Oleh Joanny.F.M. Pesulima

Sejak kecil, kami kakak beradik sering diajak oleh kakek saya, Soleman Pesulima (almarhum) untuk melihat dari dekat seperti apa tradisi ritual adat Cuci Negeri.

Saya masih ingat, saat menyaksikan jalannya proses ritual masuk ke dalam kain gandong (kain putih yang panjangnya satu kayu), sambil menari, berbalas pantun, bersama dengan anak-anak lainnya. Ritual ini biasa dilakukan menyongsong perayaan Hari Natal dan Tahun Baru.

Ritual adat Cuci Negeri telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 2015 dan Anugerah Kebudayaan Indonesia Tahun 2022.

***

Ritual adat Cuci Negeri ada di Negeri Soya. Kami, mengistilahkan negeri di sini sama artinya dengan desa. Negeri Soya merupakan salah satu negeri (desa) adat tertua di Jazirah Leitimur, Kota Ambon, Provinsi Maluku. Negeri yang dikenal sebagai tempat wisata ini dipimpin oleh seorang Upulatu atau Raja.

Semasa hidupnya, kakek saya banyak bercerita tentang Negeri Soya dan asal usulnya, serta apa saja yang berkaitan dengan adat di negeri ini. Dari kakek, saya jadi tahu tentang negeri di mana saya lahir dan dibesarkan, terutama tentang ritual adat cuci negeri.

Memiliki luas wilayah 6000 hektar, dihuni 9.147 jiwa. Letaknya di puncak Gunung Sirimau, pinggir Kota Ambon. Negeri Soya berada di ketinggian kurang lebih 464 meter dari permukaan laut. Berbatasan sebelah Timur dengan Negeri Hutumuri dan Negeri Leahari, sebelah Barat dengan Negeri Urimessing, sebelah Barat Laut dengan Kota Ambon, sebelah Selatan dengan Negeri Hatalai, Naku Kilang dan Ema, sebelah Utara dengan Laut Teluk Ambon.

Suhu udara pada umumnya berkisar antara 20 sampai 30 derajat celsius. Untuk menuju Negeri Soya dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan jenis apapun. Jalannya menanjak dan berliku-liku, namun mulus. Kurang lebih 6 km dari pusat Kota Ambon.

Sejumlah peninggalan sejarah seperti situs Gereja Soya yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya dan aset purbakala ada di negeri ini. Situs Gereja Tua Soya, salah satu tempat yang paling banyak dikunjungi wisatawan dalam dan luar negeri. Tak hanya itu, ada juga tempat wisata Tempayang yang selalu berisi air walaupun tidak hujan yang berada di tengah puncak Gunung Sirimau.

Selain memiliki sejumlah hasil hutan yang cukup produktif bagi pengembangan ekonomi rakyat seperti damar, kayu untuk rumah, rotan, dan lain-lain, Negeri Soya juga kaya dengan tanaman rempah-rempah antara lain: pala, fuli, cengkeh, dan kelapa, juga penghasil buah salak dan durian. Dengan keragaman hayati dan flora yang ada, serta alamnya yang subur, tak heran jika sebagian besar penduduknya adalah petani.

Penduduk Negeri Soya adalah masyarakat yang ramah dan religius dengan gotong royong sebagai ciri khas masyarakat negeri ini. Nilai-nilai adat dan budaya seperti: Naik Baileo, Cuci Air, Kain Gandong, naik ke gunung Sirimau, selalu terpelihara dengan baik dan merupakan sebuah tradisi budaya secara turun temurun hingga saat ini.

Prosesi Ritual Adat Cuci Negeri
Proses jalannya upacara ritual adat Cuci Negeri diawali dengan rapat setiap tanggal 1 Desember. Dihadiri oleh semua laki-laki dewasa, Badan Saniri Negeri dan para tetua adat untuk bermusyawarah membicarakan persoalan Negeri.

Dalam musyawarah ini, terjadi dialog antara pemerintah dan rakyat secara langsung mengenai berbagai hal yang telah dipersiapkan atas dasar surat masuk maupun yang langsung disampaikan oleh rakyat. Pada rapat inilah, masalah upacara adat dibicarakan. Tujuannya lebih bersifat menyucikan diri dari perasaan perseteruan, kedengkian, curiga-mencurigai.

 Jamuan adat oleh Soa Erang sambil menunggu Rombongan kembali dari kunjungan ke dua mata air Soa masing-masing.

