Oleh Mohamad Hajazi

Dua orang petarung saling beradu ketangkasan di acara ritual Sangkep Warige pada Januari lalu di Dusun Adat Ende, Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Keduanya menggunakan penjalin sebagai alat pukul yang terbuat dari rotan sepanjang satu meter dan perisai kayu (tameng) dari kulit kerbau berbentuk bujur sangkar berukuran 50 x 50 cm. Mereka juga menggunakan ikat kepala (saput) dan kain pengikat pinggang (bebadong). Para petarung pun diberi sirih untuk dikunyah.

Pertarungan yang dipimpin oleh dua pekembar (wasit) itu diiringi oleh musik gamelan Sasak. Tembang beraura mistis turut diperdengarkan dalam pertarungan tersebut untuk mendongkrak semangat bertarung dan mengurangi rasa sakit apabila terkena sabetan rotan.

Setelah hampir 15 menit bertarung, wasit menghentikan pertarungan kedua pepadu karena salah satunya terkena sabetan rotan di bagian kepala hingga mengeluarkan darah.

Supari, warga Dusun Adat Ende, menceritakan pengalamannya yang pernah ikut bertarung dalam seni tradisional itu. Ia menyatakan, apabila salah satu petarung terkena rotan di bagian kepala hingga mengeluarkan darah, maka petarung tersebut dinyatakan kalah dalam pertarungan. Namun, jika hingga 3-4 ronde kedua petarung masih sama kuat, wasit akan menyatakan hasil seri.

Supari menyatakan bahwa butuh keberanian untuk ikut Peresean. Ia mengaku takut ketika pertama kali mengikutinya.

Begeget angkongkh, muk keberat idapn endengkh,” katanya dalam bahasa Sasak. Arti ucapannya adalah bahwa kakinya gemetar dan tameng terasa berat ketika ia bertarung kala itu.

Namun, setelah beberapa kali ikut Peresean, ia terbiasa, bahkan ketagihan untuk terus bertarung.

“Laguk sere ngonek muk biasengkh, muk engat dengan perese muk gereng idap awakh mele perese (tapi semakin lama semakin terbiasa, dan ketika saya melihat orang perese, serasa badan ini berontak ingin ikut Perisean),” ujarnya.

Supari mengaku, selama ikut Peresean, kepalanya pernah beberapa kali terkena sabetan  rotan dari lawan hingga berdarah. Namun, ia menyatakan kalau ia tidak pernah punya dendam terhadap lawan yang pernah melukai kepalanya. Ia juga tidak jera dan masih terus ikut pertarungan sampai saat ini.

“Menang atau kalah usai bertarung, kedua petarung pasti bersalaman dan berpelukan. Tidak pernah membawa dendam ke luar arena. Segalanya dimulai dan selesai di dalam arena,” paparnya.

Heri, petarung Peresean yang dijuluki si Patus (banteng), menjelaskan bahwa seni tradisional Peresean juga menjadi ajang silaturahmi antar-petarung. Luka yang mereka alami tidak akan membuat keduanya saling dendam, tetapi justru mempererat rasa persaudaraan antar-petarung.

“Luka yang dialami petarung dalam Peresean ini merupakan simbol dari perjalanan hidup  suka dan duka,” tuturnya.

Sejarah dan Nilai Sakral

Peresean adalah pertarungan antara dua lelaki yang bersenjatakan tongkat rotan dan perisai kulit kerbau yang tebal dan keras. Tradisi itu dilakukan oleh Masyarakat Adat Sasak di Lombok, NTB. Peresean termasuk dalam seni tari daerah Lombok. Petarung dalam Peresean biasanya disebut pepadu, sedangkan wasitnya disebut pakembar.

Tradisi itu sudah dimainkan oleh Suku Sasak sejak abad ke-13, berawal dari ritual Masyarakat Adat yang ingin mendatangkan hujan pada musim kemarau. Sebagai pula bentuk kesenian beladiri, Peresean sudah ada sejak zaman kerajaan di Lombok. Pada awalnya, itu menjadi semacam latihan pedang dan perisai sebelum berangkat ke medan tempur.

Pertarungan Peresean juga disakralkan oleh Masyarakat Adat, sehingga itu tidak digelar sembarang waktu. Kini, Peresean diadakan menjelang perayaan-perayaan khusus, seperti Hari Kemerdekan yang dirayakan setiap tanggal 17 Agustus, hari ulang tahun daerah, dan jelang Ramadan.

***

Penulis adalah jurnalis Masyarakat Adat dari NTB.