Oleh Simon Welan

Penangkapan empat  orang  Masyarakat Adat  dan  Jurnalis  saat  berdemontrasi  menentang  proyek  Geothermal  di  Pocoleok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur menyisakan kisah pilu.

Karolus Gampur, salah seorang  Masyarakat  Adat  Pocoleok yang ditangkap polisi menceritakan kisah pilu tersebut usai dibebaskan dari  tahanan pada Rabu, 2 Oktober 2024 pukul 18.00 Wita.   

Karolus mengawali kisahnya saat ditangkap polisi ketika sedang  ikut berdemontrasi menentang proyek Geothermal di Pocoleok, Rabu (2/10/2024) siang. Saat itu, Masyarakat Adat Pocoleok menghadang rombongan dari aparat keamanan bersama karyawan Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Pemerintah Daerah Manggarai yang ingin masuk ke lokasi  proyek pembangunan Geothermal. Masyarakat Adat  tidak mengizinkan mereka masuk ke lokasi proyek karena lahan yang digunakan untuk pembangunan Geothermal berada di areal wilayah adat. 

“Masyarakat  Adat Pocoleok  tidak mengizinkan tanahnya dijadikan lahan pembangunan proyek Geothermal. Ini alasan kami menghadang mereka,” kata Karolus.

Saat terjadi penghadangan, sebut Karolus, aparat keamanan yang terdiri dari TNI, Polri dan Satpol PP bersama pihak PLN dan Pemda Manggarai terus memaksakan diri untuk menerobos pertahanan Masyarakat Adat sehingga akhirnya terjadi kericuhan. Saling terjadi dorong mendorong  yang  berujung  pada pemukulan dan penangkapan sejumlah Masyarakat  Adat.

“Saat terjadi dorong mendorong, saya ditarik, kepala dipukul dan dibenturkan ke lutut seorang tentara hingga memar dan bengkak sampai saat ini,” ungkap Karolus.

Pemuda adat ini mengaku setelah mengalami pemukulan, dirinya langsung didorong polisi dan Satpol PP masuk ke mobil Pasukan Pengendalian Massa (Dalmas).  Karolus tidak sendirian ditangkap.  Ada tiga rekan lainnya yang turut ditangkap polisi, termasuk salah seorang Jurnalis. Mereka diangkut  mobil Dalmas Polri. Tapi, tidak sampai dibawa ke kantor polisi.

“Kami ditangkap, lalu hanya ditahan duduk diam di mobil Dalmas,” terangnya.

Karolus menuturkan saat ditahan di atas mobil Dalmas, dirinya dan rekan lainnya yang ditangkap sempat disuruh polisi untuk buat surat pernyataan.  Tetapi, mereka tolak karena mereka tahu kalau cara itu bagian dari strategi polisi untuk melemahkan perjuangan mereka.

“Polisi minta kami buat surat pernyataan tapi kami tolak,” tandasnya.

Karolus menambahkan setelah beberapa jam ditahan diatas mobil Dalmas, mereka dibebaskan sekira pukul 18.00 Wita sebelum aparat polisi dan rombongannya pulang ke Ruteng.

Karolus kini sudah bertemu dengan anggota keluarganya di rumah. Namun, ia mengaku masih trauma. Sejumlah bekas luka pukulan aparat keamanan juga masih terlihat di wajahnya.

“Masih sakit,” katanya dengan nada lirih saat memperlihatkan bekas luka di dahinya. 

Karolus mengecam cara-cara kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap Masyarakat Adat Pocoleok. Ia berharap agar PLN dan Pemerintah Kabupaten Manggarai segera menghentikan rencana pembangunan proyek Geothermal di Pocoleok karena Masyarakat Adat  tidak mengizinkan tanahnya dijadikan lahan pembangunan proyek tersebut.

“Masyarakat Adat Pocoleok hanya menginginkan kehidupan yang tenang dan damai.  Jangan usik kehidupan kami dengan proyek Geothermal,” tandasnya.


Karolus Gampur, korban kekerasan aparat. Dokumentasi Istimewa

AMAN Nusa Bunga Kecam Tindak Kekerasan Aparat Keamanan

Sehari pasca kerusuhan, situasi di Pocoleok kembali normal.  Namun, Masyarakat  Adat  tetap bersiaga untuk menjaga wilayah adatnya jika sewaktu-waktu ada pihak luar yang mencurigakan datang dengan maksud dan tujuan untuk pembangunan Geothermal.

Ketua Pelaksana Harian Wilayah AMAN Nusa Bunga, Maximilianus Herson Loi mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan TNI, Polri dan Satpol PP Kabupaten Manggarai terhadap Masyarakat Adat Pocoleok.

Menurut  Maximilianus, aksi penghadangan yang dilakukan Masyarakat  Adat  Pocoleok terhadap rombongan PLN, Pemkab Manggarai yang dibackup aparat keamanan merupakan aksi perjuangan dalam rangka mempertahankan wilayah adatnya dari ancaman eksploitasi. Herson menambahkan mempertahankan wilayah adat merupakan hak konstitusional Masyarakat Adat yang harus dihormati dan dilindungi.

“PLN, Pemda Manggarai dan aparat keamanan berkewajiban untuk menghormati hak-hak konstitusional Masyarakat Adat Pocoleok. Jangan gara-gara proyek Geothermal, hak konstitusional Masyarakat Adat diabaikan dan dikebiri,” kata Maximilianus.

Maximilianus melanjutkan pemerintah bersama aparat semestinya menjadi garda terdepan dalam memajukan dan menghormati hak konstitusional Masyarakat Adat, bukan justru mengabaikan dan mengebirinya hanya untuk alasan pembangunan Geothermal. Apalagi, pemerintah dan aparat keamanan sudah mengetahui jika sejak awal Masyarakat Adat di Pocoleok menolak pembangunan proyek Geothermal.

“Jadi, jangan dipaksakan untuk membangun proyek tersebut. Apabila terus dipaksakan maka boleh jadi akan menambah korban pada Masyarakat Adat,” lanjut  Maximilianus Herson.

Pria yang  berprofesi sebagai pengacara dan tergabung dalam Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) ini berharap aksi kriminalisasi dan tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap Masyarakat Adat Pocoleok tidak terulang kembali.

“Mari sama-sama kita menghormati hak konstitusional Masyarakat Adat,” pintanya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Nusa Tenggara Timur