Ritual adat Cuci Negeri atau Adat Nae Baileo memiliki arti naik ke tempat upacara adat, tempat berkumpul untuk bermusyawarah. Di Maluku, baileo umumnya berupa rumah tanpa dinding. Namun di Negeri Soya, baileo hanya merupakan sebidang tanah kosong yang terletak di pelataran sebuah bukit. Siapapun yang hendak ke sana (baileo) harus mendaki atau naik terlebih dahulu.

Raja Negeri Soya, John.L. Rehatta mengatakan negeri ini adalah peninggalan orang-orang tua sejak abad ke-14. Mereka berasal dari Seram Utara, dan tinggal di Negeri Soya. Menurutnya, kedatangan mereka itu ditandai dengan batu teung atau batu perahu dalam artian mereka dianggap berlayar, dan meletakkan batu di dalam negeri.

Dikatakannya, negeri ini memiliki sebuah ritual adat yang diberinama Cuci Negeri. Ritual ini tidak bisa ditiru.

“(Ritual Cuci Negeri) ini merupakan icon kami,” kata John L Rehatta saat ditemui dikediamannya baru-baru ini di Negeri Soya.

John menjelaskan ritual ini dilaksanakan pada minggu kedua bulan Desember. Istilah cuci negeri ini bukan bakti masal, tapi mengandung makna membersihkan tubuh manusia. Puncak ritualnya, siapa saja yang berhati bersih bisa masuk dalam kain persekutuan yang biasa disebut kain gandong. Semua anak adat terlibat.

Jhon menceritakan ritual ini dimulai dengan rapat saniri besar pada tanggal 1 Desember, yang dihadiri oleh masyarakat yang sudah berumur di atas 17 tahun. Dalam rapat ini, masyarakat mendengarkan laporan pertanggungjawaban pemerintah negeri dan berdialog. Kemudian membahas masalah-masalah khusus, termasuk pelaksanaan ritual adat Cuci Negeri.

Masyarakat Adat membersihkan Negeri

Ritual diawali dengan pembersihan negeri, dilakukan pada hari Rabu dan Kamis. Diawali dengan pemukulan tifa dan dilanjutkan dengan pembersihan negeri secara adat, terutama lokasi pelaksanaan adat, jalan menuju Gunung Sirimau dan kuburan-kuburan.

Seorang wanita yang baru saja kawin dengan salah seorang pemuda Negeri Soya, segera digolongkan sebagai Mata Ina Baru (perempuan yang baru pertama kali ikut) yang dalam hal ini diwajibkan mengambil bagian yang aktif dalam upacara ini, untuk menunjukkan ketaatannya kepada adat Negeri Soya.

Ritual adat di Baileu Samasuru, dimulai dengan pembersihan Baileu dengan menggunakan sapu lidi dan daun gadihu diiringi tifa dan gong. Dilanjutkan dengan amanat dari raja kepada rakyat, bagaikan pidato tahunan. Tak ketinggalan, tokoh agama memberikan amanat diikuti sambutan Kepala Soa Erang tentang arti kain gandong dan pasawari adat.

Pasawari dimulai dengan tiga kali tiupan kulibia (cangkang kerang) oleh putra kepala adat. Kepala adat lalu menghadap ke batu stori (batu tempat bicara), dan mengucapkan kepata-kapata adat, meminta dari Tuhan perlindungan bagi Negeri, jauhkan penyakit, memberikan panen yang cukup serta penambahan jiwa untuk negeri.

Warisan Budaya Tak Benda
John menyatakan ritual adat Cuci Negeri telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Tahun 2015 dan Anugerah Kebudayaan Indonesia Tahun 2022.

“Penetapan ini dilakukan karena Negeri Soya tetap mempertahankan adat istiadatnya,” katanya.

Piagam warisan budaya tak benda

Jhon mengatakan ritul adat yang telah jadi warisan budaya tak benda ini harus dilestarikan. Menurutnya, pemerintah harus melindungi ritual adat tersebut dengan Perda tentang pemerintahan negeri. Ia menambahkan pemerintah juga harus menyelesaikan batas tanah adat yang dapat menimbulkan persoalan. Menurutnya, ini harus diselesaikan.

‘’Kalau pemerintah melindungi negeri adat, tidak ada keributan. Jika tidak, dikhawatirkan akan terjadi keributan, terutama yang terkait soal batas tanah,” katanya sembari berharap pemerintah dapat melindungi negeri adat.

