Cermin Kehidupan Masyarakat Adat pada Tenun Sumba
30 October 2024Oleh Yance Lu Hambandima bersama Apriadi Gunawan
“Ana Wuyarara, Ana Kara Wulang.” Penggalan bait falsafah Masyarakat Adat Sumba tersebut berarti Sang Buaya Merah dan Sang Penyu Bersisik. Bait itu kerap diidentikkan dengan motif pada kain tenun Sumba.
Sumba merupakan pulau di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang telah dikenal pula sebagai salah satu destinasi wisata bagi wisatawan domestik maupun mancanegara karena keindahan alamnya. Tak hanya itu, Sumba kaya akan berbagai warisan budaya, termasuk kain tenun.
Kain tenun Sumba lahir dari kekayaan alam di Sumba. Pewarnaan kain tenun yang menggunakan bahan-bahan alami, seperti akar mengkudu, serat kayu, hingga lumpur serta pemilihan motif yang unik, merepresentasikan budaya Sumba yang menarik dan spesial.
Proses Pembuatan Tenun Sumba
Untuk membuat selembar kain tenun Sumba, tidaklah semudah yang kita pikirkan seperti membalikkan telapak tangan. Ada sejumlah proses yang harus dilalui untuk menghasilkan kain tenun yang berkualitas.
Secara umum, proses itu dimulai dari membuat motif, memintal benang, mewarnai, menenun, mengeringkan, hingga menutup kain.
Berdasarkan penuturan dari salah seorang penenun Sumba, yaitu Oktavina Rija Hambandima, disebutkan bahwa proses pembuatan kain tenun bisa memakan waktu bulanan, bahkan tahunan.
Ia mencontohkan kain tenun ikat yang menggunakan pewarna alam, membutuhkan waktu sekitar delapam bulan sampai satu tahun. Sedangkan kalau menggunakan pewarna campuran (alam dan kimia), membutuhkan waktu sekitar enam bulan. Namun, seandainya hanya menggunakan pewarna kimia, membutuhkan waktu tiga hingga empat bulan.
Pewarnaan
Oktavina menjelaskan bahwa kain tenun Sumba lazimnya menggunakan pewarna alam yang membuatnya bisa awet hingga puluhan, bahkan ratusan tahun. Pewarnaan alam memanfaatkan olahan akar mengkudu untuk mendapatkan warna merah, nila untuk biru, kayu kuning untuk kuning, dan lumpur untuk cokelat. Jika ingin mendapatkan warna lain, pengrajin tenun akan mewarnai benang dengan warna dasar, kemudian dicampurkan dengan warna lain supaya didapatkan warna yang diinginkan.
Namun, saat ini, banyak pengrajin yang menggunakan pewarna kimia untuk mempercepat proses pembuatan kain.
“Ini tantangan bagi kami sebagai pengrajin tradisional yang masih bertahan melestarikan budaya dengan menggunakan pewarna alam,” ujarnya.
Motif Tenun
Oktavina mengatakan bahwa motif tenun Masyarakat Adat Sumba dikenal serba dua, namun juga bisa lebih. Itu tergantung pada ukuran dan keseimbangan motifnya. Menurutnya, itu biasa dilakukan oleh pengrajin. Ia menyebut, biasanya motif yang lazim dibuat adalah flora dan fauna, seperti buaya yang memiliki insting kuat, ditakuti, dan dikeramatkan oleh Masyarakat Adat Sumba. Umumnya, motif tersebut disandingkan dengan penyu atau kura-kura. Ia menjelaskan bahwa Masyarakat Adat Sumba menetapkan motif buaya maupun kura-kura untuk raja.
"Buaya itu simbol dari seorang raja, kemudian kura-kura itu simbol dari istri seorang raja,” ujarnya pada Rabu (30/3/2022).
Sementara itu, untuk ratu, biasanya memakai motif patola yang berarti motif kainnya berbunga-bunga.
Oktavina menuturkan, hingga tahun 1990-an, Masyarakat Adat Sumba masih menetapkan aturan ketat bagi pemakaian tenun. Tak ada yang boleh menggunakan motif tenun sesuka hati dan semua harus sesuai status sosial masing-masing.
“Sejak dulu, motif yang dituangkan dalam tenun, sangat sakral, di mana motif menceritakan kehidupan dan leluhur Masyarakat Adat,” tuturnya. Cara pemakaiannya juga tidak sembarang. Ada yang dikategorikan motif untuk dipakai maramba (raja), kabihu (orang merdeka), atau ata (hamba).”
Namun, belakangan ini bermunculan motif-motif baru yang hanya disesuaikan dengan kebutuhan pasar dan kerap menghilangkan nilai historis dari motif yang diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur.
“Untuk menjaga tetap lestari, kami para pemuda adat telah membentuk kelompok-kelompok pemuda penenun yang fokus menenun motif-motif yang diwariskan leluhur,” ujarnya.
Diminati Wisatawan
Oktavina mengatakan bahwa kain tenun yang dihasilkan oleh kelompok pemuda adat penenun itu, tidak kalah menarik dengan motif-motif baru yang ada saat ini. Biasanya, motif tenun juga bisa dibuat sesuai dengan permintaan pasar.
“Umumnya, pasar internasional sering membeli tenun pahikung (kain tenun dengan motif timbul serupa songket) yang motifnya mempunyai nilai historis,” ujarnya.
Ia menyebutkan kalau penghasil sarung pahikung terbaik, ada di Kecamatan Umalulu, tepatnya Kampung Pau Umabara, Desa Watuhang yang sekarang menjadi desa wisata di Sumba.
Sony Viadolorosa Radajah, Ketua Unit Pelaksana Kegiatan Umalulu, selaku pendamping kelompok penenun perempuan, menjelaskan bahwa pahikung selama ini lazim dipakai Masyarakat Adat Sumba untuk berbagai acara maupun ritual adat, seperti kematian dan perkawian sebagai mahar (belis).
Ia menerangkan, pahikung dari Umalulu telah menjadi sumber ekonomi yang menjanjikan bagi Masyarakat Adat. Tenun pahikung juga sudah dikenal hingga ke luar negeri. Maka, tak mengherankan jika sarung itu diminati oleh wisatawan lokal dan mancanegara.
Sony optimis kerajinan tangan Masyarakat Adat Sumba itu akan semakin diminati banyak orang asalkan punya kualitas dan nilai sejarah yang merupakan warisan leluhur. Tradisi itu harus dipertahankan. Dan, kisah-kisah di balik sehelai tenun pun perlu diketahui dan menjadi bagian penting dalam pemasarannya.
“Maka, saya sarankan pemuda kampung atau pemuda adat pandai melihat peluang pasar,” ujar Sony. “Sekarang ini, pasar yang besar adalah pasar online (daring). Selain menjual sarung tenun pahikung dalam bentuk utuh, pemuda adat juga bisa membuatnya dalam berbagai desain berupa pakaian modern atau merchandise (cenderamata) untuk para wisatawan.”
***
Yance Lu Hambandima adalah jurnalis rakyat dari Komunitas Masyarakat Adat Paraingu Umalulu, Sumba, NTT.