[caption id="attachment_107" align="alignnone" width="2048"]Forum Gesah Sirat Semirat (diskusi interaktif) dengan Pemateri Bapak Hasan Basri (Pemerhati Budaya Banyuwangi) pada Kemah Pemuda Adat Nusantara di Taman Suruh, Banyuwngi (27/01/2107) Forum Gesah Sirat Semirat (diskusi interaktif) dengan Pemateri Bapak Hasan Basri (Pemerhati Budaya Banyuwangi) pada Kemah Pemuda Adat Nusantara di Taman Suruh, Banyuwngi (27/01/2107)[/caption] Beberapa waktu lalu tepatnya 27-29 Januari 2017 telah berkumpul puluhan pemuda dari desa-desa Using seperti Bakungan, Olehsari, Kemiren, Glagah, Andong, Jopuro, Macan Putih dan Aliyan. Kemah tersebut bertujuan dalam rangka pembentukan Pengurus Daerah (PD) Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Using. Berkumpulnya pemuda-pemudi dari desa-desa basis masyarakat Using bermukim ini menjadi goresan sejarah penting bagi Lare-lare Using sendiri. Kemah ini menjadi momen yang sangat berharga dalam upaya mempertemukan dan menyatukan tujuan bersama lare-lare Using yang datang dari berbagai desa. Sejuah ini belum ada wadah yang memfasilitasi pemuda-pemudi Using penerus adat untuk saling berkomunikasi dan berbagi tentang perkembangan desanya, adat-istidadat, budayanya dan juga tantangan yang dihadapi hari ini. Terbentuknya PD BPAN Using yang merupakan organisasi sayap Aliansi Masyarkat Adat Nusantara (AMAN) menjadi harapan baru bagi kami lare-lare Using. Posisi masyarakat adat (indigenuous people) pada tataran lokal maupun global saat ini semakin terpinggirkan. Kuatnya arus globalisasi mendorong keseragaman pandangan hidup. Tidak dapat dipungkiri, kekuatan global yang berorientasi pada peradaban barat sedikit banyak turut merubah pandangan hidup masyarakat adat. Orientasi pengetahuan moderen yang bersifat logis, empiris dan bahkan materialis menggeser tatanah hidup masyarakat adat. Hal yang paling memprihatinkan adalah ketidakmampuan menyaring pengetahuan oleh masyarakat adat. Memang tidak dapat dipungkiri, transfer pengetahuan berkembang begitu cepat. Pendidikan yang tidak kontekstual dengan kondisi masyarakat, kesepihakan pemegang kebijakan dalam memberlakukan masyarakat adat dan juga derasnya arus informasi hari ini menjadi penyebabnya. Di luar Pulau Jawa, dimana masih banyak tersebar suku masyarakat yang hidup di pedalaman hutan sedang mengalami ancaman yang sangat memprihatinkan. Tanah hutan tempat bermukim dan berkehidupan masyarakat adat terancam oleh penggusuran akibat alih fungsi hutan untuk dijadikan perkebunan oleh para pemilik modal. Pemerintah tidak banyak berbuat, bahkan terjadi persekongkolan antara pengusaha dan pemerintah sebagai pemegang kebijakan. Kondisi ini berdampak pada hancurnya tatanan kehidupan masyarakat adat di berbagai sisi kehdupan sosial, ekonomi, politik, budaya dan lingkungan. Disamping itu, ancaman bencana ekologis akibat kerusakan hutan alami yang beralih fungsi menjadi hutan produksi dengan keseragaman hayatinya menjadi tantangan yang sangat merugikan semua pihak. Tidak hanya masyarakat adat yang bediam di hutan, namun juga masyrakat luas. Banjir, tanah longsor, dan kerusakan lain seperti gundulnya hutan serta punahnya keanekaragaman hayati telah mengancam keseimbangan ekologi yang berdampak buruk bagi kehidupan masa depan umat di bumi ini. Padahal, masyarakat adat memiliki sejumlah pengetahuan bagaiaman cara memanfaatkan potensi alamnya. Pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun itu terbukti mampu menjaga keseimabagan ekologi dimana ia bermukim dan berkehidupan yang mandiri. Kondisi alam, pengetahuan spiritual-religius �serta cara hidupnya �telah membentuk kebudayaan yang khas. Persebaran masyarakat adat di Nusantara