Oleh Maria Baru

Kalasouw adalah nama sebuah sungai sekaligus lembah di bagian utara Kabupaten Sorong, Papua Barat. Dalam bahasa Moi Kelim, “kala” berarti air, sedangkan “souw” berarti dingin, sunyi, dan sepi. Jadi, kata “kalasouw“ dapat dimaknai dengan air yang dingin,sejuk, dan sepi.

Lembah Kalasouw meliputi Kampung Kawakek sampai ke Kampung Saingkeduk di Kabupaten Sorong. Di sana, hutan yang kami jaga secara turun-temurun masih ditumbuhi pohon-pohon yang padat. Pemandangan begitu hijau dan itu adalah salah satu warisan leluhur yang tersisa bagi Masyarakat Adat Moi Kelim.

Masyarakat mulai sadar bahwa penebangan hutan secara terus-menerus dapat merusak lingkungan dan sumber kehidupan. Pemerintah di masa kepimpinan Bupati Jhoni Kamuru,  mempunyai kebijakan yang tegas dalam menjaga eksistensi ekosistem alam di lembah tersebut. Pada 14 Agustus 2020, ia melontarkan moto besarnya: “Kita jaga hutan, hutan jaga kita.” Ia telah menyatakan cintanya kepada wilayah adat kami dengan mengambil kebijkan mulia untuk mencabut izin-izin milik perkebunan sawit yang bermasalah. Masyarakat Adat pun lebih gigih lagi dalam menjaga ekosistem hutan dan mengelolanya secara lestari, salah satunya dengan membuka pengembangan ekowisata di Kampung Malagufuk dan Kampung Malumkarta di Kabupaten Sorong serta Kampung Kalabili di Kabupaten Tambrauw.

Mama Bisulu merupakan perempuan adat asal Lembah Kalasouw. Ia memiliki kaki yang panjang, hidung yang mancung, dan rambut yang tipis di kepala. Senyumnya ramah dan itu membuat wajahnya terlihat manis. Sehari-hari, Mama Bisulu berkebun dan memancing.

Pada suatu siang, Mama Bisulu berjalan menyusuri hutan adat dari marga Bisulu di Kampung Kalabili, Distrik Selemkay. Ia membawa noken yang terbuat dari kulit kayu di kepalanya. Ada botol minuman, parang, kail, dan nyelong yang digulung di potongan kayu kecil berbentuk huruf M. Itu adalah peralatan yang selalu ia bawa ketika berladang dan memancing. Langkah kakinya pada hari yang terik itu, terus melangkah seolah hendak mengejar matahari.

Di hutan yang dipenuhi berbagai pohon besar dan tinggi, burung-burung kerap bersorak ria. Suara alam itu memberikan semangat sekaligus ketenangan jiwa. Mama Bisulu pun semakin dalam memasuki hutan sakral yang tanpa bising kendaraan dan udara kotor. Itu adalah anugerah Tuhan yang besar untuk kami bisa menghirup oksigen gratis dari alam. Di dalam hutan, angin dingin terasa menerpa kulit. Pemandangan hijau terlihat di mana-mana. Di sana, kami juga dapat menelusuri jejak babi hutan yang aromanya masih melekat di dedaunan dan tanah becek. Sesekali, tampak kuskus melompat dari cabang satu ke lainnya. Itulah potret yang umumnya tidak dinikmati oleh orang-orang yang tinggal di kota.

Seminggu belakangan ketika tulisan ini dibuat pada Juni 2022, hujan terus turun. Tanah di wilayah adat di sekitar lembah pun basah dan lembab. Dedaunan dan batang pohon-pohon yang kering dan lapuk, menjadi rumah bagi cacing-cacing beragam ukuran dan berwana merah. Mama Bisulu biasa mendapatkan sepuluh sampai dua puluh ekor cacing. Ia akan mengayunkan parang di tangannya untuk memotong-motong kayu busuk dan menemukan cacing yang sedang bersembunyi. Kayu-kayu busuk biasanya tersebar di tepian sungai. Mama Bisulu tersenyum jika membayangkan kalau ia bisa dapat banyak tangkapan pada hari itu. Cacing-cacing yang berhasil ditangkap, akan disimpan sementara di bungkusan yang terbuat dari daun dengan ia taburi sedikit sisa remahan kayu lapuk. Cacing-cacing itu kemudian dijadikan umpan untuk memancing ikan di sungai yang umumnya kami sebut kali, baik yang kecil maupun besar.

Masyarakat Adat Moi Kelim di Selemkay dan Kalasouw sering memancing ikan gabus dan sembilan. Menurut Mama Bisulu, Kali Kalasouw dan anak sungainya banyak dihuni oleh bermacam ikan, bahkan ada pula buaya. Ikan-ikan tawar yang kami peroleh dari sungai, menjadi sumber protein utama bagi kami yang tinggal jauh dari laut. Selain itu, kami juga memperoleh lauk dari olahan daging babi dan rusa.

Belakangan, tersiar kabar tentang wacana dari pemerintah untuk membuat bendungan di Kali Kalasouw. Menurut, Mama Bisulu, bendungan adalah ancaman besar bagi Masyarakat Adat yang tinggal di sepanjang kali dan ancaman bagi kelangsungan ekosistem Kalasouw.

