dicatat oleh pemerintah, maka ini yang menjadi tugas Perda ini. Apalagi ada kontrak politik AMAN dengan Presiden dalam Nawacita.”

Abdon juga menegaskan bahwa saat ini AMAN tengah berupaya mengintegrasikan peta-peta wilayah adat ke dalam kebijakan satu peta (one map policy), karena dari seluruh wilayah adat sekitar 68 persen di antaranya masuk wilayah hutan, sementara hanya 22 persen yang masuk dalam ATR.

Meski demikian, Abdon menyadari pengesahan Perda yang akan segera ditindaklajuti dengan sejumlah program di lapangan akan memiliki tantangan yang cukup besar, khususnya pada alokasi anggaran. Namun Abdon berharap masyarakat adat tidak menunggu Pemda, namun perlu adanya partisipasi masyarakat adat.

Abdon selanjutnya berharap agar Perda ini bisa disahkan secepatnya, dan agar dalam Perda ini ada tertulis kewajiban Pemda terkait pemberdayaan masyarakat, termasuk dana desa agar bisa dikelola secara konfrehensif.

Syamsul Fikri AR, Ketua Komisi I DPRD Sumbawa, menjelaskan upayanya menginisiasi uji publik ini untuk mengetahui seberapa besar antusiasme masyarakat terhadap Ranperda tersebut.

“Secara sosiologi pun ada pranata sosial, sosial integrasi yang diakui turun temurun eksistensinya. Saat ini banyak pengakuan-pengakuan masyarakat adat, sehingga uji publik inilah poin pentingnya,” ujar Syamsul.

Syamsul mengakui sejak awal mendukung keberadaan Perda ini karena dengan adanya Perda maka nantinya akan ada pengakuan masyarakat adat, yang selanjutnya akan diikuti oleh pengakuan atas wilayah.

“Jadi multiefeknya akan banyak. Saya sepakat dengan Sekjen AMAN, jangan sampai ada nanti akan banyak klaim masyarakat adat ketika perusahaan-perusahaan mulai masuk.”

Menurut Syamsul, keberadaan Perda ini sebagai payung hukum masyarakat adat memiliki korelasi dengan konstitusi, dimana antara lain diatur dalamUU Dasar 45 pasal 8 huruf a, UU No 6 tahun 2014 tentang Desa, UU No.5 Agraria tahun 1960, UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, serta Putusan MK No.35 yang mensyaratkan keberadaan Perda sebagai syarat pengakuan masyarakat adat.

Syamsul berharap Ranperda ini bisa segera disahkan, namun ia menyerahkan sepenuhnya pada agenda musyawarah DPRD Sumbawa.

“Kita target tahun ini. Target masuk di Prolegda. Saya jamin suara kami solid di fraksi Demokrat, tapi saya tidak bisa jamin suara di fraksi-fraksi lain. Itulah kewenangan politik.”

Melalui uji publik ini, menurut Syamsul, tidak hanya untuk mendapatkan hasil yang konfrehensif dengan banyaknya masukan dari masyaralat, tetapi juga mencegah adanya penyelundupan pasal-pasal.

“Kita jaga jangan sampai dalam pembahasan di komisi nanti tiba-tiba muncul pasal-pasal yang tidak kita ketahui asal usulnya. Untuk hambatannya, saya kira tak ada hambatan yang berarti, tinggal nanti kemauan politik partai. Kita juga berharap Perda ini jika telah disahkan ada sosialisasi ke seluruh masyarakat. Itu kita optimalkan.”

 Perda Hybrid

Muhammad Arman, Kepala Divisi Advokasi Hukum dan Kebijakan AMAN, mengatakan Perda MasyarakatAdat di Kabupaten Sumbawa ini memiliki keunikan tersendiri dibanding Perda-perda Masyarakat Adat lainnya yang sudah ada.

“Ini memadukan sejumlah Perda yang sudah ada dan sebagai penyempurnaan, makanya kita namakan ini Perda di Sumbawa ini sebagai Perda Hybrid,” jelas Arman.

Ia mencontohkan Perda di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, yang sifatnya pada pengaturan saja dan tidak operasional. Sifatnya pun masih melalui SK Bupati tidak melalui Perda, sementara MK 35 mengisyaratkan adanya Perda.

Warga Adat Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulsel. Perda Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, yang ditetapkan pada November 2015 lalu diharapkan menjadi tonggak penting bagi pengakuan dan perlindungan adat di Sulsel. Foto : Wahyu Chandra

Warga Adat Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulsel. Perda Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, yang ditetapkan pada November 2015 lalu diharapkan menjadi tonggak penting bagi pengakuan dan perlindungan adat di Sulsel. Foto : Wahyu Chandra

Sementara Perda di Masyarakat Adat Kajang Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, sifatnya sudah pada pengukuhan dan tidak adanya peluang pengaturan untuk komunitas adat lainnya.

“Di Perda Sumbawa ini, selain ada komunitas adat yang langsung ditetapkan seiring dengan pengesahan Perda, juga memberi peluang identifikasi dan pengakuan pada komunitas-komunitas adat lainnya.”

Dalam Ranperda yang diajukan ini, menurut Arman, ada lima komunitas adat yang akan langsung disahkan yaitu komunitas adat Kanar, Pusu, Cek Bocek, Pekasa dan Ponto. Selebihnya, sebanyak 12 komunitas akan ditetapkan setelah diverifikasi oleh Komisi Masyarakat Adat melalui SK Bupati.

Perbedaan dengan Perda Masyarakat Adat lainnya, menurut Arman, adalah dengan adanya pembentukan lembaga yang bersifat independen disebut Komisi Masyarakat Adat yang beranggotakan sembilan orang dari berbagai pihak non-pemerintah. Segala hal pengaturan terkait implementasi Perda ini akan dijalankan oleh komisi ini.

“Komisi ini memiliki dua peran penting. Selain nantinya yang akan melakukan identifikasi, dan verifikasi masyarakat adat, komisi ini juga berperan menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi terkait dengan masyarakat adat.”

 

Sumber: mongabay.co.id

The post Kenapa Perda Masyarakat Adat Penting untuk Pembangunan ? appeared first on AMAN SUMSEL.

Sumber : https://sumsel.aman.or.id/2016/07/05/kenapa-perda-masyarakat-adat-penting-untuk-pembangunan/