tersebar ratusan jumlahnya. Mereka memberikan sumbangsih yang sangat besar pada keseimbangan alam dan sumbangsih keragaman budaya yang sangat indah di Negara ini. Bagaimana dengan masyarakat adat pada konteks Banyuwangi? Kota ujung timur Pulau Jawa ini dulunya dikenal sebagai wilayah Blambangan kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa. Berbagai studi menujukkan wilayah ini memiliki karakteristik penduduk yang berbeda dengan masyarakat Jawa pada umumnya. Perbedaan yang cukup signifikan terlihat dari bahasa dan adat istiadatnya. Orang-orang diluar komunitas penduduk asli Blambangan menyebutnya Using/Osing yang berarti �tidak�. �Tidak� maksudnya sisa-sisa masyarakat Blambangan ini enggan bekerjasama dibawah tekanan Belanda. Sikap ini tidak lain karena sepanjang sejarah Blambangan selalu menjadi perebutan mulai dari zaman Majapahit hingga masa kolonialisme. Puncak perjuangan masyarakat Using ditandai dengan meletusnya Perang Bayu pada 1771-1772. Pasca Perang Bayu, tatanan kehidupan di masyarakat Blambangan berubah akibat perang. Masyarakat yang tercerai berai serta tatanan sosial yang kacau. Sejak saat itu terjadi peminggiran hak-hak masyarakat Blambangan di segala bidang kehidupan. Bahkan hak-hak politis dan pendidikan tidak diberikan oleh pemerintah kolonial sedikit pun. Hal ini dikarenakan masyarakat Blambangan bersikap tidak loyal akibat pengalaman historis masa lalu. Bahkan hingga kini, masih timbul ketidak pecayaan diri pada identitas budaya Using di sebagaian kalangan masyarakat akibat hegemoni kebudayaan Jawa yang mendominasi. Namun ditengah keadaan tersebut, masyarakat Blambangan disatukan dan diikat dengan bahasa yang khas, berbeda dengan Bahasa Jawa pada umumnya. Bahasanya egaliter mencerminkan sikap hidup masyarakatnya. Begitu juga budaya adat dan tradisinya yang begitu khas, sehingga cukup menonjol dan mudah dikenali. Masyarakat asli sendiri cenderung menyebut dirinya dengan sebutan Wong Blambangan, Wong Banyuwangen, Wong Jawa. Sebutan Wong Using/Osing baru muncul pada dekade 80-an ketika menguatnya politik identitas di zaman orde baru. Kini, sisa masyarakat Blambangan yang dikenal Masyarakat Using/Osing ini bermukim di wilayah tengah Kabupaten Banyuwangi seperti di kecamatan Giri, Glagah, sebagian Licin, Kabat, Rogojampi, Blimbingsari, Singojuruh, sebagian di kecamatan Srono dan Sempu. Umumnya mereka bermata pencaharian di bidang agraris. Di basis-basis wilayah masyarakat Using tumbuh kebudayaan yang cukup khas, seperti halnya tardisi Kebo-keboan di Desa Aliyan dan Alasmalang, Tradisi Seblang di Desa Bakungan dan Olehsari, Barong Ider Bumi di Kemiren, tradisi Gelar Songo di Glagah, Ithuk-ithukan di Jopuro, Sapi-sapian di Kenjo, Rebo Pungkasan, Pethik Laut di desa-desa pesisir dan lain sebagainya. Belum lagi rangkaian ritual-ritual yang menyangkut daur hidup di setiap fase kehidupan dari kelahiran hingga kematian. Begitu juga Keseniannya, ada tari Gandrung, Kuntulan, Burdah, Angklung Paglak, Angklung Caruk, Janger, Barong, dan Mocoan Lontar Yusuf. Seni arsitektur hunian masyarakatnya dengan tipikal rumah Tikel Balung, Baresan dan Cerocogan. Permukiman kampungnya cukup padat dengan dikeliligi lahan pertanian dan ditandai dengan Kiling�(Kincir Angin). Semua unsur-unsur kebudayaan tersebut menjadi identitas yang membedakan antara masyarakat Using dengan masyarakat etnis lainnya. Masyarakatnya juga cukup terbuka menerima unsur luar, sehingga sampai hari inipun masyarakat adat Using memiiki keseharian seperti masyarakat pedesaan Jawa pada umumnya yang bekerja di berbagai sektor kehidupan. Seperti halnya masyarakat adat di Nusantara, masalah yang dihadapi oleh masyarakat Using di