Oleh Isnah Ayunda

Lukman Hakim adalah sosok pemuda adat yang sukses membudidayakan kepiting soka atau cangkang lunak melalui sistem vertical crab house di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimatan Timur (Kaltim). Pemuda adat kelahiran Marindan, 21 Agustus 1995 itu merintis budidaya kepiting tersebut dari nol.

Awalnya, putra kedua dari pasangan Baco dan Ana itu tertarik menekuni budidaya kepiting soka karena harga jualnya yang tinggi.  Lukman harus menjual sepeda motor kesayangannya untuk memulai bisnis kepiting soka. Dengan modal dari hasil dari menjual sepeda motor senilai Rp7 juta, ia mulai menekuni budidaya kepiting soka pada Maret 2022.

Pria itu bercerita bahwa sebelum merintis budidaya kepiting, ia sempat kuliah. Di sela kesibukannya menimba ilmu di Fakultas Perikanan Universitas Mulawarman di Samarinda, Lukman bekerja di sebuah dealer sepeda motor.

Lukman mengungkapkan kalau ketertarikannya kuliah di jurusan Perikanan karena ia dan keluarganya memiliki kebun yang berisi kolam ikan yang terbangkalai. Ia tergerak hatinya untuk mengelola kolam ikan tersebut agar bisa menghasilkan uang dari usaha di bidang perikanan. Pada pendaftaran kuliah, ia pun mengambil tiga jurusan, yaitu Teknik Elektro, Teknik Industri, dan Perikanan.

Ia bercerita, pada semester satu sampai tiga, ia masih belajar mata kuliah umum, seperti IPA, sementara ia merasa itu tidak terhubung dengan keahlian atau bakatnya di bidang otomotif. Pada semester dua, ia merasa jenuh kuliah dan akhirnya memilih sekolah sambil bekerja di bengkel sepada motor sekitar tiga tahun. Akan tetapi, Lukman bukan hanya memiliki bakat di bidang tersebut, melainkan juga aktif di organisasi Mapala Plankthos yang memiliki fokus di pesisir. Ia berpikir, pasti akan jalan-jalan ke wilayah tersebut.

Pada semester empat, Lukman mengikuti program praktik kerja lapangan (PKL) ke Sukabumi. Ia mengambil fokus budidaya air tawar. Setelah pulang dari PKL itulah, ia merasa bahwa kuliah hanya sekadar teori, tanpa praktik langsung. Akhirnya, pada 2021, Lukman memulai usaha budidaya kepiting soka dengan modal awal Rp7 juta dari hasil menjual motor.

“Saya tertarik menggeluti budidaya kepiting soka karena harga jualnya tinggi,” kata Lukman di kediamannya di Kampung Maridan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten PPU.

Ia menyebut bahwa harga jual kepiting soka saat ini Rp90-100 ribu per kilogram. Harga itu menguntungkan. Bahkan, Lukman mengaku omsetnya meningkat tajam sejak membudidayakan kepiting soka.

“Omset saya saat ini bisa mencapai Rp8-10 juta per bulan. Ini menggiurkan sekali,” katanya sembari menyebutkan bahwa seluruh hasil budidaya kepiting soka itu dijualnya kepada pengepul di Balikpapan.

 

Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Minim Pengalaman

Lukman mengaku tidak punya pengalaman membudidayakan kepiting soka, pengalaman itu ia dapat saat berkunjung ke sebuah tambak milik nelayan di selok api, ia banyak mendapatkan informasi mengenai kepting soka dari sahabatnya Alfian Nur yang juga pada saat itu sedang melakukan penelitian skripsi di Selok Api, dari situlah Lukman banyak belajar mengenai kepiting soka.

Tak puas dengan ilmu yang ia dapatkan, sebelumnya ia pun belajar vertical crab house dengan seorang pengusaha kepiting soka bernama Rahmat.

Terkendala Modal

Namun, tekadnya yang sudah bulat ingin menekuni bisnis budidaya kepiting soka itu, pernah terbentur modal. Saat itu, Lukman ingin membangun penangkaran kepiting soka. Maka, dengan modal awal Rp7 juta, Lukman memulai bisnis dengan membuat empat talang atau wadah bibit kepiting. Ia mengaku kalau di awal usaha budidaya kepiting soka berjalan baik meski tidak kembali modal. 

“Tapi, bisa untuk menutupi kebutuhan rumah,” katanya sembari mengucap syukur.

Lukman mengatakan, awalnya ia tidak memikirkan untung dari bisnis budidaya itu. Ia hanya  berpikir dapat menimba ilmunya terlebih dahulu agar ke depan dapat mengembangkan budidaya kepiting menjadi lebih baik lagi.

Ia mengaku ada banyak rintangan yang dihadapi dalam mengembangkan bisnis budidaya kepiting soka. Bahkan, Lukman harus menghentikan bisnisnya selama empat bulan karena harus mengurus kakaknya yang sakit.

Setelah itu, Lukman bangkit. Ia kembali menjual sepeda motornya untuk mendapatkan tambahan modal setelah rehat empat bulan. Kali itu, ia melengkapi fasilitas pembudidayaan kepiting sokanya. Dari empat talang, kini Lukman memliki 16 talang dengan bibit 45 kilogram ditambah dengan satu unit mesin pembeku (freezer). Lukman mengungkap kalau fungsi dari freezer itu adalah untuk membekukan kepiting soka yang telah berganti kulit agar nilai jualnya tetap tinggi dan kepiting tetap segar hingga bertahan selama dua bulan.

Pada Desember 2022 lalu, usaha Lukman semakin berkembang. Ia sudah memiliki mitra bisnis yang membeli kepitingnya. Banyak rekannya yang suka dengan hasil budidaya Lukman karena kualitasnya yang baik.

Saat ini, budidaya kepiting soka yang dikelola Lukman, bisa menghasilkan 70-80 kilogram kepiting per hari.  Dari hasil penjualan kepiting soka, Lukman mengalihkan keuntungannya untuk membeli tambahan bibit.

“Saya ingin mengembangkan usaha, caranya tambah bibit supaya berkembang lebih banyak,” katanya.

Pengaruh Lingkungan

Lukman menyatakan bahwa bibit yang dibelinya berasal dari nelayan laut dan nelayan tambak. Menurutnya, bibit kepiting dari nelayan laut, memiliki kualitas yang baik. Tetapi, saat ini, sulit mendapatkan bibit kepiting dari nelayan laut karena bakau dan sungai telah mulai rusak.

“Di sinilah pentingnya kita menjaga hutan mangrove (bakau) dan menjaga lingkungan sungai. Bibit kepiting yang didapat, semua dari alam, jika mangrove rusak, sungai rusak, maka akan sulit pula bibit kepiting didapatkan,” ungkapnya.

Lukman menyatakan dengan adanya proyek pembangunan ibu kota negara (IKN) di PPU, ia berharap itu tidak merusak lingkungan, bakau, dan sungai. Sebab, hal itu dapat mematikan mata pencaharian para nelayan.

“Semoga pemerintah tidak melakukannya, sehingga lingkungan di sini terjaga,” katanya sembari bertekad akan membagikan ilmu budi daya kepiting soka kepada Masyarakat Adat  di kampung agar bisa menjadikan kepiting soka sebagai sumber pendapatan bagi komunitas Masyarakat Adat di pesisir laut Balikpapan.

***

Penulis adalah jurnalis Masyarakat Adat di PPU, Kaltim.