“Kami sehari-hari mancing di sana (Kali kalasouw). Salah satu sumber kehidupan kami, (berada) di kali itu. Kalau dibendung, tidak ada ikan lagi yang tong (kita) makan,” ungkap Mama Bisulu. Menurutnya, tidak mungkin, Masyarakat Adat pergi ke kota untuk sekadar membeli ikan. “Kami butuh waktu tiga sampai enam jam perjalanan untuk sekali turun ke kota. Bayar mobil. Kalau tunggu ikan yang dibawa ke sini dengan ojek, juga mahal dan pastinya ikan kurang segar. Dan jika wacana bendungan benar dibangun, maka beberapa kampung di dua distrik pasti dihantam banjir.”

Kebiasaan memancing yang dilakukan Mama Bisulu, mengingatkan masa kecil Maku. Maku adalah nama panggilan untuk seorang perempuan adat asal Tambrauw dari Suku Miyah. Dalam cerita yang diutarakan pada suatu sore, ia mengatakan kalau sejak umur sembilan tahun, ia sudah meninggalkan Fef, sekarang ibu kota Tambrauw. Ia suka memancing. Sebelum memancing, ia harus mencari cacing di kayu-kayu lapuk pada siang hari. Lalu, sorenya ia akan menggantungkan pancingan di Kali Ifot, salah satu sungai yang di atasnya dibangun jembatan penghubung antara Kampung Wayo dan Fef. Setiap pagi, ia akan kembali untuk mengecek pancingannya. Jika dari jauh ia melihat tali pancingan telah kencang, itu berarti ada ikan yang tersangkut. Wajahnya akan berbunga-bunga. Tetapi, jika tali pancingannya kendor, itu berarti umpan cacingnya sudah kosong atau habis dimakan ikan.  

Saat Maku bercerita, tiba-tiba matanya berkaca-kaca. Air mata turun di pipinya kala ia kemudian melihat Kali Ifot telah semakin sempit. Ikan sawa - sebutan untuk ikan gabus atau gastor bagi Suku Miyah - mulai musnah. Tidak ada kali yang dalam untuk memancing ikan atau sekadar mandi. Justru, kini kali tercemar oleh berbagai plastik bungkusan deterjen, sabun, mi instan, camilan, dan lain-lain. Pemandangan semacam itu membuat hatinya perih, namun terkadang ia merasa tak berdaya. Sebab, sampah tersebut berasal dari hal-hal yang kerap dipandang sebagai suatu kemolekan modernisasi, tetapi di sisi lain, mengikis kearifan lokal di kampung.

Kita lupakan sejenak kisah Maku yang pilu dan melanjutkan cerita Mama Bisulu. Langkah kaki Mama Bisulu terus diayunkan dengan cacing di bungkusan yang semakin banyak. Ia rehat sebentar untuk meneguk air dalam botol yang dibawanya. Pada botol cokelat tersebut, tertulis pesan “Jaga hutan. Hutan jaga kita.”

Tak lama, ia kembali menggerakkan kaki untuk memburu tempat pancingan yang cocok untuk menggantungkan pancingannya. Pada suatu sudut di kali, ada kolam kecil biru dan dalam. Batang kayu-kayu besar terendam di dalamnya dan dedaunan kering terapung di atas permukaan kali. Dalam hati, Mama Bisulu, seperti hendak berkata kalau di tempat itulah biasanya ikan-ikan bermain. Ia bergegas memasang pancingan di setiap titik kali yang diyakininya menjadi tempat bagi ikan-ikan. Ada sepuluh pancingan yang digantung. Setelahnya, ia beristirahat sejenak selama sekitar 30 menit.

Sambil menunggu, ia berkeliling untuk mencari dan memetik sayur pakis. Sesekali, ia mengecek ulang pancingannya. Ketika satu tali pancingan yang ia taruh di dekat akar pohon, tampak mengeras, ia tahu ada ikan yang tersangkut.

Dan benar saja. Ikan itu berkepala besar. Pastinya, punya daging yang tebal. Sisik-sisik ikan itu berbentuk bulat-bulat kecil. Dan dari air kali yang bening, ia bisa menerawang ada ikan seperti ular. Tentu saja, itu bukan ular, melainkan ikan aidan atau gabus besar. Dari sepuluh gantungan pancing, ia mendapat tujuh ekor ikan.

Hasil tangkapan hari itu, ia masukkan ke dalam noken ketika matahari berangsur-angsur hendak tenggelam. Dalam perjalanan pulang, ia kembali menelusuri berbagai ruas hutan dan ladang. Dan begitu tiba di rumah, ia lekas menyiangi gabus-gabus yang didapatnya. Api di tungku, segera dipanaskan dengan sebuah kuali di atasnya. Mama Bisulu menuangkan sedikit minyak goreng serta perpaduan bumbu berupa rica atau cabai, garam, bawang merah, bawah putih, serai, dan lengkuas. Semua ia tumis, lalu disiram air. Saat air mendidih, ia memasukkan ikan-ikan dan memasaknya sekitar setengah jam. Lauk pun siap terhidang dengan ditemani sagu yang diolah menjadi papeda. Makan malam yang nikmat bersama keluarga.

***

Penulis adalah Orang Asli Papua dari Kabupaten Tambrauw, Papua Barat dan jurnalis Suara Papua.