Banyuwangi juga memiliki masalah dan tantangan yang hampir sama. Seperti tantangan gelombang arus globalisasi dan moderniasasi �telah menjangkau sendi-sendi kehidupan masyarakat yang menggeser nilai-nilai dan pesan luhur sarat makna. Menyempitnya ruang hidup masyarakat karena terancam ulah pemodal seperti eskpansi bisnis properti dan industrialiasasi yang berakibat pada perubahan ekolagi dan sumber daya alam. Keadaan ini juga berkaibat pada pergeseran pola hidup masyarakat agraris menuju masyarakat industri di berbagai sektor. Lahan-lahan produktif semakin berkurang, sawah-sawah banyak dijual kepada para pemodal. Masyarakat petani Using yang semula mandiri akan berubah menjadi masyarakat kelas pekerja buruh. Peran Strategis PD BPAN Using Keberadaan organisasi ini menjadi semacam harapan baru dan membingkai semangat kolektivitas lare-lare Using, �dalam rangka memperkuat jati diri sebagai generasi yang menghargai nilai-nilai luhur nenek moyang. Hubungan komunikasi antara pemuda-pemudi yang umumnya dari desa menjadi ajang bertukar pikiran, pengalaman dan berbagi gagasan untuk menggali nilai �nilai warisan leluhur untuk kehidupan di masa depan kelak. Langkah ini cukup strategis ditengah terkisisnya nilai luhur yang bersumber dari kearifan lokal akibat arus globalisasi dan modernisasi. Akibatnya generasi Using mileneal hari ini merasa mengalami gegar budaya (shock culture) mengadapi arus moderniasasi. Merasa tidak percaya diri dengan identitasnya sebagai lare using yang berbudaya karena minim pengetahuan tentang identitasnya. Transformasi pengetahuan berbasis tradisi dan ritual lintas generasi perlu dilakukan. Tentu dengan cara-cara yang mudah ditangkap oleh generasi muda saat ini, seperti propaganda melalui media berbasis teknologi informasi. Pelibatan pemuda pada kegiatan upacara ritual dan tradisi-tradisi khas masyarakat Using juga perlu dilakukan. Disamping itu organiasi ini juga harus mendorong upaya pendokumentasian melalui penelitian yang intensif pada warisan-warisan budaya Using baik yang bersifat tangible (bendawi) maupun intangible (non-bendawi). Pada tahap selanjutnya adalah upaya membangun pemahaman bersama bagi generasi muda mengenai arti penting nilai-nilai luhur kaitannya dengan kehidupan sosial, ekonomi dan sumber daya alam. Penajaman isu ini menjadi sangat penting, karena tantangan hari ini� adalah krisis identitas, krisis sosial, serta krisis sumber daya alam akibat arus kapitalisme global. Pemiskinan terhadap masyarkat melalui penguasaan tanah oleh pemodal menjadi ancaman yang cukup serius. Begitu juga dampaknya pada kerusakan lingkungan dan sosial. Karena hingga kini, ekploitasi kebudayaan pada etnis tertentu termasuk etnis Using oleh pemegang kebijakan hanya dipandang pada sisi eksotisme belaka, tanpa mengetahui akar permasalahan apalagi menggali kearifannya sebagai bahan penentu arah kebijakan. PD BPAN Using juga tidak menutup diri sebatas pada kalangan generasi muda Using semata. Keragaman etnis di Banyuwangi menjadi salah nilai lebih dalam membangun kesamaan tujuan melawan perampasan hak-hak masyarakat adat. Keterbukaan dengan dengan etnis lain sudah menjadi padangan hidup masyarakat Using sejak dulu, tinggal bersama di tanah yang subur bernama Blambangan. Maka dari itu generasi muda perlu membangun kembali semangat kolektivitas antar generasi di desa-desanya, menjaga ikatan batin dengan tanah dan sejarah leluhurnya, belajar mengharagai warisan budaya dan sumberdaya alamnya. Agar kelak tidak mudah dijajah kembali oleh sekolompok orang yang serakah dan tak bertanggung jawab. Arif Wibowo Koordinator Riset dan Pengembangan PD BPAN Osing Sumber : memperkuat-peran-pemuda-adat-di-banyuwangi