Sementara itu, Victoria dari Sekolah Tradisi Hidup (School of Living Tradition) di Talaandig Filipina mengatakan bahwa salah satu hal istimewa dari MA adalah mandiri secara ilmu pengetahuan. MA sudah memiliki kekayaan pengetahuan tersendiri dan itu menjadi identitas. Bahwa pengetahuan dimaksud datang dari MA itu sendiri, namun selama ini acapkali dieksploitasi oleh pendatang yang bukan MA. Upaya MA untuk terus memperjuangkan hak-haknya, misalnya melalui pengembangan pendidikan adat tidak hanya terjadi di Indonesia. Hal yang sama juga terjadi di Amerika Latin, salah satunya Kolumbia, khususnya MA Misak. Mereka juga mengalami perlakuan diskriminatif dan keterjajahan lainnya sebagaimana dialami MA di Indonesia. Namun, sama seperti di Filipina, MA di Kolumbia juga dalam perjuangannya selalu melakukan transfer of knowledge kepada generasi muda. �Langkah pertama untuk pendidikan adat adalah menggali sejarah MA itu sendiri. Rekonstruksi memori masa lalu budaya MA,� demikian kutipan Liliana dan Jeremias, MA asal Misak Kolumbia. Pemuda-pemuda mengambil peran utama dalam menggali sejarah MA itu sendiri. Tekniknya? Begini: dua hal utama, satu melalui lisan dan kedua melalui tulisan.� Mendengar dari tetua adat adalah yang paling penting. Lalu dokumen tertulis dari buku-buku baik yang orang lain tulis dari luar begitu juga yang ditulis MA itu sendiri. �Satu hal penting untuk memulai pendidikan adalah bagaimana membuang mental dan pikiran yang terkungkung karena penjajahan. Artinya kita harus membersihkan anasir-anasir pikiran terjajah dari pikiran kita sendiri. Cuci otak kita dengan alam pikiran dari kita (Masyaakat Adat), bukan dari �luar�. Kami menyebutnya dengan �Pendidikan dari Kita� di mana segala sesuatunya untuk dipelajari berasal dari wilayah adat kita sendiri,� ujar Liliana dalam presentasenya lewat skype (20/3). Bahasa, tambah Jeremias, menjadi salah satu yang sangat penting dalam �Pendidikan dari Kita�. Bahasa merupakan satu dasar perjuangan. Terlebih dewasa ini bahasa daerah sudah banyak yang tidak digunakan lagi oleh pemiliknya (umumnya generasi muda), kalau bukan punah. Liliana dan Jeremias pada Oktober 2015 pernah datang ke Indonesia dan berbagi pengalaman di Sungai Utik pada sebuah kegiatan yang diadakan oleh BPAN. Tak heran pada saat keduanya jadi narasumber di Retret Metodologi Pendidikan Adat, mereka masih ingat beberapa peserta kegiatan di Sui Utik dan menyapa peserta dengan ucapan selamat pagi dalam bahasa Indonesia. Selanjutnya, Serge Marti dari LifeMosaic menjadi penghubung dengan menerjemahkan bahasa Spanyol ke Indonesia dan sebaliknya. Bersambung [4] Sumber : retret-metodoogi-pendidikan-adat-3