Kepala Soa Pera (marga asli), Thomas Tamtelahittu menjelaskan kalau di Negeri Soya ini secara adat, terbagi dalam dua soa (mata rumah/marga). Yakni soa pera (marga asli) dan soa erang (marga pendatang). Untuk Soa yang dipimpinnya, ada empat rumah tau yakni marga Rehatta, Huwaa, Pesulima, dan Tamtelahittu. Sementara soa erang dipimpin oleh kepala soa yang memiliki marga Soplanit.

‘’Perlu saya jelaskan, kumpulan mata rumah yang berasal dari satu keturunan merupakan satu klan yang disebut rumah tau atau marga. Gabungan dari beberapa rumah tau disebut soa yang dipimpin oleh seorang kepala soa yang berfungsi melindungi warganya,’’ kata Thomas.

Dikatakannya, soa yang dipimpinnya terdapat salah satu rumah tau atau marga yang ditetapkan sebagai raja atau kepala desa, disebut mata rumah parentah, marga Rehatta, karena itu berlaku sudah sejak dulu.

 

‘’Hubungan mata rumah Parentah dengan ritual adat Cuci Negeri adalah mata rumah Parentah yang memimpin jalannya upacara ritual adat tersebut. Sehingga diberi gelar upulatu (raja). Sementara marga-marga lainnya berperan sebagai kapitan dan kepala soa adat dengan tugas yang berbeda pula, dan ini sudah diatur dalam peraturan negeri tentang mata rumah parentah, secara garis lurus pada marga Rehatta,’’ jelasnya.

Kepala soa erang, Ferdinand Soplanit menerangkan perannya saat ritual adat Cuci Negeri adalah menyambut rombongan dari puncak Gunung Sirimau di teung rulimena.

“Peran saya menjamu rombongan, menjemput Raja dan mengantarnya ke baileo, dan memberikan wejangan tentang arti kain gandong berwarna putih dengan panjang satu kayu, dan melakukan Janji Sou (tidak terpisahkan). Soa pera dan soa erang harus menjadi satu dalam kain gandong. Sebagai anak adat, harus terlibat, bukan hanya sebagai penonton saja,’’ ujarnya.

Perempuan dan Adat
Meiske Leuwol, salah seorang tokoh perempuan di Negeri Soya menyatakan sangat menghormati ritual adat cuci negeri ini. Di mana perempuan dan laki-laki diperlakukan setara. Ada persamaan gender.

‘’Budaya ini perlu dijaga, kami para perempuan diberi tanggung jawab dalam ritual ini,” katanya sembari menerangkan tanggungjawab dimaksud adalah menyiapkan konsumsi dan terlibat langsung dalam pembersihan negeri.

Dia mengatakan peran perempuan dalam pemerintahan di masa lalu tidak ada. Kini, seiring perkembangan zaman, perempuan sudah dilibatkan sebagai contoh dirinya kini menjabat sebagai ketua RT.

Meiske berharap ke depannya ada juga perempuan di tingkat RW dan saniri negeri, termasuk dalam pengambilan keputusan demi kepentingan Masyarakat Adat di Negeri Soya.

“Saya kira, point keterlibatan perempuan dan struktur pemerintahan negeri adat ini sangat perlu dan harus masuk dalam Perda Pemerintahan Adat dan diperkuat dengan Peraturan Negeri,” katanya sembari menambahkan Perda untuk melindungi kawasan-kawasan adat juga perlu di Negeri Soya, terutama yang berada di sekitar lokasi ritual adat.

***

Thomas berharap ke depan, ritual adat ini bisa berjalan dengan baik, jika pemerintah memperhatikan kawasan-kawasan adat dalam negeri ini. Karena yang terjadi sekarang ini, terdapat pemukiman liar sehingga hutan yang melindungi mata air yang mengalir ke Kota Ambon, bisa tetap terjaga.  

Ia melihat, dari sisi peraturan di pusat, terkadang ini melemahkan negeri-negeri adat. Padahal negeri adat ini harus mengatur rumah tangganya sendiri, apalagi negeri yang mengelola dana desa. Sekarang ini yang dominan diperhatikan hanya pimpinan dan kepala urusan, tetapi kepala soa, marinyo (pembawa berita), kewang (penjaga hutan) juga harus diperhatikan.

 

Ritual adat dan segala warisan yang dimiliki di Negeri Soya, tak bisa dilepaskan dari wilayah adat yang terjaga. Segala kekayaan kebudayaan yang dimiliki Negeri Soya, muncul karena ikatan Masyarakat Adat dengan alam atau dengan wilayah adatnya. Tanpa ada wilayah adat yang terjaga, tak akan ada kebudayaan dan produk-produk kebudayaan yang dilahirkan oleh Masyarakat Adat.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Maluku